Skip to main content
Pijar Kesadaran

Memilih Benih Keilahian atau Benih Angkara Murka?

26 September 2021 Persaudaraan Matahari No Comments

Setiap manusia yang ada di bumi ini sebelum betul-betul mengalami keadaan tercerahkan paripurna atau belum sepenuhnya bertransformasi menjadi jiwa Ilahi, maka di dalam dirinya pasti ada dualitas. Dualitas menjadi bagian yang tak terpisahkan dari manusia secara umum. Setiap orang dengan dualitasnya punya kecenderungan untuk bertindak dengan kasih, kebijaksanaan, dan kebenaran sejati. Tetapi, pada saat yang sama manusia juga bisa cenderung melakukan sebaliknya, hidup dalam keangkaramurkaan dalam segala bentuknya. Hidup dalam kesombongan, keserakahan, kekejaman, dan segala watak angkara lainnya.

Secara umum, manusia selalu ada di persimpangan: antara menjadi diri yang hidup selaras dengan kebenaran atau sebaliknya.

Dualitas mengejawantah menjadi benih-benih keilahian dan benih-benih keangkaramurkaan. Sikap kita akan menentukan benih mana yang tumbuh. Benih-benih keangkaramurkaan akan muncul ke permukaan, meliputi pikiran kita dan terejawantahkan dalam kata-kata dan tindakan saat kita tidak ada di dalam keheningan yang sepenuhnya. Jika seseorang membiarkan dirinya konsisten ada di dalam ketidakheningan, maka ia membuka portal kesadaran dengan benih-benih keangkaramurkaan tersebut. Tanpa keterhubungan sepenuhnya dengan Sang Roh Kudus sebagai sumber kasih murni, maka pasti ada celah yang terbuka sehingga watak angkara murka muncul ke permukaan dan menguasai diri kita.

Ketidakheningan juga termanifestasi dengan kebanyakan mikir: membiarkan pikiran melayang atau membiarkan pikiran sibuk dengan prasangkanya. Itu akan menjadi sebuah momentum yang menciptakan celah sehingga watak angkara murka muncul ke permukaan.

Saat kita punya luka batin yang tidak disembuhkan, maka akan memperkuat watak angkara murka tersebut. Segala luka batin yang tidak dituntaskan setuntas-tuntasnya, maka akan menjadi pemicu watak angkara membesar.

Ketika kita hidup dalam watak angkara murka dalam segala bentuknya, maka kita akan menorehkan jejak dosa. Jika angkara murka ada di pikiran kita, membuat pikiran menjadi destruktif, punya prasangka yang tidak realistis pada orang tertentu/banyak orang, maka kita akan menciptakan dosa. Jika watak angkara terejawantahkan dalam kata-kata, maka kata-kata kita menjadi destruktif. Hal ini akan membuat kita menanggung jejak dosa. Jika watak angkara terejawantahkan di dalam tindakan, maka destruksinya menjadi semakin nyata.

Pada akhirnya, jejak dosa akan berbuah, menarik segala peristiwa yang tidak selaras, sehingga muncul roda samsara. Pada titik inilah kita mengerti mengapa banyak orang yang susah keluar dari lingkaran penderitaan karena mereka tidak memutus akarnya. Mereka tidak konsisten dalam keheningan, maka mereka selalu menciptakan penyebab-penyebab penderitaan yang baru.

Saat kita tidak hening, kita membuka celah agar benih keangkaramurkaan naik ke ke permukaan. Hal itu saja membuat diri kita menderita karena kita dikuasai oleh angkara murka. Ketika angkara murka betul-betul terejawantahkan, kita akan menambah dosa. Dosa akan mempengaruhi medan energi. Saat medan energi tidak selaras, kita menarik peristiwa yang tidak selaras lagi. Inilah yang sering kita sebut sebagai musibah. Musibah akan menambah penderitaan. Bolak-balik Anda akan mengalami hal seperti itu sehingga Anda menjadi bingung sendiri.

Jalan spiritual dinyatakan sebagai sebuah cara untuk memutus roda samsara dengan cara keheningan.

Kalau kita bisa konsisten di dalam keheningan, terus merasakan setiap tarikan dan embusan napas, tidak membiarkan pikiran bergejolak liar, membuat diri ada dalam kondisi pikiran yang selalu terhubung dengan Diri Sejati, jiwa-pikiran-kesadaran ragawi tertuntun oleh Diri Sejati, maka kita akan menutup celah benih angkara untuk tumbuh. Jika benih angkara tidak tumbuh, maka yang tumbuh adalah benih keilahian. Pada titik itulah kita tidak lagi menciptakan sebab duka cita.

Secara umum, kebanyakan manusia menjalankan kebalikannya. Mereka membiarkan dirinya hidup dalam ketidakheningan yang konsisten sehingga analoginya semacam mengipas-ngipasi bara api di dalam diri sehingga menjadi nyala api. Bara api itu semacam benih angkara sehingga menciptakan penderitaan. Itu yang akan menciptakan penderitaan yang tiada berkesudahan.

Semuanya mendapatkan sebuah tuntunan. Tapi, tuntunan sifatnya bukan paksaan. Tuntunan membuat Anda mengerti mesti melakukan apa. Pada akhirnya, yang menentukan pilihan adalah Anda sendiri, bukan Yang Menuntun. Anda memilih konsisten hening atau tidak hening adalah diri Anda sendiri yang menentukan. Buahnya pun Anda sendiri yang merasakan. Silakan diresapi dan dihayati betul.

Sebetulnya yang dirindukan oleh jiwa itu apa? Apakah Anda betul-betul punya kehendak untuk menemukan kebahagiaan sejati dan keluar dari roda samsara? Jika jawabannya iya, maka harus diikuti dengan tekad yang kuat untuk konsisten di dalam keheningan.

Bagaimana cara hening dalam kehidupan keseharian?

Secara faktual, banyak orang yang belum bisa mempraktikkan keheningan dengan sungguh-sungguh. Jika hal ini tidak dibereskan, maka akan berimbas pada efek lainnya. Misalnya, efek kesambet. Kesambet juga ada kaitannya dengan faktor eksternal. Di kehidupan saat ini yang sedang kita jalani ini memiliki gangguan metafisika yang semakin luar biasa. Tetapi, yang menentukan diri sering kesambet adalah diri sendiri. Apakah kita betul-betul bisa hening atau belum?

Hukum alam tidak bisa dibohongi. Jika diri sering kesambet, maka itu pertanda bahwa keheningan kita belum sempurna. Jika keheningan kita belum sempurna, akui dulu bahwa diri kita belum ahli hening. Belajar untuk menjadi master keheningan yang sesungguhnya. Jangan malu untuk membuka diri dan mendapatkan masukan tentang cara kita berhening.

Wedaran oleh Setyo Hajar Dewantoro
Kajian Yogyakarta, 25 September 2021

Share:
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda