
Tanggal 4 Juli, saya mendapat kabar bahwa teman baik Guru SHD telah berpindah dimensi. Menyaksikan (lagi) proses kematian tanpa sakit dan sekejap tanpa penderitaan dan sarat akan pembelajaran. Menyaksikan (lagi) peristiwa yang menguatkan keyakinan akan jalan hidup yang saya pilih, bahwa proses kematian tidak tergantung dari baju apa yang dipakai, dan tidak tergantung dari upacara apa yang dijalankan. Menyaksikan (lagi) bahwa ketika upacara berjalan dengan segala harapan dan sabda, sebenarnya Sang Jiwa sudah berada di dimensi sesuai dengan rajutan karmanya.
Secara fisik kami tidak terlalu dekat, hanya bertemu sekian kali dalam setahun, teman ngobrol yang seru dan satu frekuensi walaupun beliau tidak bermeditasi. Tidak punya ikatan emosional di tataran manusia, bukan sahabat dengan kedekatan fisik dan bukan objek utama yang beliau sayangi dalam konteks pertemanan ini. Tetapi, kepergiannya membuat saya mewek haru, rasanya seperti sangat berterima kasih karena telah menjadi salah satu sosok ibu yang menyayangi Guru SHD dengan tulus. Dengan caranya yang tidak beliau sadari, kontribusi tulusnya selalu mendukung langkah perjuangan Guru SHD dalam membangun kesadaran kolektif. Sangat langka bisa menemukan sosok yang tulus menyayangi Guru SHD di planet Bumi ini.
Lagi-lagi, saya seperti diberi kesempatan ‘mendampingi’ sosok ibu yang tulus menyayangi Guru SHD untuk menyaksikan jiwanya melanjutkan perjalanan. Selama dua hari sebelum upacara pelepasan, beliau hadir sepanjang hari seperti bercakap-cakap tiada henti. Rasanya seperti ‘menitipkan’ legacy yang perlu saya lanjutkan selama masih berkendara dalam tubuh manusia. Ketika saya tanya, “Mengapa Ibu pergi?”
Beliau menjawab dengan gaya khasnya, bahwa dalam bentuk nonmateriel, dukungan beliau akan menjadi lebih powerful. Berkali-kali mewek haru campur aduk dan terucap, “I love you, Ibu,” padahal secara relasi manusia saya bukan siapa-siapa bagi beliau. Pak Wahid, asisten yang menemani ibu di saat menjelang kepergiannya, tampak bingung melihat saya yang mewek di rumah duka, padahal bukan kerabat dekat.
Malam sebelum hari pelepasan, tetiba suara beliau mengecil tidak lagi ngobrol riuh ramai dengan ketawanya yang khas. Lalu, saya bermeditasi formal dan tidak sengaja terputar lagu ‘Ave Maria’. Saya merasakan sebuah ketenangan nan damai dan melihat beliau menjauh, memudar, dan tampak bersatu dengan tataran energi feminin tertinggi, yang disebut Divine Mother. Saya spontan mengatakan, “Ikut, dong.”
Lalu, Ibu menjawab, “Kamu kerja dulu” dengan suara yang berbeda. Oh, itu adalah suara Ibu yang sudah menyatu dengan Divine Mother.
Gerak semesta memang lucu, kok ya malah saya yang berjatah ‘menemani’ proses ini, sementara Guru SHD masih nun jauh di daratan China. Saya mengikuti proses pelepasan dan kremasi yang belum pernah saya ikuti sebelumnya. Menyaksikan upacara di rumah duka yang berlangsung dengan berbagai warna, sebagai bentuk penghormatan bagi tubuh yang telah menjadi kendaraan bagi Sang Jiwa. Belajar melampaui rasa takut terhadap bentuk fisik manusia yang tidak berjiwa lagi, dengan menyadari di mana beliau berada sebelum seremonial pelepasan ini. Menghayati gambar utuh sebuah gerak perubahan yang selalu acak dan tidak bisa ditebak oleh keterbatasan tubuh fisik manusia.
Lagi-lagi, saya menyaksikan kematian yang sangat indah dan mengharu biru atas sosok yang tidak saya terlalu kenal secara fisik, namun ternyata saya kenal secara jiwa.
Proses kematian yang dahulu saya yakini ada dan nyata, serta bisa dialami oleh siapa saja selama tahu caranya dan mau menjalankan prosesnya.
Bye Ibu, terima kasih atas bejibun titipan legacy kepada saya, akan saya jalankan dengan sepenuh hati.
“Nothing will ever be the same again.” ~ Matteo, Basia
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
7 Juli 2025
Reaksi Anda: