Apa dasar dari laku spiritual ini?
Mengertilah bahwa sejatinya diri Anda adalah Sang Jiwa. Sang Jiwa menempati tubuh ini, tubuh ini adalah kendaraan fisik bagi Sang Jiwa untuk bisa hidup di Bumi untuk bisa menjalankan proses evolusi lebih lanjut di sini. Jiwa ini punya kesadaran. Tubuh fisik ini salah satu komponennya adalah otak, otak ini memunculkan fungsi pikiran. Nah, selama jiwa hidup di tubuh ini, dia tidak bisa lepas dari otaknya, tidak bisa lepas dari pikiran. Tetapi, harus dimengerti bahwa pikiran itu bukan jiwa. Pikiran itu bukan sejatinya diri kita, pikiran itu alat kita untuk tinggal di bumi. Alat untuk apa? Alat untuk memahami segala yang ada, untuk bisa memperhatikan segala realitas yang ada, untuk bisa menganalisa segala yang ada, untuk menyimpan data, fungsi memori. Juga menjangkau masa depan, membayangkan yang belum ada dan nyata sebagai fungsi imajinasi.
Kalau kita sudah mengerti, maka hiduplah dengan kesadaran yang lebih dalam. Berangkat dari pengertian bahwa Anda adalah Sang Jiwa itu. Nah, Si Pikiran itu jangan biarkan mengendalikan diri Anda. Anda harus bisa mengerti bahwa dia itu ada dalam jarak tertentu dengan diri Anda. Pikiran itu terpisah dengan diri Anda. Apa pembuktiannya? Sederhana. Ada nggak yang pernah ngelamun jorok? Pikirannya ke sana ke mari, pasti adalah. Saya juga dulu pernah. Ketika kita ngelamun jorok, ada nggak bagian dari diri kita itu yang menyadari bahwa sedang melamun jorok? Ada, ‘kan. Ada nggak bagian dari diri kita yang kemudian menggerakkan kita untuk berhenti ngelamun jorok? Menarik kembali pikiran itu kepada yang tidak jorok, ada nggak? Ada, mengerti, ya.
Dalam diri ini ada diri Anda yang memegang kendali, basisnya adalah Sang Jiwa. Ada pikiran Anda yang melekat di otak, tetapi itu bukan Anda. Itu adalah alat bagi Anda.
Dalam meditasi, Anda yang memegang kendali atas alat itu, otak. Ketika saya menyatakan, “Mari kita betul-betul merasakan aliran nafas”. Jangan biarkan Si Pikiran dengan spontan mengendalikan nafas, tetapi Anda bawa pikiran itu hanya menjalankan salah satu fungsinya, yakni fungsi observer. Membawa pikiran hanya memperhatikan nafas itu dengan penuh sehingga kita bisa merasakan nafas itu. Merasakan nafas itu berarti menggunakan sense kita. Kalau kita tidak memperhatikan nafas kita, kita tidak akan merasakan nafas kita padahal tiap saat kita bernafas. Kalau kita tidak betul-betul memperhatikan nafas, walaupun udara melewati hidung, masuk tenggorokan, melewati banyak saraf perasa, kita tidak akan terrasa, ya. Jelas? Ini kita beri perhatian supaya terrasa nafasnya, bisa dirasakan. Kalau nafas bisa dirasakan, kita juga bisa merasakan bersama nafas itu ada kasih yang murni. Nah, kalau Anda sudah bisa merasakan kasih murni, merasakan Anda dikasihi oleh Tuhan, itu adalah pintu masuk untuk betul-betul hening, Itu tahapan hening yang paling awal.
Kalau meditasi Anda malah pusing sendiri, tegang sendiri, itu bukan hening namanya, walaupun matanya merem. Nah, sebagai pembanding, bisa nggak kita minum tapi nggak merasakan apa yang kita minum? Bisa. Saat apa? Saat minum, malah memikirkan utang yang terasa sesak. Padahal yang diminum manis. Bagaimana cara agar bisa merasakan apa yang kita minum? Nggak usah mikir yang nggak-nggak. Utang ya utang, nanti waktunya dibayar, ya dibayar. Sekarang nikmati dulu minuman yang ada. Caranya bagaimana? Otak dengan fungsi pikiran itu betul-betul dibawa memperhatikan apa yang sedang kita kerjakan, bawa pikiran untuk memperhatikan saat kita betul-betul sedang minum. Ada rasa manis/enak. Karena otaknya nyambung dengan saraf perasa di mulut ini sehingga kita bisa mengerti apa yang sedang kita sedang rasakan.
Buang Teori Mengatur Nafas
Meditasi juga begitu, segala teori lain yang membuat kita mengatur-mengatur nafas, buang. Termasuk teori “nafasnya nggak ada” ora peduli, emangnya kita yang ngatur? ‘kan kagak, itu nafas-nafas kita sendiri. Pokoknya, apa yang Tuhan kerjakan dalam diri ini, kita hanya memperhatikan sampai kita merasa tentram. Sampai kita mengerti betul bahwa kita dikasihi oleh Tuhan. Nah, kalau ini saja gagal, ke sananya pasti nggak akan berhasil. Kalau dalam nafas saja kita mulai sok-sok ngatur, bagaimana hidup yang lain? Nafas yang mestinya betul-betul kita rasakan, kita atur-atur. Itu sama dengan kita menguatkan ego. Nah, untuk hal-hal yang lain pasti yang dominan adalah egonya.
Kenapa meditasi itu dikatakan sebagai momen untuk meluruhkan ego? Karena sebetulnya kita punya ego, tetapi ini tidak kita pakai. Kita hanya menerima ketika Tuhan bekerja dalam diri kita. Kita nggak ngatur-ngatur, kita hanya menerima, berterima kasih. Nah, teman-teman semua, ini hal yang paling sederhana dan bagi sebagian orang justru itulah yang paling sulit. Nah, karena ini sulit, maka perlu ada beberapa pengalaman tentang orang yang berhasil di proses ini. Siapa yang punya pengalaman, ada nggak, yang bergeser dari sesuatu yang sulit, sekarang sudah mulai gampang?
Kadang-kadang kita itu disulitkan oleh pikiran kita sendiri dengan membuat bahasa-bahasa yang tidak realistik. Bahasa “menemukan kasih” yang diungkapkan itu mengindikasikan ada sesuatu yang harus ditemukan, ada objek yang harus kita bisa saksikan betul, dan jangan-jangan dia membayangkan bisa dilihatkan.
Menikmati
Sekarang, pembahasannya nggak usah tentang bernafas dulu. Ketika Anda ngopi saja, memangnya bersama kopi itu tidak ada kasih? Terus kenapa susah untuk ditemukan? Memangnya apa yang Anda cari? Sekarang, pertanyaannya di balik, Kalau ngopi, memang nggak merasakan kasih? Bersama kopi itu ada nikmat. Kalau nikmat berarti kasih, bukan? Dibalik nikmat, itulah kasih. Ketika Anda ‘tang tung tang tung’ (main alat tradisional), ada nikmat dari suara yang indah, yang mendamaikan kita, apakah itu bukan kasih? Mau dicari apalagi? Clear, ya.
Tapi, tidak apa-apa. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Mengertilah, dalam segala hal yang kita nikmati itu adalah wujud kasih. Ada kasih di sana. Sekarang kita bersandar, nikmat. Itu wujud kasih, bukan? Kaki kita selonjoran, bentuk kasih, bukan? Bentuk kasih. Kalau tidak bisa, kita menderita. Lalu, yang dicari apa? Ini harus diperbaiki dulu. Jadi, nggak usah nyari-nyari kasihNya karena kasihNya sudah jelas. Di dalam nafas yang bisa dinikmati itu ada kasih. Ya sudah. Makanya, kita berterima kasih masih bisa bernafas. Itu sederhananya. Kalau ada yang nyari kasih, ada nggak ya yang nyari nafasnya ada di mana?
Sederhana, antara betul-betul menikmati nafas dengan mengatur-atur nafas, tapi ini dua jurusan yang berbeda. Kalau Anda menikmati nafas, anyda ada di jalan kepasrahan yang ujungnya adalah jalan kebahagiaan, jalan keselamatan. Kalau Anda mengatur-atur nafas, ini jurusan menuju kepada penguatan dan peninggian ego, termasuk nanti kalau ada yang mengatur-atur nafas pasti punya tujuan, misalnya biar sakti. Nah, itu bukan spiritualitas. Itu yang membuat Anda terjebak, nanti egonya semakin kuat, nanti ada kamuflase yang seolah-olah dapat kekuatan spiritual sehingga semakin nyasar. Ketika ego makin kuat, Anda akan semakin terjerat di dalam penderitaan. Belum lagi nanti ditambahi ego semakin menguat, kita mengundang jeratan Dark Force (DF). Begitu prosesnya.
Maka, jurusannya mulai diperbaiki. Ini seperti terminal bus, antara menikmati nafas dengan mengatur nafas itu berbeda. Kalau menikmati nafas hasilnya adalah kota kebahagiaan, kalau mengatur nafas hasilnya kota penderitaan. Kalau ini tidak diperbaiki, maka hal-hal mendasar juga tidak akan beres. Jadi, saya mau ingatkan teman-teman, “Yuk, balik lagi kepada ini.”
Wedaran oleh Setyo Hajar Dewantoro
Kajian Jakarta, 17 Oktober 2021
Reaksi Anda: