Skip to main content
Pijar Kesadaran

SEMALAM DI MELAKA

24 April 2024 Setyo Hajar Dewantoro No Comments

SEMALAM DI MELAKA

Dalam tingkat kesadaran dan peran saat ini, saya sungguh tak tahu besok akan ke mana dan ada di mana. Saya sepenuhnya pasrah mengikuti titah gerak dari relung hati. Maka saya nyaris tidak bisa membuat rencana. Bahkan yang sudah direncanakan mengikuti titah itu pun bisa mendadak berubah. 

Minggu lalu saya mendadak ke Manado, 15 April 2024. Tanggal 17 April 2024 saya digerakkan ke Bali. Tanggal 18 April 2024 Bandara Sam Ratulangi Manado ditutup untuk beberapa hari karena ada erupsi Gunung Ruang. Jika tidak segera pindah kota, tentu saya akan tertahan di Manado. Di Bali, sesuai titah awal saya sudah booking hotel untuk 2 malam di Ashoka Tree Resort Ubud, tapi baru 1 malam menikmati Ubud yang tenang, saya harus pindah ke Seminyak – maka 2 malam saya di Seminyak, di 2 hotel berbeda. Dan di kunjungan kali ini saya dapat lampu hijau untuk menggelar kajian di Denpasar. Padahal saya juga sudah ke Bali 2 minggu sebelumnya, tapi diam-diam saja.

Tanggal 21 April 2024 saya mengisi Webinar dari Yogyakarta. Di luar itu sempat ada titah berkunjung ke beberapa tempat – tapi lalu semua batal karena urusan di beberapa tempat itu sudah beres, meski secara fisik saya tak jadi berkunjung ke sana. Termasuk yang dibatalkan adalah rencana ke Singapura lagi – meski saya sudah beli tiket. Sampai tanggal 21 malam, saya belum tahu keesokan harinya mesti ke mana. Dan saya putuskan untuk menikmati saja malam di Jogja: makan mie godog lalu tidur nyenyak, di Hotel Lafayette yang interiornya indah sekali, gaya aristokrasi Perancis. Tanggal 22 pagi baru muncul titah itu: “Pergilah ke Kuala Lumpur hari ini!” Saya resapi betul dalam hening titah ini, ketika sudah mantap saya bergerak cepat: pesan tiket bolak balik dan booking hotel. Sore hari saya sudah terbang ke Kuala Lumpur dan malamnya saya menikmati keramaian di kawasan Bukit Bintang, karena sesuai titah dari relung hati saya memang harus booking hotel di kawasan ini, tepatnya di Dorsett Hotel.

Sempat muncul titah ke Melaka keesokan harinya, sehingga saya sempat beli tiket bus bolak balik. Tapi titah itu dibatalkan, saya cukup berkeliling di Kuala Lumpur. Tapi lucu sekali, setelah beberapa sesi hening di tempat ini dan tuntas beberapa pekerjaan kosmik, muncul titah di sore hari untuk segera ke Melaka. Lagi-lagi saya hanya setia menjalankan titah. Hanya membawa tas kecil, saya pesan Grab ke Terminal Bus dan beli tiket dadakan. Nyatanya malam saya sudah tiba di Melaka dengan agenda pertama setelah check in di Hotel Mayestik yang kuna: menikmati suasana dan makanan di tepian sungai, di depan hotel, di Kampung Morten. Apakah saya tahu tempat ini sebelumnya? Tentu tidak, semua seperti peristiwa yang serba kebetulan. Lalu pagi-pagi saya sudah kembali ke Kuala Lumpur, saya menulis artikel ini di dalam bus menuju Kuala Lumpur.

Apa yang hendak disampaikan kepada para pembaca dalam tulisan di atas?

Satu hal, setelah kita bersusah payah menjalankan laku hening dan tuntas memurnikan jiwa raga, lalu kita menjadi sangat terhubung dengan Gusti yang bertahta di relung hati, dan secara konsisten mendengar titahNya, maka kita sepatutnya SETIA PENUH, TOTALITAS MENJALANKAN TITAH ITU. 

Di hadapan manusia yang menjadi bagian dari pergerakan Persaudaraan Matahari, saya adalah pemimpin yang kharismatik. Tapi di hadapan Gusti, saya adalah serdadu yang sangat patuh. Demikianlah cara hidup saya: tak ada lagi ruang untuk keinginan pribadi ini dan itu, yang ada adalah kerja semesta tiada henti. Apa sih sebetulnya yang dikerjakan? Ini yang tak mudah dijelaskan, termasuk kepada keluarga saya yang tentunya sering saya tinggal pergi dan hanya bisa bertemu secara berkala. “Mau ngapain sih ke Manila/Hong Kong/Singapura/Kuala Lumpur?” Jawab saya dan pasti dianggap bercanda, “Mau menyelamatkan dunia”. “Oh… mau ngelawan monster…” Demikian lalu celetuk anak saya.

Dengan segala kesetiaan pada titah Gusti, jelas secara pribadi saya terus bertumbuh kesadarannya, powernya, kejeniusannya, dan kesehatannya. Semakin terealisasi apa yang menjadi rancangan agung. Saya tak bisa bicara detail karena terlalu absurd untuk dituliskan, tapi semua perjalanan ini adalah bagian dari proses untuk merealisasikan visi Indonesia Surgawi dan Bumi Surgawi. Pasti banyak keajaiban yang terjadi, dan itu menyelamatkan, membuka gerbang keagungan.

Oh ya, di Melaka ini kita bisa belajar tentang perlunya merawat masa lalu dan terbuka pada masa depan: jika merujuk pada teorinya John Naisbitt, kita harus ada dalam harmoni High Tech & High Touch, supaya manusia gak kalah sama AI dan robot.

Lalu, setelah menggelar Webinar Spesial dari Kuala Lumpur, ke mana besok saya hendak melangkah? Sungguh, saya tidak tahu meski sudah ada tiket Kuala Lumpur – Jakarta. Saya hanya pasrah total ke mana pun oleh Gusti digerakkan.

 

Setyo Hajar Dewantoro
24 April 2024

Share:

Reaksi Anda:

Loading spinner
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda