Skip to main content
Refleksi

Kembali ke Pengobatan Herbal, Sebuah Titik Balik untuk Mempertahankan Hidupku

7 November 2025 Anastasia Indria No Comments
Kembali ke Pengobatan Herbal, Sebuah Titik Balik untuk Mempertahankan Hidupku

Aku mulai ambruk di akhir 2023. Waktu itu, aku juga sudah obesitas. Beratku 111 kg, karena aku seperti tidak pernah bisa merasa kenyang. Awal 2024, aku masuk ICU selama 5 hari. Di situ, segala macam teknologi kesehatan dengan mesin yang canggih-canggih aku jajal. Mulai dari pakai mesin ventilator, hingga mesin cuci darah. Jadi pas di rumah sakit, aku lebih banyak tidak sadarnya karena mesin-mesin itu.

Semua uang yang aku kumpulkan sejak ibuku meninggal habis. Kalau dihitung-hitung, nilainya setara dengan 1 unit mobil, jika dibeli dengan cash. Jadi memang benar kata-kata Mas Guru SHD: percuma ngumpulin duit kalau ujung-ujungnya habis buat sakit. Dulu waktu dengar itu, aku dalam hati berkata, “Ini lagi ngomongin gue nggak, sih!” 

Pada akhirnya, aku bisa melewati masa-masa kritis itu. Aku diberi kesempatan hidup kedua. Tapi, aku bukannya kapok. Pas keluar dari rumah sakit, aku ingin pulih instant! Secepatnya kerja, secepatnya dapet duit. Aku memang secara sadar meminta vitamin booster karena ingin segera kembali ke karier. Aku ingin secepatnya mengumpulkan uang lagi agar saldo yang habis bisa terisi kembali. Setiap hari aku minum sekitar 6 jenis obat untuk menjaga agar performaku tetap normal. 

Pada November 2024, aku ikut retreat meditasi yang diselenggarakan oleh Persaudaraan Matahari di Solo. Waktu itu sempat ditanya oleh Mas Guru, “Ini kamu serius apa nggaksih? Kamu datang ke sini ngapain, Nas?” Aku langsung ditunjuk sama Mas Guru. Kemudian Mas Guru menjawab sendiri, “Kamu ke sini karena panggilan jiwa kamu!” 

Lalu di sana, kakiku tiba-tiba gatal entah digigit apa. Dan akhirnya pas kembali ke Jakarta, infeksinya memburuk, bahkan melepuh hingga ke betis. Pada akhir Januari, aku sudah siap dengan segala resiko. Waktu itu, Mbak Ay (Keisari Pieta, Direktur Persaudaraan Matahari), juga sudah mengingatkan, “Udah, kamu banyak-banyak minta maaf.” Ya ampun, waktu itu aku masih nggak ngerti kenapa.

Saat itu dokterku pun menyarankan, “Anas, lebih baik kamu dirawat di rumah sakit.” Waktu itu aku merasa, “Memangnya tidak ada alternatif lain, apa?”  Pokoknya aku keukeuh nggak mau. Aku tidak tau kenapa, tapi pokoknya aku nggak mau. Pokoknya, ya udah apa pun yang terjadi, aku jalanin.

Dan akhirnya, aku memulai babak baru lagi dalam perjalanan hidupku: kembali menikmati sakit seperti setahun lalu. Di awal tahun ini, aku dikasih sakit yang masih agak mirip-mirip dengan tahun sebelumnya, namanya Autoimmune Rheumatoid Arthritis. Jadi, penyakit yang biasanya menyerang artis-artis itu, akhirnya menyerang aku juga. Hahaha!

Sesuai saran dokterku, aku mengikuti jalur-jalur pengobatan yang sudah dibakukan. Aku ke dokter spesialis konsultan Rheumatologist dan di rumah sakit super lengkap itu aku diwajibkan untuk periksa laboratorium, rontgen hingga tes-tes radang kronis lainnya. Dari segala tes dan pengakuanku maka diagnosa autoimmune RA ditegakkan oleh Bu dokter. Dari paket pengobatan satu bulan, baru dua minggu saja, rasanya badanku sudah tidak karuan. Aku bisa minum 3 jenis pain killer sehari. Dan itu tidak membuat nyeriku hilang sama sekali. Autoimmune-ku banyak menyerang di sendi-sendi kecil. Aku merasa kaku. Jari tanganku miring nggak bisa lurus. Jadi, kalau ngetik atau pegang hape kesusahan. Dan, itu membuat shock orang-orang di kantorku. Mereka bilang, “Anas biasanya kuat-kuat aja, kenapa sekarang kayak begini?”

Ini kemudian memicu aku meminta undur dari aktivitas kerja. Partner bisnisku agak heran, kok sampai segitunya. Dan waktu itu, aku pun merasa, I am not good enough! Kayak ada suara-suara kecil dari dalam yang bilang, “Ah lu sih, Nas! You are not good enough, you are not strong enough. Kamu harusnya bertahan!” Semua kolega atau pun kawan-kawan dekat saya tidak percaya jika aku menjadi ringkih dan tak berdaya, seolah mereka bilang, “I don’t believe you! Kamu malas aja.”

Undur dari jabatan di kantorku, aku ambil cuti tidak dibayar. Kenapa bersedia, karena kalau aku pikir-pikir, ya udah biarin aja. Emang kenapa sih kalau nggak dibayar? Untungnya, KPR rumahku juga sudah mau lunas, jadi aku boleh ngambil utang lagi. Dan, nyatanya aku sudah habiskan juga. Jadi, aku sudah dua kali menghabiskan uang ratusan juta untuk gejala-gejala penyakit ini. Butthe good thing is…. aku masih hidup sampai sekarang!

Di Facebook Mas Guru, aku ingat, Mas Guru menjawab komentar aku di kolom postingannya: “Kamu ini sudah dikasih kesempatan kedua, kok, masih nggak sadar. Mau diulangin lagi?” Aku waktu itu jawabnya bingung. Iya benar juga, ya. Sampai dua kali. Dan sekarang aku mantap sudah bisa jawab. Bedanya, dulu (waktu sakit pertama), itu aku menyerahkan nyawaku, “Yo wess sono!” dengan segala skenario dari Big Pharma.

Suatu malam, aku sempat kirim WA ke Mbak Ay. Aku bilang, “Mbak Ay, kayaknya aku udah mau mati, deh hari ini.” Lalu Mbak Ay dengan dinginnya menjawab, “Memangnya kalau udah mau mati, kenapa?”

Tiba-tiba anjingku menggonggong tidak berhenti-berhenti. Aku datangi anjing itu dan berkata, “Bentar, ya! Mami lagi WA.” Di situ aku tersadar, oh, iya ya! Aku ‘kan belum mati. Ngapain mikirin mati? 


Malam itu aku berurai air mata. Aku sebetulnya cengeng, tapi tidak pernah aku perlihatkan. Sudah lama aku tidak menangis dan merasa menjadi korban. Aku merasa malu. Aku bilang ke diriku sendiri, “Kok, kamu dari dulu begitu, selalu merasa jadi korban dari keadaan. Itu kan ulahmu sendiri dan kamu harus berterima kasih sama anjing kamu yang menggonggong tanpa henti, karena itu yang menyadarkan bahwa kamu belum jadi hantu. Kamu masih hidup!” 

Penyakitku itu menyerang semua sendi dan semua otot, jadi sendi dan otot dari ujung kepala sampai ujung kaki, semuanya nyeri. Ternyata ada berkahnya juga. Itu jadi momen transcendental transformation. Dan, itu baru benar-benar bisa aku rasakan momennya pada acara Pagelaran Musik Hening yang diselenggarakan Pusaka Indonesia dan Persaudaraan Matahari pada 24 April kemarin di Gedung RRI Jakarta, di mana aku ikut muncul di atas panggung. Sebelum pagelaran, Mas Guru bilang, di antara babak-babak lagu akan ada segmen ringan. Waktu itu, aku iyain aja. Karena aku ingat waktu WA Mbak Ay, aku sudah mau mati, terus nggak jadi, karena Mbak Ay menyadarkan, “Kamu itu apaan, sih. Main game, kek! Ngapain, kek! Itu jauh lebih berguna daripada pikiran-pikiran soal mati.”

Jadinya, aku mengiyakan Ketua Panitia Pagelaran waktu itu (soal mengisi segmen ringan di panggung). Aku juga heran kenapa bisa. Tapi sebenarnya, setiap selesai latihan, aku tergeletak aja di kasur karena untuk bangun aja udah nyeri banget. 

Waktu pementasan, aku duduk di kursi roda, tapi aku kuat. Padahal hari itu aku harusnya di rumah sakit. Aku naik panggung dipapah oleh Mas Parjono (salah seorang panitia). Di belakang juga ada yang pegangin buat siap-siap kalau aku jatuh. Aku kuat naik 5 anak tangga. Aku tidak bisa melakukan ini jika bukan karena sebuah keajaiban. Aku merasakan bahan bakar keajaiban itu sebenarnya adalah suka cita. Aku memang waktu itu senang-senang saja. Di panggung, aku berperan sebagai seorang mantan selebriti. Aku tidak sadar bahwa, sosok yang aku perankan itu sebenarnya menggambarkan ego aku sendiri.  

Saat didera kondisi autoimun, akhirnya bisa memahami apa yang sering diwedarkan di webinar soal daya hidup, tubuh sebagai kendaraan bagi sang jiwa. Ah, aku menerima semuanya dan menyadari selama bertahun-tahun aku telah menyiksa tubuhku sendiri dengan ambisi, nafsu dan luka jiwa, jika memang mati, ya udah mati. Aku benar-benar berserah aja. Maaf tubuhku.

Jika awalnya aku niat diet alergi, namun lama kelamaan indera perasaku jadi tak berfungsi baik, over sensitif. Kalau aku masukkan makanan, langsung mual dan keluar lagi. Ada perbedaan jika dibandingkan saat ku dirawat di ICU. Bedanya dengan waktu opname di Rumah Sakit, diriku TAK SADAR, waktu itu aku disuntikkan makanan melalui hidung, dan nafas dibantu ventilator. Sedangkan kali ini, selama bulan Maret itu, sakit di rumah, aku rasanya secara SADAR PENUH, memutuskan tidak makan seperti biasanya dan hanya memilih yang tubuhku bisa terima saja. Sampai teman-temanku pada khawatir. Mereka bilang, “Ini kamu diet atau apa sih?” Aku dari pagi, siang, sampai sore, selalu mual. Dan ini memang bukan asam lambung, aku tidak tahu juga kenapa. Rasanya tubuhku ini ambil kendali dan mau makan yang segar-segar seperti bengkuang dan jambu air.  Dan aku tidak bisa bergerak, hanya bisa mendengarkan suara. Membaca pun, aku tidak bisa karena mataku langsung jadi berkunang-kunang. 

Sampai akhirnya tengah bulan April, aku bertemu dengan satu dokter, dan dia senyum – senyum saja ketika aku bercerita dikasih methotrexate sama asam folat. Jatah obatnya 4 kali, tapi baru 2 kali saja rasanya udah seperti mau meninggoy (meninggal). Ternyata dia punya alternatif pengobatan yang merupakan hasil riset dia sendiri untuk membantu istrinya juga pernah sakit autoimmune. Ternyata, menurut dokter ini, yang harus dibenerin itu seluruhnya, holistik, mulai dari pola makan, pola tidur dan yang penting jangan stress.

Oleh dokter ini, awalnya aku diberi terapi pengencer darah, lalu dilanjutkan minum herbal berupa fermentasi madu hutan. Masalah ligamen atau sendi yang meradang, menurut ilmu kedokteran modern tidak bisa diapa-apain. Tapi menurut pengobatan akupuntur Traditional Chinese Medicine (TCM), banyak yang sudah membuktikan, bahwa bisa ada perbaikan. Jadi aku pikir-pikir, ya sudahlah aku coba TCM. Toh, TCM ini sudah ada sejak beratus-ratus tahun lalu, jauh sebelum munculnya ilmu kedokteran modern. 

Di saat yang sama, anjing – anjing peliharaanku juga mulai sakit karena memang sudah tua, dibantu kawan dekatku, rutin membawa anjingku terapi akupunktur (tusuk jarum) setidaknya aku menyaksikan anjingku yang sepuh (usia sekitar 17 tahun) – sudah oma-oma ternyata bisa lebih nyenyak tidur. OK, nanti jika sudah diijinkan dokter, aku pun makin mantap lanjut pengobatan akupunktur.

Jadi, salah satu keuntungan habis ‘ditampar’ sama Mas Guru dan Mbak Ay adalah, perubahan pola pikirku ini. Kalau dulu aku punya niat mengalap berkah dan berharap sembuh secara instan, sekarang aku bisa menceritakan kepada Mas Guru dan Mbak Ay soal rencana-rencanaku untuk penyembuhan. Kalau Mas Guru, jawabnya, “Iya, sabar ya!” Sabar? Hmm… Ok! Hahaha.

Menjadi tidak berdaya, padahal dulu sangat perkasa, itu rasanya memang sangat pedih. Tapi kalau aku pikir-pikir lagi, ya baguslah masih bisa nafas. Untungnya, di Persaudaraan Matahari aku sudah diajari agar setiap bangun pagi bisa belajar mensyukuri nafasku: oh iya, aku masih hidup, ya! Walaupun badanku kaku banget seperti kayu, masih untung diberi hidup hari ini!

Aku menikmati semua proses yang aku jalani. Aku mulai memperbaiki hubungan dengan orang-orang di sekitarku. Dengan partner kerjaku –yang dulu kita saling berantem karena sama-sama egois– sekarang sudah saling mengerti. Kami mengakui bahwa masing-masing dari kami punya kelebihan dan kelemahan. Image buruk tentang pria Jawa yang kupertahankan puluhan tahun, karena trauma melihat kelakuan saudara-saudara laki-lakiku, akhirnya juga sudah bisa hilang. Ajaib ya….


Nah, tentang herbal fermentasi madu hutan tersebut, Pak dokter menceritakan bahwa, sebenarnya ada sejenis tawon dari Kalimantan, yang liar sekali dan madunya bagus untuk pengobatan. Dia pernah ditugaskan di pedalaman sana. Kata dia, jenis tawon ini, di sana tidak dibudidayakan. Tapi oleh orang-orang, suku di Kalimantan sana, dengan integritasnya, berkomitmen menjaga kelestarian tawon tersebut. Jadi, kalau ketemu, ya ketemu. Kemudian dokter ini melakukan riset dan membuat fermentasi madu tersebut. Karena kalau madunya langsung ditelan begitu saja, tidak berpengaruh. 

Saat mulai minum fermentasi madu hutan tersebut, aku dikenakan dosis paling kecil dulu, ketika tidak terjadi alergi maka baru ditingkatkan. Itu sangat masuk akal dengan kondisiku saat itu. Makanya, aku hasilnya lebih lama baru kelihatan. Aku pikir, ya udah nggak apa-apa. Yang penting kan, aku masih hidup. Jadi, madu fermentasi ini adalah obat yang paling nikmat yang pernah aku minum. 

Selama sakit ini, aku juga jadi lebih perhatian sama teman-temanku. Ada yang punya kesulitan menghadapi mama-papanya yang sudah tua dan susah bergerak. Ada yang cerita mamanya jatuh dari ranjang – untungnya nggak stroke. Aku bilang ke dia, “Elu nggak usah pikirin itu. Aku kalau ada dan bisa bantu, aku bantu.” Aku berusaha membantu sebisanya jika mereka ada perlu. Aku berubah menjadi seorang Anas yang lebih ada waktu untuk mendengarkan cerita. Terus aku jadi ingat, wah enak juga ya bisa bantu orang. Ini bukan soal boros. Tapi soal currency. Kalau aku bisa bantu orang, ya aku bantu. Dulu aku punya prinsip time is money. Sekarang aku sadar bahwa sebenarnya aku punya banyak rejeki, dengan dikasih waktu hidup begini panjang, dan sudah melewati tiga kali proses penyaringan. Jadi, ini adalah kesempatan hidupku yang ketiga.

Selama sakit ada yang kuperhatikan, jenis-jenis makanan yang populer di sosmed, semua adalah kesukaanku! Murah-murah, pedas dan penuh gluten serta melalui proses yang mengubah bentuk pangan aslinya (ultra processed food).  Semua makanan itu kunikmati penuh nafsu hingga collapsed! Dan, ketika diriku jatuh sakit, jika aku terus mengikuti skenario pengobatan dari Big Pharma, pasti sampai sekarang badanku masih sakit atau pun memburuk. Mau pakai duit berapa pun, nyawa juga akhirnya melayang. 

Jadi, moral of this story, bersyukurlah saat masih bisa bernafas. That’s the basic thing! kalau bangun pagi masih ada nyawa, itu sudah syukur yang luar biasa. Kepada Mas Guru dan Mbak Ay, aku mohon maaf. Mungkin selama ini belum banyak yang bisa kulakukan untuk organisasi. Hitung-hitungan njlimet untung atau rugi khas Anas yang dulu, kini sudah menguap! Akhirnya bisa menyadari, berkarya adalah bentuk konkrit kebersyukuran hidup itu sendiri.

 

Anastasia Indria
Pembelajar Persaudaraan Matahari

Share:

Reaksi Anda:

Loading spinner