“Tanpa totalitas tidak akan mendapat keistimewaan” – SHD
Inilah secuplik kalimat Guru Setyo Hajar Dewantoro (SHD) pada wedaran di sesi pembuka Avalon Leadership Online Course (ALOC) batch 8, Sabtu malam, 5 Oktober lalu yang menyentuh hati. ALOC adalah kelas kepemimpinan berbasis kesadaran murni yang diampu oleh Guru SHD selama tiga bulan ke depan. Setelah sesi selesai saya meresapi kalimat itu dan berefleksi diri, mengucap syukur atas banyaknya keistimewaan yang hadir bagi diri ini sejak belajar meditasi Spiritual Murni Setyo Hajar Dewantoro (SMSHD).
Keistimewaan yang dimaksud ini dulu belum bisa saya sepakati maknanya, dan selalu saya bantah sebagai ‘apanya yang istimewa?’ Karena diri ini masih erat sekali dalam idealisme bentuk keistimewaan sesuai dengan preferensi pribadi.
Saat ini saya sudah memahami makna kata ‘keistimewaan’ yang dimaksud Guru SHD, setelah melalui perjalanan panjang melebur sisi gelap, termasuk di dalamnya melebur ilusi akan berbagai idealisme, maka saya sudah mengerti bahwa yang dimaksud Guru SHD adalah keistimewaan dalam standar Kosmik yang selaras dengan koridor Hukum Semesta.
Bentuknya jauh berbeda dari standar manusia yang paling banter hanya seperti khayalan film Disney. Keistimewaan versi Kosmik ini tidak bisa dinilai dari banyaknya materi dan seberapa banyak kehendak egoistik yang terpenuhi. Sebaliknya, keistimewaan ini bentuknya hanya dapat diidentifikasi melalui sebuah ruang kesadaran yang tepat, karena bersama dengan keistimewaan ini menyatu paketan tanggung jawab, kewajiban, pengorbanan, dan resiko yang harus dihadapi serta dijalankan dengan ketulusan. Dalam kacamata manusia, paketan seperti ini akan masuk kategori penyiksaan, karena bertentangan dengan kehendak egoistik.
Batasan totalitas sering menjadi pertanyaan, karena setiap orang memiliki batasan yang subjektif sesuai bingkai kepentingannya masing-masing. Satu orang bisa merasa sudah totalitas, namun bagi orang lain belum. Ukuran bagi totalitas hanya sebatas pada seberapa banyak harapan dan angan-angan pribadi belum terpenuhi.
Tolak ukur dalam kacamata spiritualitas murni memang berbeda dengan tolak ukur buatan manusia karena Ajaran SMSHD memakai standar hukum Kosmik. Dalam memahami sebuah bahasa seperti kata ‘totalitas’ pun membutuhkan kemampuan untuk melampaui kapasitas kognitif manusia dan melampaui hasrat ego yang membelenggu.
Totalitas yang dimaksud Guru SHD adalah totalitas versi Kosmik dengan parameter bernama kebenaran sejati. Kebenaran sejati ini berupa tuntunan Tuhan yang muncul di relung hati ketika sudah melalui proses pemurnian jiwa dan mampu bermeditasi dengan standar Ajaran SMSHD. Menjadi ahli dalam menangkap tuntunan Tuhan ini memang tidak mudah. Di Persaudaraan Matahari (PM), sesuai standar Ajaran SMSHD, syarat dan parameternya cukup tinggi untuk diakui sah sebagai pejalan perintah Tuhan yang totalitas. Tentu tidak ada yang mudah dan tidak ada yang instan untuk mencapai sebuah keotentikan. Perihal eksekusi perintah Tuhan, saya pernah menjelaskan dalam artikel berjudul Eksekusi Perintah Tuhan.
Totalitas yang dimaksud Guru SHD tentu pengertiannya erat dengan ketulusan. Contoh bentuk fisiknya seperti tidak misuh-misuh, tidak gerundel, tidak protes, tidak meragukan, tidak mempertanyakan, tidak mengeluh, tidak bermanuver, tidak pamrih, tidak ngeyel, tidak tawar-menawar, tidak berhitung untung rugi atas imbalan, dan seterusnya, baik yang diucap, dilakukan, maupun yang masih di dalam pikiran. Laku hening berperan penting dalam besaran totalitas ini, karena tindakan dengan ketulusan yang maksimal hanya akan terjadi dan terjaga kestabilannya apabila disertai dengan laku hening dengan teknik yang tepat.
Untuk menjadi totalitas tentu perlu latihan, tidak mungkin sulap simsalabim. Latihan bersyukur, latihan bertindak dengan ketulusan, dan latihan kepasrahan termasuk di dalam menu latihan. Tidak semua perintah Tuhan itu menyenangkan ego dan memenuhi idealitas, sehingga selalu membutuhkan pengorbanan yang menjadi ujian atas seberapa besar kesetiaan kita kepada Tuhan.
Pada tahun 2021, saya pernah dicolek Semesta melalui peristiwa yang cukup aneh, yaitu cedera kaki kiri dan tidak kunjung pulih walaupun sudah diterapi berulang kali. Yang bertemu saya saat itu pasti menyaksikan saya ke sana kemari sembari pincang dan pakai sandal sebelah, karena bengkak dan kempes tiada henti.
Cedera baru kembali normal setelah 3 bulan kemudian, yaitu setelah saya paham betul apa pembelajarannya. Ternyata saat itu saya belum menerima peran dengan dengan ketulusan yang paripurna. Peran besar yang saya pikir sudah saya terima siap grak dan jalani, ternyata ada ganjalan yang saya tidak sadari dan membuat kadar ketulusannya nyangkut, yaitu sebuah rasa tidak pantas dan keraguan akan potensi diri terhadap peran yang telah diberikan tersebut.
Hobi mengkerdilkan diri memang sempat menjadi alat pertahanan terbaik dalam pergaulan ibu kota yang lebih kejam dari ibu tiri. Ibaratnya, sebelum direndahkan oleh orang lain, saya akan dengan senang hati merendahkan diri sendiri duluan; saya menyalibkan diri duluan sebelum membiarkan orang lain merasakan kenikmatan melakukan penyaliban terhadap diri saya. Pengkerdilan diri ini ternyata membatasi rasa bersyukur dan ketulusan saya dalam menerima peran, sehingga mengurangi totalitas. Saya membayar cukup mahal dengan ketidaknyamanan selama 3 bulan atas ‘dosa’ yang saya perbuat, sehingga tidak totalitas dalam mengemban peran.
Dalam meditasi pembuka sesi ALOC 8 yang sangat syahdu itu, saya termasuk yang tidak bisa bermeditasi formal dengan khusyuk. Saya bermeditasi informal sambil mengecek dan mengatur agar para peserta yang masih nyangkut bisa masuk semua ke dalam ruang webinar. Saya menyadari ada momentum meditasi yang sangat syahdu, di mana Guru SHD memandu sampai haru, tapi saya tetap menjalankan tanggung jawab saya untuk memastikan agar tidak ada peserta yang tertinggal. Maka ketika ditanya pesan Semesta apa yang saya tangkap ketika meditasi, saya pun tidak bisa menjawab. Terbesit juga, “Ups, apakah saya melewatkan sebuah tugas penting untuk menangkap pesan tersebut?”
Tapi, rupanya yang saya lakukan merupakan salah satu bentuk totalitas terhadap perintah Tuhan juga. Saya menjalankan tanggung jawab atas perintah Tuhan memastikan semua peserta tidak ada yang tertinggal dalam sesi pembuka ALOC 8 dan mengorbankan 30 menit sesi meditasi pembuka nan syahdu untuk memenuhi tanggung jawab tersebut.
Belajar spiritualitas murni memang tidak terbatas harus berada di goa keramat atau hutan yang sepi. Bisa di mana saja, kapan saja, dan melalui wadah apa saja, apalagi yang jelas-jelas wadah kegiatan dengan basis spiritual murni yang dibangun oleh Guru SHD. Semua kegiatan, mulai dari yang tampak recehan sampai yang mencengangkan tidak mungkin bisa lepas dari pembelajaran spiritual; kanan-kiri, atas-bawah, depan-belakang, luar-dalam, setiap sudut isinya hanya pembelajaran spiritual dan keheningan.
Menjadi manusia berkesadaran sekian digit dalam parameter SMSHD tentu termasuk sebuah keistimewaan yang tiada tara bagi saya. Sebagai hasil ngunduh wohing pakarti atas rajutan karma totalitas yang saya tanam selama belajar SMSHD ples hasil deposito pada masa lampau yang berhasil saya jemput momentum jatuh temponya. Hasil panen berupa keistimewaan ini hanya bisa dinikmati dengan konstan seumur hidup apabila totalitas dalam menjalankan kewajiban, tanggung jawab, pengorbanan, dan menghadapi risiko dengan ketulusan.
Saran saya, kalau berkhayal tentang bentuk keistimewaan, jangan hanya separuh atau seperempat, tapi berkhayallah dengan paketan yang lengkap agar mampu berpikir dengan jernih dan realistis.
Jangan memutarbalikkan pengertian totalitas menjadi totalitas dalam bergerilya mencari jalan pintas juga, itu sih salah alamat ke server kiri.
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
7 Oktober 2024
Reaksi Anda: