Fakta yang bisa kita validasi bersama adalah tidak satu teks atau manuskrippun yang menyatakan ada Nabi dengan nama-nama berikut: Mukidi, Sarjono, Sarimin, Tukijo. Lugasnya memang tak pernah disebutkan ada Nabi di Tanah Jawa. Kenabian memang konsep yang lumrah dalam Tradisi Semitik yang mencakup 3 agama besar: Yahudi, Kristen dan Islam. Tapi tak gampang menemukan padanannya di Jawa, Nusantara dan kawasan lain karena jelas 3 tradisi yang kita sebutkan itu tak memuat cerita kenabian yang berlatar kawasan di luar Timur Tengah. Namun para penulis di masa kini kadang meminjam terminologi Nabi untuk menyebut beberapa tokoh relijius di luar pakem resmi, sehingga bisa muncul nama Nabi Agung Kongzhi (Confucius), Nabi Zarathustra dan lainnya.
Dalam Tradisi Kristen, secara garis besar dinyatakan bahwa nabi adalah seorang yang mengutarakan kebenaran Allah kepada orang lain. Kata nabi berasal dari bahasa Ibrani navi, yang diterjemahkan sebagai “jurubicara”, yang diambil dari ekspresi Ibrani niv sfatayim, yang berarti “buah dari bibir.” Para nabi juga dipanggil “penglihat,” karena pemahaman rohani mereka atau kemampuan mereka untuk “melihat” ke masa depan. Di dalam Alkitab diceritakan lebih dari 133 nabi termasuk 16 wanita. Sebagai tambahan, banyak pula yang bernubuat, seperti ke-tujuh puluh petua Israel (Bilangan 11:25) dan ke-100 nabi yang diselamatkan oleh Obaja (1 Raja-Raja 18:4). Nabi pertama yang dijuluki demikian di dalam Alkitab adalah Abraham.
Dalam tradisi Islam, Nabi dan rasul adalah manusia yang dipilih secara langsung oleh Allah untuk mengajarkan tauhid kepada umat manusia melalui penerimaan wahyu. Dalam Islam, nabi (نبي, nabī; jamak: أنبياء, anbiyāʾ) adalah seorang yang mendapat wahyu dari Allah. Di antara para nabi, ada juga yang merupakan rasul (رسول, rasūl; jamak: رسل, rusul), yakni seorang yang mendapat wahyu Allah dan wajib menyebarkan ajarannya. Mayoritas ulama Islam menegaskan tak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad karena ia adalah penutup para Nabi dan Islam sebagai ajaran yang dibawanya telah sempurna sebagai petunjuk bagi manusia.
Kita masuk ke pokok bahasan, “Adakah Nabi di Tanah Jawa?”
Tentu saja, sebelum tradisi Semitik masuk ke Jawa/Nusantara lalu mempengaruhi kebudayaan kita, kita tak mengenal istilah nabi. Jadi tak ada dalam literatur kita nama-nama Nabi Mukidi, Nabi Sarjono, Nabi Sarimin maupun Nabi Tukijo. Tapi kita mengenal beberapa istilah:
Begawan: gelar pendeta atau pertapa; orang yang berbahagia (mulia, suci).
Resi: ṛṣi; dieja rishi, adalah orang suci atau penyair yang mendapat perkataan/berita dari Sang Hyang Atman atau para dewa/dewi.
Empu: mpu, gelar kehormatan yang berarti ‘tuan’; orang yang sangat ahli.
Waskita: terang tiliknya; tajam penglihatan.
Winasis: wong pintêr., orang pandai.
Tentunya, kita punya literatur kuna yang memperkenalkan keberadaan para Begawan, Resi, Empu dan segenap orang yang waskita/winasis di Tanah Jawa maupun Nusantara. Maka tertera dalam memori kolektif kita nama-nama seperti Begawan/Resi Abiayasa, Begawan/Resi Wisrawa, lalu ada juga nama-nama seperti Empu Bharada, Empu Tantular, Empu Prapanca, dan seterusnya.
Yang hendak saya tegaskan, tradisi orang suci dan kemampuan menangkap berita langit sebetulnya bukan perkara aneh di Tanah Jawa maupun Nusantara. Hanya keberadaan mereka tak selalu berkaitan dengan keberadaan agama tertentu. Tak ada juga lembaga agama yang kita kenal saat ini yang dikaitkan dengan keberadaan mereka.
Selanjutnya saya mau bercerita pengalaman pribadi saya dalam perkara ini. Dulu sekali jelas bahwa perkara berita langit ini cuma teori buat saya. Karena jelas saya tak tahu kenyataannyq, saya gak pernah mengalaminya, hanya menduga-duga. Tapi sejak laku hening saya mengantarkan pada perjumpaan dengan Sang Dewa Ruci/Diri Sejati, plus juga mengalami keadaan “suwung”, saya secara bertahap jadi mengerti apa itu berita langit. Berdasarkan apq yang saya alami, berita langit itu ada dua kategori. Pertama, berita langit itu yang bersumber dari Tuhan; Kedua, berita langit yang bersumber dari para jiwa ilahi/keberadaan yang suci, yang secara sederhana kita kategorikan sebagai para hyang, dewa/dewi, malaikat, immortal, dan semacamnya.
Untuk kategori pertama, tentu saja harus dimengerti dulu 3 realitas Tuhan: Tuhan sebagai kekosongan absolut yang menjadi sumber segala yang ada dan meliputi segala yang ada; Tuhan sebagai realitas kecerdasan tertinggi yang bekerja di jagad raya ini; dan Tuhan sebagai penuntun agung yang bertahta di relung hati. Nah, kenyataannya, yang bisa berfirman itu ya Tuhan yang mempribadi di dalam diri dan kita namakan Diri Sejati/Hingsun/Dewa Ruci/Roh Kudus/Sang Hyang Atman. Kita tak bisa ngobrol (mendengar Firman) dari “yang tak bersosok” atau “yang tanpa batas”, realitas Tuhan sebagai kekosongan absolut dan kecerdasan tertinggi di jagad raya bisa dimengerti FirmanNya ketika Firman itu disampaikan melalui realitasNya sebagai Sang Penuntun Agung di relung hati. Nah, semenjak saya mengalami fase pencerahan, sangat jelas bahwa kata-kata saya dalam buku, audio, video, di berbagai momen pengajaran, adalah pengejawantahan dari Sabda (atau Firman) dari Hingsun yang bertahta di relung hati. Sebagai contoh, silakan selami versi yang paling lama, yang ada di buku Jumbuh Kawula Gusti (2019) bagian kedua. Di situ saya berposisi menuliskan pesan dari Gusti yang muncul dari relung hati.
Sementara itu untuk kategori kedua, saya juga sering contohkan; kita hanya menjadi medium/channel dari keberadaan luhur yang menyampaikan pesan-pesan mereka. Di Bagian Pertama Kesadaran Kristus (2022) saya jelas menuliskan hasil channeling dengan Sang Raja Semesta. Di berbagai buku seperti buku Tantra Yoga, banyak dimuat hasil channeling murid-murid saya dengan sosok seperti Sang Hyang Wisnu, Dewi Durga dan lainnya. Jika Anda cukup peka saat menyaksikan saat saya mewedar pengetahuan spiritual, pasti bisa dikenali raut wajah dan corak energi saya berubah-ubah, tergantung tema yang sedang diwedarkan. Apa artinya? Saya menjadi wahana berkaryanya jiwa ilahi yang berbeda-beda tanpa kehilangan kesadaran saya sebagai SHD.
Nah, kunci dari kemampuan menangkap berita langit dalam dua kategori ini adalah:
1. Kemampuan mendayagunakan Rasa Sejati yang memang bisa menangkap pesan/Firman/Sabda dari keberadaan yang immateriil.
2. Kemurnian jiwa (mencakup kemurnian secara persepsi, emosi, karma dan energi) yang memastikan tak terjadinya pembiasan saat pesan yang semula ditangkap rasa sejati dilimpahkan kepada otak untuk dibahasakan secara manusiawi sesuai konteks budaya sang penyampai pesan.
Untuk memiliki kemampuan seperti ini sebetulnya bukan perkara yang mustahil bagi siapapun. Saya mencapainya lewat ketekunan dalam praktik hening. Siapapun yang mengikuti jalan hening yang benar dimungkinkan juga untuk secara faktual berkemampuan menangkap berita langit dalam segala kategorinya: beberapa murid saya sudah membuktikan itu.
Saya hanya perlu memberikan peringatan, siapapun yang coba menangkap berita langit hanya dengan Pineal Gland atau Mata Ketiga, harus hati-hati karena rentan dibiaskan. Anda bisa tertipu mengira mendapat pesan dari Eyang Semar atau Hyang Wisnu padahal dapat pesannya dari siluman ular yang di dunia holografik bisa menampakkan rupa berbeda.
Hati-hati juga mengira mendapatkan berita langit dengan kata/kata nan indah padahal itu hanyalah hasil berkhayal. Maka saya di Persaudaraan Matahari mengembangkan metoda verifikasi yang ketat: berita langit hanya bisa dinyatakan benar jika penyampainya beneran bisa hening dengan kualitas hening minimal 20%. Saya pribadi makin peka sehingga bisa tahu mana berita langit yang palsu meski isinya tampak baik; jelas pengalaman panjang membentuk keahlian.
Catatan pentingnya, karena saya orang Jawa, meski saya bisa mendapatkan berita langit, TAK AKAN PERNAH MENGAKU SEBAGAI NABI. Itu sama sekali tidak perlu. Saya hanya meneruskan tradisi spiritual dan epistemologi yang dikembangkan para Begawan/Resi/Empu di Jawa/Nusantara di berbagai jaman. Kemampuan seperti ini benar-benar lumrah, bukan barang eksklusif yang hanya bisa dicapai 1 orang di setiap jaman. Jelas sekali, siapapun yang heningnya benar pasti bisa menangkap berita langit. Saya justru dalam proses memunculkan sebanyak mungkin orang tercerahkan yang benar-benar bisa menangkap berita langit. Jadi dalam sudut pandang spiritualitas Jawa yang saya pahami, berita langit tak pernah berhenti mengalir. Firman Gusti yang mengarahkan pada keselamatan sejati jugw selalu muncul melalui para manusia tercerahkan: dulu, sekarang, kelak hingga era yang tak terbayangkan oleh kita.
Setyo Hajar Dewantoro, 19 September 2023
Reaksi Anda: