
Perjalanan membuka kesadaran, bahwa untuk mencapai Rancangan Agung menjadi versi terbaik ternyata harus melampaui idealisme demi idealisme yang selama ini dianggap sebagai tembok perlindungan yang menyelamatkan. Di fase perjalanan kesadaran saat ini, banyak idealisme menjadi tidak berguna dan malah membuat hambatan totalitas ketika berupaya ‘Menari dengan Gerak Semesta’. Mempertahankan idealisme yang tidak tepat ditandai dengan gerak yang malah menjadi brebet dan tidak mengalir, penuh pemberontakan, penyangkalan, sampai dengan pelarian.
‘Belajar Seni Hidup SHD’ di ‘Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari’ benar-benar tanpa batas, belum tahu kapan berakhir dan bagaimana ujung akhirnya.
Setiap mata kuliah yang sudah dinyatakan lulus pada satu anak tangga, akan digali lebih dalam lagi di anak tangga berikutnya. Kualitas karakter luhur pun harus ditingkatkan, lagi dan lagi, seperti tidak ada ujung batas yang bisa diteropong. Begitu terus di setiap melangkah naik anak tangga, pencapaian yang sudah didapatkan akan ditingkatkan lagi ke level berikutnya, lagi dan lagi, seperti tidak ada habisnya.
’Ketulusan’, ‘Ketangguhan’, ‘Kepasrahan Berserah Diri’, ‘Totalitas’, ‘Resiliensi’, dan yang lainnya, terus menerus diasah dan ditingkatkan kualitasnya tiada henti. Walaupun ‘Clarity of Purpose’ sudah mentok atas, ternyata kestabilannya harus dibuktikan dengan ujian praktik yang terus-menerus hadir di setiap tangga kesadaran.
Ujian praktik yang memantik proses ‘Kaleidoscope’ berulang kali, untuk mengingat dan meneguhkan kembali ‘Tujuan’ yang paling luhur, ‘Raison d’etre’, memastikan agar tidak belak-belok atau meletoy, dan tidak tergoda untuk kembali lagi kepada tujuan cetek seumur jagung.
Cerita di balik kisah penemuan ‘Zona Nyaman yang Membosankan’ terjadi ketika saya dihadapkan pada finalisasi persiapan mencetak buku mahakarya perdana. Memasuki fase yang membuat saya membuka mata akan paketan tanggung jawab dan risiko publisitas dari menulis sebuah buku. Idealisme kuat sebagai bentuk perlindungan diri yang tercipta dari koleksi pengalaman yang tidak ideal, akhirnya menemukan momentumnya untuk dibongkar, agar menjadi ‘Totalitas’ ‘Menari dengan Irama Semesta’. Ada protes dan upaya tawar-menawar yang cukup kuat dari dalam diri, karena merasa belum fasih menghadapi kekotoran pikiran manusia. Rasanya ingin sekali ngumpet atau kabur untuk meminimalkan dampak publisitas untuk tampil di muka publik, belum lagi terbayang-bayang dengan respons yang mencerminkan kegetiran hidup.
Menulis buku perdana ini saya anggap sebagai monumen bagi transformasi diri. Antara ingin sekali karya tulisan ini dicetak, tapi malas menghadapi tanggung jawab seputar publisitas. Rasanya ingin melompat kembali ke zaman purba ketika penulis buku hanya menuliskan di sebuah kertas, tanpa perlu publisitas yang masif. Kok saya seperti kehilangan raison d’etre mengapa saya menulis buku, ya? Wah gawat, kemana ini clarity of purpose yang saya gaungkan? Mengapa ada ‘Blank spot’?
Akhirnya, saya menjajaki kembali siklus belajar yang selalu saya sampaikan kepada teman-teman, yaitu untuk menemukan dulu ‘Tujuan’. Mengingat lagi clarity of purpose dan membangun motivasi untuk membongkar idealisme, dengan menelaah kembali korelasi antara pencapaian versi terbaik diri dan kontribusi dalam membangkitkan kesadaran kolektif. Mempertanyakan ke dalam diri kembali, “Apa tujuan menulis buku? Bukankah saya paling militan dengan ajaran langit ini? Lalu, mengapa hanya mau melakukan dari balik layar?”
Yes, memang tujuan saya untuk berbagi hal-hal inspiratif kepada orang lain, tapi kok ada yang nyangkut. Ternyata objek yang ingin saya perjuangkan adalah ajarannya, sehingga merasa tidak perlu publisitas bagi praktisi sebagai identitas pribadi. Saya rela mendukung apa pun langkah yang dapat membantu membuka kesadaran kolektif, “tapi kalau bisa sih di belakang layar aja ya”. Totalitasnya ternyata masih ada embel-embel syarat yang baru terpantik oleh situasi se-grande ini. Oh, No. Rasanya baru mengerti bahwa di setiap anak tangga kesadaran selalu ada zona nyamannya masing-masing yang berpotensi membuat diri menjadi mager (malas gerak). Pada saat adaptasi sudah tercapai, pijakan sudah mulai ajeg, maka inilah titik memasuki zona nyaman.
Indikator kalkulator Semesta merespon bahwa saya sudah siap melangkah ke anak tangga berikutnya, siap menjalankan ujian level berikutnya, komplit beserta tantangan dan konsekuensi di level berikutnya.
Sudah satu minggu ini saya terus memproses pemusnahan idealisme yang membuat tarian menjadi brebet dan tidak mengalir. Ketika terpantik untuk menulis tentang kaleidoscope beberapa hari lalu, tidak lain adalah karena saya sendiri sedang membutuhkan kaleidoscope untuk meneropong kembali idealisme yang membuat clarity of purpose serasa berkabut. Mentransformasi kembali keengganan publisitas menjadi kepatuhan yang masih ada unsur keterpaksaan ‘I Have to’ menjadi ‘I Want to’ karena saya mengerti apa peran dan tujuan luhur yang paling jernih. Berproses untuk bergerak menjadi ‘I Love to’ agar tercapai ‘I’m Passionate to’, dengan membuka kesadaran lebih luas lagi dan lagi.
Selama satu minggu ini saya memperdalam lagi keheningan, untuk menangkap kode Semesta yang pasti dikirim melalui banyak hal di sekitar dan dipahami maknanya. Seperti ketika mengikuti ‘Kelas Mindful Writing’ yang diadakan oleh ‘Pusaka Indonesia’, saya menemukan pemantik motivasi dari Guru Kehidupan SHD, bahwa tujuan menulis adalah menjadi kontributor bagi kehidupan yang lebih baik, “Wah, iya mau-mau. Iya benar, saya memang menulis untuk ini.”
Lalu, ketika membaca kalimat provokatif dari salah satu tokoh feminis yang sangat nyentrik, menyatakan bahwa “Creativity is not only about creating a fiction, it’s about revolution, to revolt injustice.” ~ Kreativitas bukan hanya tentang membuat kisah fiksi, tetapi tentang revolusi untuk memerangi ketidakadilan. Wow, nampol banget ini. Rasanya seperti connecting the dots – kenapa Guru SHD selalu menyatakan bahwa bias gender menjadi isu pelik di dunia spiritual.
Setelah satu minggu ber-kaleidoscope, meningkatkan lagi kualitas meditatif atau keheningan, maka pemberontakan pun reda. Pondasi motivasi sudah terang kembali, I have to sudah berubah menjadi I want to (because I understand). Saya bersedia karena memahami apa tujuan dan apa tanggung jawab dari rancangan agung yang sedang saya jalani. Saya siap mengemban tanggung jawab penuh dari dicetaknya buku perdana, yang belum tentu laku di pasaran.
“The smallest act of conscious and sincere kindness, would change the world in the form you never imagined.” ~ Pure Consciousness
Ay Pieta
Pembimbing dan Direktur Persaudaraan Matahari
17 September 2025
Reaksi Anda: