WHAT YOU RESIST PERSIST. Pasti sering membaca, ‘kan quotes filsuf jamdul ini, apalagi yang senang menghibur diri dengan kalimat bijak (seperti saya, haha). Dalam bahasa Indonesia artinya adalah apa yang kamu hindari, bukannya hilang malah akan muncul.
Quotes ini sudah banyak dimodifikasi, ditambahkan dengan kalimat lanjutan yang dipakai sebagai inspirasi bagi sikap dan kebijaksanaan moral yang sebaiknya dilakukan. Resistensi atau penolakan merupakan respons instingtif manusia terhadap sebuah situasi yang tidak diinginkan atau dianggap akan membuat diri menjadi tidak nyaman. Memori otak manusia memang sangat pandai, merekam berbagai data hasil cetakan pola pikir kita sendiri sehingga mampu membuat kelenjar untuk memproduksi hormon sesuai dengan kotak idealisme dan preferensi yang kita ciptakan sendiri.
Dalam kacamata fisika kuantum, aksi dan reaksi ini jelas ini mengenai medan energi atau vibrasi yang kita ciptakan bagi diri, sehingga menarik hal-hal yang sepadan dengan medan energi kita saat itu.
Dalam kacamata Spiritual Murni Setyo Hajar Dewantoro (SMSHD), sebuah situasi yang hadir bagi kita adalah hasil rajutan karma baik/buruk, yaitu yang sepadan dengan medan energi diri dan tentunya merupakan situasi yang kita butuhkan untuk pembelajaran bagi pertumbuhan jiwa, atau bahasa bijak njawaninya adalah ngunduh wohing pakarti.
Semakin kuat upaya untuk menghindar atau melarikan diri dari apa yang sudah menjadi jatah sebagai hasil rajutan karma, maka situasi yang sama atau serupa akan terus hadir, bahkan dengan bobot yang lebih besar lagi.
Situasi yang sama atau serupa akan hadir terus menerus sampai kita mampu belajar dari situasi itu dan memperbaiki diri menjadi lebih baik. Bagi yang beruntung bertemu dengan Ajaran SMSHD, proses belajar ini dibantu agar lebih cepat terjadi, sehingga tidak perlu menunggu lama sampai ratusan tahun kehidupan di Bumi.
Cukup sering saya membaca ungkapan pembelajar yang menyatakan betapa kerasnya perjuangan belajar meditasi/hening SMSHD. Ungkapan kepedihan, kesulitan dan rasa lelah seolah-olah memasuki ruang penyiksaan, cukup umum ditemukan di berbagai percakapan antar anggota komunitas. Ungkapan yang mencerminkan resistensi kuat dan diekspresikan dalam bahasa hiperbola dibalik emotikon senyum manis dan gurau canda ketika bercerita.
Saya membaca kembali jurnal pribadi sejak pertama belajar Ajaran SMSHD, apakah pernah tersurat ungkapan kepedihan atau gambaran perjuangan yang tidak manusiawi serasa diminta berenang menyeberang benua atau serasa diminta menggali mata air di padang pasir. Bagi saya, apabila saya diminta puasa tidak makan minum atau tidak tidur, maka inilah yang akan saya nyatakan sebagai penyiksaan ketimbang diminta menikmati nafas natural meditasi/hening metode SMSHD.
Saya punya banyak koleksi kisah kegagalan, perosotan, dan proses belajar yang penuh kepiluan, tapi ternyata tidak pernah saya ekspresikan dalam gambaran sebuah penyiksaan yang tidak manusiawi dan penuh drama hiperbola layaknya korban penyiksaan. Maka, bisa disimpulkan bahwa yang terjadi adalah isu kesenjangan sudut pandang, isu kesenjangan kerendahan hati, dan tentu isu kesenjangan niat belajar.
Bagi saya, yang pantas disebut sebagai penyiksaan nyata adalah ketika harus latihan fisik core training sebelum berolahraga di kain aerial setinggi 4 meter. Atau ketika harus berlari Half Marathon 21 km demi euforia tak terkira ketika mendapatkan medali finisher. Atau ritual sadis aneh bin ajaib yang saya sering dengar dari para penggemar supranatural.
Hal-hal macam inilah yang menurut saya lebih pantas dilabeli dengan perjuangan memedihkan dan berdarah-darah yang nyata ketimbang bermeditasi/hening metode SMSHD karena jelas seluruh tubuh betulan menderita, bahkan seringkali mengakibatkan cedera fisik yang ekstrem. Sementara, meditasi/hening SMSHD hanya diminta merasakan dan menikmati nafas natural dan menjalankan proses pemurnian sisi gelap yang diciptakan oleh diri kita sendiri.
Bagi sebagian besar anggota komunitas, cara belajar Ajaran SMSHD beserta teknik meditasi/heningnya dianggap tidak memberikan kenyamanan dan jauh dari solusi instan yang dicari-cari oleh masyarakat spiritualis pada umumnya. Respons spontan atas resistensi atau penolakan selalu diungkapkan, walaupun telah ratusan purnama menjalankan pembelajaran di komunitas, sehingga akhirnya ajaran yang menurut saya keren ini hanya digambarkan sebagai ajaran ngenes dan ladang penyiksaan, padahal kenyataannya ya tidak gitu-gitu amat juga.
Yang membuat situasi menjadi dramatis dalam hiperbola lebay ini tidak lain adalah cara berpikir diri sendiri. Isi kepala yang penuh ilusi, asumsi dan harapan yang tidak realistislah yang membuat resistensi atau penolakan terjadi.
Rasa pedih, kecewa, dan tidak nyaman secara konsisten hadir akibat memegang teguh kehendak egoistik akan sebuah bentuk kenyamanan yang diburu. Padahal sudah jelas Ajaran SMSHD adalah untuk membersihkan diri dari hasrat egoistik, antitesis dari keinginan nyaris seluruh anggota komunitas.
Sebagai gambaran hasil pengalaman otentik, ketika sebuah niat tulus dan kesungguhan untuk melakukan perbaikan hadir, maka dijamin situasi tidak akan sekejam yang didramakan sendiri dalam pikiran. Semakin berdrama dan memblokir diri dengan resistensi dan pemberontakan, maka rasa tersiksa akan menguat atau bahasa kekiniannya disebut mental blok. Semakin berharap untuk segera lepas dari situasi yang mau dihindari malah akan menarik Kembali situasi yang sama atau serupa dalam bentuk yang lebih tidak menyenangkan lagi.
Spiritual Murni SHD ini memang perkara serius, beda kan dengan ajaran lain? Ajaran SMSHD tidak bisa main-main, hanya untuk hiburan dan glorifikasi pengetahuan langit untuk memperindah portofolio spiritualitas semata.
Oleh sebab itu, menjadi sebuah kewajaran apabila banyak yang culture shock ketika mulai belajar Ajaran SMSHD ini dan membutuhkan waktu yang panjang untuk beradaptasi dan kalibrasi. Semakin resisten, maka durasi adaptasi akan semakin panjang dan bertele-tele, belum lagi disertai kerusakan syaraf yang akan membutuhkan upaya penyembuhan yang berkali-kali lipat lebih rumit dan panjang lagi.
Teknik meditasi/hening SMSHD dianggap sangat rumit njelimet padahal sederhana dan tidak ada syarat aneh-aneh. Yang menurut saya lebih pas disebut dengan penyiksaan, yaitu dengan syarat dan ritual aneh yang secara nyata menyiksa fisik, mental dan dompet.
Tapi, lucunya syarat rumit yang tidak manusiawi dari yang jelas membuat tubuh fisik menderita puol, dianggap lebih mudah dijalankan ketimbang sekadar berbuat tulus, sekadar berendah hati, sekadar berlatih dengan kesungguhan, dan sekadar menjadi ketekunan dan konsisten menikmati nafas natural. Ternyata, selama syarat rumit tidak manusiawi itu dapat memanjakan ego dan memenuhi agenda egoistik, sekejam dan sekeji apa pun caranya akan ditempuh.
Mengorbankan tubuh fisik sampai rusak dan mengorbankan keselamatan jiwa menjadi lebih menyenangkan dan dianggap tidak menyiksa ketimbang mengorbankan daftar panjang hasrat ego nan egoistik dan sisi gelap.
Jadi, menurutmu yang membuat ajaran SMSHD dan meditasinya menjadi rumit njelimet dan penuh penyiksaan apakah karena ilmu pengetahuannya yang jelek, atau karena tekniknya yang rumit, atau cara belajarnya yang tidak menyenangkan, atau cara berpikirmu yang penuh prasangka dan harapan nan egoistik? Dan apakah dengan mempertahankan resistensi/penolakan akan membuat proses belajarmu menjadi lebih mudah?
Yang dihindari akan hadir, bahkan dalam kapasitas yang lebih besar lagi. Yang bertujuan untuk membuatmu belajar dan bertumbuh menjadi manusia yang lebih baik.
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
2 November 2024
Reaksi Anda: