
Apakah kebenaran, apa pula kesalahan? Apakah kebajikan, apa pula kejahatan? Siapa yang ada dalam kebenaran, siapa pula yang berada dalam kesesatan?
Manusia tentu saja bisa berdebat dengan justifikasi masing-masing. Tapi, semua akan dibuktikan di sebuah momen: moment of truth.
Moment of truth yang paling nyata adalah saat kematian. Keadilan pasti tegak. Hukum Semesta berjalan tanpa bisa dinegosiasi. Setiap orang akan mengalami nasib sesuai dengan rajutan karmanya, sesuai dengan tingkat kemurnian persepsi, emosi, karma, dan energinya. Semua jejak pikiran, kata, dan perilaku manusia terekam di tubuh halusnya dan terealisasi menjadi apa yang kita kenal sebagai “nasib jiwa” – apakah kecemplung di dimensi rendah, jadi jiwa gentayangan, damai di alam penantian, atau bersuka cita di Nirwana?
Manusia boleh saja menyangkal, dan mengolok-olok dengan menyatakan nggak ada orang yang mati lalu cerita gimana nasib mereka. Tentu saja masalahnya karena manusia pada umumnya tidak bisa menyaksikan nasib jiwa yang telah lepas dari tubuhnya, dan orang yang telah meninggal juga nggak bisa berkirim email dan WA.
Saya “rewel” karena punya kepedulian, karena mengerti berdasar penyaksian: kematian bukan momen kita kembali ke sisinya, kembali pada kelanggengan – bukan sama sekali. Kematian itu momen ngunduh wohing pakarti, momen memetik buah perbuatan. Jelas ada prasyarat terperinci untuk benar-benar bisa masuk kategori orang yang selamat. Dan, orang yang kadung celaka nggak bisa dengan mudah bisa keluar dari penderitaannya.
Maka, saya “rewel” mengajak orang untuk rajin niteni diri, mengenali sisi gelap diri dengan segala manifestasi perilakunya – lalu dengan akal sehat mengubah kebiasaan agar terjadi perbaikan karakter. Saya juga “rewel” agar Anda rajin berlatih hening agar bisa mengalami pemurnian persepsi, emosi, energi, dan karma. Saya nggak putus asa meski banyak yang ndableg dan banyak pula yang malah kemlinthi akut – merasa lebih bijaksana dan lebih selamat ketimbang saya. Bermodal momen hidup yang masih sesuai harapan ego, plus beberapa kalimat bijak, ada saja yang ingin menunjukkan bahwa saya salah dan mereka benar – mereka mengabaikan perjalanan panjang yang saya tempuh, proses ekstrem yang saya jalani, dan segala ajaran otentik yang telah saya praktikkan dan sampaikan dengan konsisten sejak 2017. Saya belum bicara tentang perjalanan jiwa di past life saya karena mayoritas Anda juga nggak akan mudeng.
Tapi, setelah saya “rewel” dan orang tetap ndableg, segala sesuatunya bukan lagi urusan saya. Setiap orang harus bertanggung jawab atas hidupnya sendiri, ada konsekuensi yang melekat satu paket dengan free will.
Beruntunglah, Anda yang menemukan moment of truth saat masih hidup di Bumi, itu membuat Anda punya kesempatan untuk berbenah.
Setyo Hajar Dewantoro
Guru Kehidupan
7 Agustus 2025
Reaksi Anda: