“The nature of life is change, yet the nature of human beings is to resist change.”
Karakter alami sebuah kehidupan adalah perubahan, tapi karakter alami manusia adalah menolak perubahan.
Saya sempat membaca dalam salah satu refleksi teman keheningan, “Perubahan adalah menyakitkan.”
Benarkah? Perubahan seperti apakah yang dimaksud?
Saya terinspirasi menuliskan refleksi ini karena sedang menghadapi dinamika drama malas gerak (mager), terbawa perasaan (baper), dan cari perhatian (caper), di salah satu lembaga naungan Guru SHD, yang sedang dilakukan sebuah inisiasi perubahan. Bukan cuma kali ini saya menginisiasi perubahan dalam lembaga Guru SHD, namun masing-masing tim merespons dengan intensitas drama yang berbeda. Dan hasilnya adalah yang minim dramalah yang lebih cepat membuahkan hasil nyata.
Perubahan yang saya maksud adalah perubahan yang dilakukan dengan tujuan perbaikan, perubahan dalam rangka mencapai sesuatu yang lebih baik.
Sebagai mantan penikmat zona nyaman, saya paham sekali mengapa manusia seringkali alergi dengan perubahan. Dulu saya dengan sengaja menata hidup dalam sebuah rutinitas yang teratur, sebisa mungkin menjaga agar tidak terjadi perubahan pada zona nyaman yang saya miliki dan mengupayakan seminim mungkin hidup dalam ketidakpastian dan kejutan.
Secara umum pandangan psikologi penyebab penolakan pada perubahan ini karena ketika dalam menghadapi sebuah perubahan atau sesuatu yang baru pasti membutuhkan energi, daya upaya, dan waktu untuk beradaptasi. Maka kemalasan atau mager, ketakutan akan sesuatu yang belum dikenal dan tidak bisa diprediksi, serta proyeksi ketidaknyamanan diri menjadi basis pola pikir, sikap, dan perilaku penolakan ini. Ada tambahan sudut pandang yang saya dapatkan dari dunia spiritualisme, yaitu karakter ‘pop mie’ yang maunya hasil instan, tanpa menjalankan proses yang tidak disukai.
Konon karakter alamiah makhluk hidup bernama manusia yang menolak perubahan ini tidak ada pada hewan dan tumbuhan. Hewan digerakkan oleh insting bertahan hidup yang kuat, sehingga memiliki ketangguhan yang besar dan adaptif terhadap perubahan. Makhluk yang tidak punya kuasa untuk memilih sikap memang hanya bisa pasrah dan mengalir dengan segala situasi dan berubah. Semisal musim kemarau, maka tumbuhan banyak yang kering, mati, atau dorman. Tapi, akan tumbuh kembali setelah mendapatkan air.
Jagat Raya, Alam Semesta, dan kehidupan terus bergerak dan berubah. Manusia sebagai penghuni salah satu planet di Jagat Raya, diberi banyak anugerah berupa perangkat kecerdasan, tapi malah membentuk karakter yang berlawanan dengan sifat alamiah kehidupan. Karakter alamiah manusia ini seolah-olah menjadi bentuk antagonis terhadap gerak alam dan gerak semesta. Lalu bagaimana dengan Jagat Ageng yang teorinya selalu termanifestasi dalam Jagat Alit?
Dalam skala pembelajaran spiritual murni di Persaudaraan Matahari (PM) pun terjadi situasi inkonsistensi yang sama. Di satu sisi seseorang bisa punya keinginan kuat untuk hidup selaras dengan gerak Semesta agar selamat, tapi kemudian hobi mager dan anti perubahan dibawa terus dalam proses belajar. Ambisi dan hasrat ingin segera terhubung dengan Diri Sejati agar hidup selaras dengan gerak Semesta mewarnai latihan meditasi/hening, tapi ketika diberi sebuah perubahan yang bertujuan mempercepat proses belajar agar cita-cita segera tercapai, malah mager, baper, lalu caper.
Gimana lah mau selaras dengan gerak Semesta yang selalu bergerak dan berubah apabila mempertahankan sikap anti perubahan?
Apabila mengacu kepada sebuah visi misi yang Agung, maka perubahan terjadi sebagai langkah perbaikan. Ketika memiliki kemauan untuk memperbaiki sesuatu, meningkatkan sesuatu, untuk mencapai tujuan yang lebih baik, maka perlu sebuah langkah agar terjadi sebuah perubahan.
Dalam Manajemen Matahari, yaitu sistem manajemen yang dianut oleh semua lembaga naungan Guru SHD, perubahan ini merupakan salah satu prinsip dasar Management of Change (manajemen perubahan), yang dalam bahasa korporasi cantiknya disebut continuous improvement (perbaikan yang terus menerus). Perubahan dalam rangka perbaikan dilakukan tidak hanya satu dua kali, tapi terus menerus tanpa henti.
Karakter ajaran Spiritual Murni (SM) SHD adalah continuous improvement juga, yaitu perubahan yang terus menerus, bahkan tanpa batas karena berpatokan pada hukum Kosmik yang menggerakkan Jagat Raya beserta isinya. Dalam perjalanan pembelajaran spiritual selalu ada saja yang harus diperbaiki, ditingkatkan, diperbaharui, dilampaui, dilebur dan ditinggalkan. Yang sudah tidak selaras lagi akan ditinggalkan dan melangkah pada hal baru yang lebih selaras. Contohnya, niat belajar yang tidak selaras kemudian ditinggalkan karena sudah melangkah kepada niat belajar yang lebih selaras, teknik hening yang tidak tepat ditinggalkan dan diganti dengan yang lebih tepat, dan seterusnya.
Maka sebuah perubahan dalam konteks perbaikan seharusnya tidak perlu didramatisasi karena merupakan kenormalan alamiah manusia dan bukan hal yang aneh apabila terjadi dalam kehidupan. Perubahan tidak akan ditolak apabila memenuhi hasrat ego dan sesuai dengan preferensi pribadi, sehinga perubahan akan disambut dengan sukacita penuh puja-puji puisi rasa syukur. Sebaliknya apabila perubahan bertentangan dengan hasrat ego, maka terjadilah pemberontakan.
Jadi, ketika terjadi penolakan terhadap sebuah perubahan, jelas sekali pokok masalah ada pada perbedaan sudut pandang yang ujungnya adalah perkara terpenuhi atau tidaknya hasrat egoistik.
Di komunitas PM dengan ajaran SMSHD yang tujuannya memurnikan jiwa raga ini, seringkali terjadi perilaku lebay bin drama dalam menyikapi sebuah perubahan. Ketika terjadi perubahan pada cara belajar, perubahan aturan operasional, perubahan alur pembelajaran, perubahan peran dan jabatan, perubahan struktur organisasi, yang tujuannya untuk perbaikan, malah disikapi dengan penolakan dan pemberontakan, sehingga drama ngambek dan pemberontakan dengan beragam gaya dan intensitas mewarnai jalannya interaksi belajar di PM.
Terusiknya zona nyaman dan tidak terpuaskannya hasrat egoistik tentu menjadi penghambat tercapainya keberhasilan belajar, padahal perubahan dilakukan agar semakin banyak yang mencapai keberhasilan dalam belajar. Apabila mampu melihat dari sudut pandang yang jernih seharusnya bisa dipahami bahwa perubahan yang dilakukan merupakan bukti nyata atas apa yang sering disebut dengan transformasi.
Transformasi Guru SHD otomatis akan mentransformasi ajaran dan pola belajar yang seharusnya disikapi dengan netral dan sukacita, karena tidak bisa dipungkiri transformasi yang telah menggeret perubahan di berbagai aspek ajaran SMSHD telah secara nyata memberikan hasil yang lebih baik ketimbang sebelum-sebelumnya.
Termasuk di dalamnya perubahan pola belajar, hadirnya Hierarki Fungsional PM dengan metode latihan yang dulu tidak pernah ada. Bertransformasinya saya, Ay Pieta yang dulunya merupakan murid Guru SHD paling oneng beserta segudang label ngenes menjadi satu-satunya Pamomong, bahkan pemimpin dalam berbagai organisasi naungan Guru SHD pun menjadi seri drama lebay tersendiri yang terus kejar tayang. Drama barisan sakit hati yang notabene sudah hengkang dari komunitas ternyata masih menjamur di dalam komunitas, seperti legacy yang diwariskan oleh pendahulunya dan cukup awet terjaga di dalam komunitas. Padahal jelas sekali, bahwa saya merupakan salah satu produk hasil transformasi nyata dari ajaran SMSHD.
Saya beserta sekitar 10% teman sejawat yang saat ini menduduki peringkat teratas dalam prestasi belajar ajaran SMSHD adalah produk keberhasilan belajar sebagai bentuk nyata transformasi, yang disebut perubahan. Jadi mengapa alergi pada perubahan dan terjadi penolakan? Bukankah semua ingin bertransformasi dan mengalami perubahan?
Di Lembaga The Avalon Consuting, Guru SHD mengajarkan tentang karakter pemimpin yang Agung. Salah satunya, pemimpin adalah game changer, bukan hanya penonton atau tim tepuk tangan perubahan saja. Tapi, lucunya ketika diajak untuk melakukan perubahan malah mager, baper, lalu caper.
Memang jiwa mie instan selalu meronta apabila sebuah tujuan harus dijalankan melalui proses yang tidak disukai. Inilah pangkal penolakan dan alergi pada perubahan, sehingga dianggap sebagai proses yang memedihkan dan sebisanya dihindari. Kompleksitas antara ego yang tercabik-cabik ditambah sisi gelap yang meronta sehingga merasa perlu membela diri dalam pemberontakan dan sulit untuk bersyukur.
Maka sebaiknya diselami kembali, apa tujuan belajar ajaran SMSHD di PM? Yang jelas, di sini bukan tempat zona nyaman dalam perspektif kenormalan manusiawi. Bagi yang mencari zona nyaman tentu salah alamat, karena di sini adalah tempat untuk quantum leap dari zona nyaman.
Siap untuk mengalami quantum leap?
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
25 September 2024
Reaksi Anda: