Skip to main content
Refleksi

MENJADI OTENTIK

12 October 2024 Nenden Fathiastuti No Comments

Menjadi otentik sepertinya saat ini sungguhlah langka, dan sudah menjadi barang antik, karena saking sulitnya ditemukan. Menjadi otentik sendiri sejatinya baru saya pahami sejak belajar Spiritual Murni (SM) dengan Guru Setyo Hajar Dewantoro (SHD) di Persaudaraan Matahari (PM) ini. Tak ada pembelajaran spiritualitas yang saya pernah ikuti sebelumnya, menekankan pentingnya keotentikan diri ini.

Saya baru memahami bahwa selama hampir setengah abad hidup di dunia ini sebagai Nenden, ternyata saya 99,9%-nya hidup mengenakan topeng. Beragam topeng kepalsuan untuk menutupi kebusukan diri yang tak ingin diketahui orang lain. Baru setahun terakhir inilah saya ternyata mampu mengerti bahwa inilah topeng kepalsuan yang harus dilucuti itu. Menjadi jujur apa adanya, menerima kondisi diri yang tidak ideal, ternyata sungguhlah tidak nyaman. Diri ini rasanya rentan. Beragam rasa khawatir dan ketakutan menyergap dan bikin gelagapan. Saya terbiasa berlindung di balik topeng-topeng itu, untuk mengelabui orang lain, bahwa sebetulnya saya rapuh, saya tak mampu, saya tak paham, saya tak punya uang, dan saya telah melakukan kesalahan, tapi gengsi untuk mengakuinya. 

Satu topeng dipakai menutupi satu ketidakjujuran, dan kemudian ditumpuk topeng lain, tumpuk lagi, dan terus seperti itu. Hingga lupa, diri saya yang asli itu sesungguhnya yang mana, saking terbiasanya bertopeng. Mengakui emosi yang bergejolak, perasaan yang tak nyaman, kerentanan diri, dan ketidakmampuan otak mencerna, itu saya maknai sebagai kelemahan, yang berarti saya ini buruk, dan saya tidak suka nampak buruk. Pendapat orang lain di sekeliling, apalagi orang-orang yang saya puja dan hormati itu sungguhlah penting. Apa pun akan saya lakukan untuk mendapatkan pujian dan perhatian/apresiasi dari orang-orang penting ini. Harga diri saya ditentukan oleh pendapat mereka, maka tak heran bila otentik jadi makin sulit untuk saya. 

Bersyukur saya menemukan momen penyadaran, dan dikuliti segala topeng kepalsuan saya dalam proses pembelajaran di PM ini, namanya juga proses pengelupasan sungguhlah pedih. Tapi sungguh nyata bahwa ketika saya mampu menjalani proses yang memedihkan itu, hasilnya saya merasakan keentengan diri yang sulit dijelaskan. Tentu bukan soal berat badan yang berkurang, timbangan saya rasanya sama aja. Tapi ada sebuah kelegaan, plong, dan beban berat yang terangkat dari dada yang selama ini (ternyata) menghimpit. Hidup terasa jauh lebih ringan. 

Rasa khawatir yang dulu menghantui di keseharian menjadi sirna begitu saja, saya tetap menghargai pendapat orang lain, tapi apapun yang mereka katakan tak lagi mempengaruhi penilaian saya atas diri saya sendiri. Saya tak malu lagi menjadi nampak miskin, karena memang beginilah kondisi saya saat ini dengan keuangan yang minus, tak punya aset apa pun, mengantar anak ke sekolah dengan sepeda dayung berpanas-panas, sementara murid-murid lain diantar dengan mobil-mobil brand bagus keluaran terbaru. Dulu saya akan sangat minder dengan kondisi ini, tapi sekarang saya bisa menjalani dan menikmati ini apa adanya, menjadi satu-satunya orang tua yang mengantar jemput anaknya sekolah dengan sepeda dayung, begitu orang Bali menyebut sepeda kayuh ini. Dan, anak saya juga hepi-hepi saja, malah bangga karena ibunya katanya terkenal di sekolah, sebagai “mama bike”.

Tulisan ini lahir dari pengalaman saya mendampingi beberapa teman belajar yang topeng kepalsuannya sungguh tebal, persis seperti saya dulu, bahkan lebih parah. Mereka yang masih ada dalam posisi denial alias penyangkalan, terutama karena ada yang memang punya trust issue kepada saya, dan meremehkan kapasitas saya sebagai leader yang ditunjuk. 

Saya berkaca kepada mereka, mereka adalah saya dulu, yang masih belum rela topengnya dilucuti dan menampakkan wajah aslinya yang penuh bopeng dan tubuh penuh luka. Meski niat ingin membantu demikian besar, tapi saya diingatkan oleh pamomong bahwa kemauan untuk memperbaiki diri itu harus datang dari orangnya sendiri, keputusan ada di tangan mereka, apakah mau mendengarkan dan menjalankan upaya perbaikan itu atau tidak, atau tetap mempertahankan topeng-topeng itu. Ada kehendak bebas yang harus saya hargai dalam proses ini.

Semalam ternyata saya juga menemukan fakta bahwa diri saya ini belumlah betul-betul mampu untuk sepenuhnya otentik. Saya masih punya rasa pakewuh yang menghalangi saya menyampaikan kejujuran apa adanya. Terpicu dari interaksi grup kerja di Tim Media, ketika diminta me-review sebuah video. Sebetulnya saya sudah tahu kalau kurang pas, “Kok ndak sebagus biasanya ya, tumben? Tapi, ya sudahlah nggak papa. Oke, kok,” menurut saya. Jadi saya bilang bagus saja, meskipun sebetulnya ndak sebagus yang biasanya. Selera visual saya emang serendah itu, cuma bagus dan bagus banget; persis kayak makanan, cuma enak dan enak banget. Jadi judgement-nya kadang kurang valid untuk menilai. 

Sampai Mbak Ay akhirnya merespons, “Jelek ah.” Asli saya ngakak baca respons Mbak Ay, “Ya ampun, thank you Mbak for saying it. Kok saya tadi ndak tega ya untuk bisa bilang itu kurang sip?” Ada beberapa scene yang mengganjal dan kurang pas sebetulnya. Saya senyam-senyum sendiri memproses itu, karena kemudian menyadari sigel diri ini yang masih punya rasa pakewuh untuk mengatakan yang sesungguhnya.

Ini pembelajaran berharga untuk saya, bahwa saya ternyata masih BELUM MAMPU menjadi otentik sepenuhnya, masih ada selisipan rasa pakewuh yang masih harus saya lampaui. Pakewuh ini tentu saja penghambat keotentikan karena berarti tidak berani jujur apa adanya, alias palsu. Hakdezig!! Makanya saya dikasih teman belajar yang pakewuhnya tebel banget, untuk berkaca karena ternyata  saya juga masih punya juga sigel pakewuh itu.

To sum, apparently being authentic is not that easy. Halus-halus dalam bentuk pakewuh kayak begini masih banyak berhamburan yang perlu saya titeni lebih jeli dan saya bereskan dengan hening. Gimana saya bisa jadi leader yang baik kalo mengoreksi pekerjaan tim aja pakewuh? Gimana saya mau menjadi komandan pasukan maju ke medan perang kalau saya masih terikat pakewuh dan ndak bisa tegas tanpa pandang bulu? Pembelajaran leadership berharga untuk saya. Terima kasih bimbingannya Mbak Ay, Mas Guru SHD, dan teman-teman belajar yang menjadi cermin saya. Siap berbenah, mengosek pakewuh lebih bersih lagi. Otw otentik yang otentik beneran, bukan kaleng-kaleng.

 

Nenden Fathiastuti
CEO The Avalon Consulting dan Leader di Persaudaraan Matahari
10 Oktober 2024

Share:
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda