
Setelah menuliskan artikel berjudul ‘Deep Learning’, saya jadi ingat istilah generasi Alpha tentang otak yang dianggap rusak karena terlalu banyak menyerap konten sampah dari sosial media, yaitu brainrot atau pembusukan otak. Konon pengidap brainrot ini punya ciri kurleb, seperti susah fokus, sulit berpikir dengan jernih, lemot, sangat pelupa, tidak mampu berpikir dengan kritis, pahpoh, lemot, pandangan sering kosong karena hanyut dalam lamunan, susah berkomunikasi dengan jernih, mudah tantrum, degradasi fungsi otak dan kecerdasan lainnya. Kalau kondisi otak sudah membusuk, terlihat jelas dampak buruk bagi kesehatan mental, karakter, mindset, perilaku, dan ujungnya pasti kesehatan fisik yang ekstrim, kinerja menurun dan semua elemen kehidupan.
Sebenarnya ilustrasi berupa brainrot ini mirip dengan kondisi lapisan kesadaran manusia yang terdegradasi atau rusak akibat terlalu banyak ‘Sisi Gelap’ (shadows).
Terlalu banyak ‘Luka Jiwa dan Trauma’, terlalu banyak ‘Angkara’, terlalu banyak ‘Ilusi’, terlalu banyak berkhayal, terlalu banyak bermain-main energi tidak selaras, terlalu banyak hasrat egoistik, dan seterusnya. Degradasi atau kerusakan syaraf dan kesadaran yang terjadi dalam konteks ‘Spiritual Murni SHD’, memang cocok disebut dalam bahasa hiperbola dramatis seperti brainrot. Karena ciri-cirinya kurleb, ya sama saja. Hanya bedanya, terjadi pada generasi yang sudah dewasa dan lebih mapan secara akademik, disebut sebagai eror, korslet, syaraf rusak, amnesia, budeg, ilusi akut, dan gejala degradasi fungsi otak lainnya.
Dalam konteks kesehatan kesadaran, ilustrasinya memang mirip, seperti seorang manusia kesulitan berpikir dengan jernih akibat ilusi terlalu tebal. Atau ketika hobi berprasangka buruk karena luka jiwa yang tebal, kecemasan berlebihan (anxiety) karena insekuritas dan ketakutan tinggi, atau bisa juga berupa ‘Disonansi Kognisi’ akibat terbiasa bicara bijak dengan teori cantik, tetapi perilaku di keseharian malah sebaliknya. Bisa juga berupa gejala amnesia dengan pengalaman Ketuhanan yang pernah dirasakan, logika yang terbolak-balik kusut mumet saking senang berpikir tanpa kesadaran, dan masih banyak lagi gejala kerusakan syaraf pada otak akibat keracunan sisi gelap (shadows). Sepertinya bisa juga dibuatkan terminologi khusus spiritual murni, yaitu ‘Conscious-rot’.
Sama seperti ketika saya belum mengenal ‘Spiritual Murni SHD’ dan ‘Pemurnian Jiwa’. Umur yang makin bertambah, sepadan dengan kemampuan kognitif yang semakin menurun. Walaupun tetap menjadi manusia yang berperilaku sesuai tata krama, sopan santun, dan masih punya kecerdasan akademik, tetapi tidak bisa disangkal gejala degradasi fungsi otak tipis-tipis tetap terasa. Proses penuaan tubuh fisik, menurunnya fungsi organ dan metabolisme, ternyata diperburuk dan terakselerasi oleh koleksi sisi gelap (shadows) yang diciptakan selama hidup. Bisa dilihat sendiri di sekeliling kita bahwa penyakit fisik berupa penurunan kesehatan syaraf dan otak, semakin marak dalam beberapa dekade belakangan ini. Bahkan, artis ganteng terkenal yang tidak kekurangan materi seperti Bruce Wilis pun terkena demensia.
Dengan tekun ‘Bermeditasi/Hening Pemurnian Jiwa’, ‘Detoks’ sisi gelap (shadows), benar-benar mengembalikan metabolisme, kesehatan fisik dan fungsi organ lainnya, sehingga seperti mengalami reverse-aging.
Bermeditasi/hening pemurnian jiwa benar-benar mendetoks racun sisi gelap (shadows), membuang racun pada seluruh lapisan kesadaran, membersihkan pikiran yang kotor dan semrawut, menyembuhkan gerombolan luka jiwa dan mengembalikan kesehatan secara utuh, tidak hanya di lapisan permukaan saja.
Spiritual Murni SHD mengutamakan kebersihan lapisan kesadaran dari sisi gelap (shadows), bertujuan untuk membangun manusia yang sehat secara holistik, dan mengevolusi jiwa. Sehat mentalnya, sehat emosinya, sehat tubuhnya dan sehat jiwanya. Hanya sayang sekali label spiritualitas selalu dikaitkan dengan dunia supranatural yang penuh dengan metafisika galore dan kesaktian. Di mana-mana selalu menawarkan solusi instan bagi agenda-agenda yang egoistik dan tidak pernah ada dampak permanen terhadap kesehatan mental jiwa dan raga. Akibatnya, Spiritual Murni SHD yang justru berkarakter transformatif, progresif dan revolusioner membangun manusia, malah menjadi barang antik yang dianggap penuh kesesatan.
“Time never heals. Consciousness does” ~ Pure Spirituality.
Cukup mengenaskan bahwa teknologi yang berkembang pesat menjadi penyebab akselerasi kerusakan kesehatan manusia. Sementara itu, melalui Spiritual Murni SHD terjadi akselerasi penyembuhan dan pembersihan mental jiwa dan raga. Sehingga terjadi pembangunan kesadaran manusia yang berdampak nyata terhadap kesehatan mental, jiwa dan raga. Harapannya para manusia dewasa yang sudah memahami pentingnya kesehatan yang holistik, dapat mewariskan legacy yang tepat kepada generasi berikutnya.
Kalau Bumi yang terasa seperti surga belum bisa dinikmati saat ini, minimal kita bisa menjadi surga bagi diri sendiri dan mewariskan harta yang ternilai berupa solusi praktis untuk menjaga kesehatan mental jiwa dan raga.
“Time is not a healer. Consciousness is” ~ Pure Spirituality.
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
20 Juni 2025
Reaksi Anda: