Pembelajaran spiritual yang kita lakukan ini seyogyanya membawa dampak yang nyata ke dalam kehidupan keseharian kita. Idealitasnya dengan pembelajaran spiritual, hidup kita di dalam keseharian itu menjadi semakin selaras. Selaras artinya memang betul betul memenuhi prinsip-prinsip Agung sebagaimana diatur oleh hukum Semesta. Orang yang betul-betul belajar spiritual, sewajarnya hidup di dalam kasih yang murni. Dengan kasih murni itu, dia senantiasa ada dalam sikap yang adil, tidak diombang-ambingkan oleh rasa tidak suka, kebencian, kemarahan. Orang yang belajar spiritual, sewajarnya betul-betul bisa konsisten ada di dalam kebahagiaan, ada di dalam kedamaian, tidak terjerat oleh segala macam bentuk akar duka cita, betul-betul bisa memulihkan diri dari segala amarah, dendam. Dan, pada saat yang sama, betul-betul bisa mengamputasi segala akar kejahatan.
Idealitas dari mereka yang belajar spiritualitas adalah bebas dari keserakahan, bebas dari kekejaman, bebas dari watak egoistik yang cenderung mementingkan diri sendiri, termasuk juga sewajarnya bebas dari watak kompetitif. Ketika kita punya kasih murni, semangat yang ada adalah semangat mengayomi semuanya, semangat kolaborasi, tidak ada setitik pun hasrat di dalam diri untuk mengalahkan orang lain dan sikap-sikap yang semacamnya.
Jika ada jarak antara realitas kita dengan idealitas tersebut, kita perlu mengevaluasi pembelajaran spiritual yang kita lakukan. Jika hidup kita belum betul-betul mencerminkan pola hidup surgawi berarti ada yang belum pas dari laku spiritual kita, yang harus kita mengerti akar masalahnya, kemudian kita perbaiki dengan sungguh-sungguh.
Seyogyanya memang ada perbedaan yang signifikan antara mereka yang rajin meditasi dengan yang tidak pernah/tidak rajin meditasi. Kalau Anda sama-sama sering galaunya, ngambeknya, kejamnya, manipulatifnya, berarti semua pembelajaran yang Anda lakukan itu jadi tidak ada gunanya. Makanya, kita harus mau jujur untuk mengevaluasi diri kita, untuk melihat apakah buah yang kita petik dalam kehidupan ini betul-betul selaras atau tidak sebagai bahan untuk memperbaiki laku/langkah kita. Kalau ada yang keliru, kita nggak usah menyangkal. Kita betul-betul perbaiki demi kesempurnaan dari jiwa kita sendiri.
Sebetulnya hukum Semesta itu sudah pasti. Ada akibat, ada sebab. Seandainya, realitasnya adalah hidup Anda belum surgawi, masih banyak menderitanya, masih banyak marah-marah nggak jelas, masih banyak galaunya, tidak ada bedanya dengan orang kebanyakan, maka ini pasti akarnya karena Anda belum betul-betul menjalankan keheningan. Jadi, kualitas keheningan sebetulnya selalu linear/berjarak searah dengan kualitas kehidupan. Kalau kualitas hening Anda bagus, maka hidup surgawi itu akan jadi nyata bagi Anda semua. Sebaliknya, kalau hidup belum surgawi, berarti kualitas heningnya belum benar.
Saya selalu bolak-balik mengingatkan Anda, merem (menutup mata) belum tentu hening. Karena, bisa jadi merem artinya Anda melamun tanpa ketahuan. Nah, atas dasar inilah saya selalu mengajak teman-teman semua memperbaiki cara hening masing-masing supaya kualitas heningnya betul-betul memenuhi standar yang membuat Anda punya keterhubungan dengan Diri Sejati/Sumber Kasih Murni secara memadahi. Dengan proses itulah, kehidupan Anda akan ditata dan diselaraskan.
Realitas hidup Anda itu dipengaruhi oleh medan energi yang melingkupi Anda, yang Anda bentuk sendiri. Ini tentang bagaimana kesinkronan antara realitas energi dan realitas materi. Nah, medan energi Anda ini dibentuk oleh kesadaran Anda sendiri. Kesadaran Anda ini mencerminkan bagaimana pola pikir, pola emosi Anda merepresentasikan juga bagaimana tingkat keterhubungan Anda dengan Diri Sejati. Ini tentang bagaimana Anda diliputi kasih murni atau tidak. Nah, kunci ini semua kembali ada pada kualitas keheningan.
Bolak-balik. Kalau Anda tidak konsisten mempertahankan kualitas keheningan Anda di tataran yang memadai, pasti hidup Anda tidak selaras. Cara pandang seperti ini bisa kita terapkan untuk membaca realitas yang lebih luas.
Kenapa peradaban ini kacau balau? Sederhana saja, karena secara umum medan energi yang dibentuk oleh kesadaran kolektif umat manusia juga tidak selaras. Kenapa terjadi? Karena banyak manusia tidak menjalankan keheningan.
Saya berulang kali menegaskan tentang bagaimana kita semua punya tanggung jawab untuk merealisasikan Bumi Surgawi. Prosesnya kita harus punya kontribusi yang jelas untuk meningkatkan kesadaran kolektif umat manusia. Dengan cara itu, energi yang meliputi bumi ini bisa ditata dan diselaraskan sehingga kehidupan/peradaban di Bumi ini berubah.
Kalau ternyata Anda yang sudah belajar spiritual masih memberi kontribusi energi yang tidak selaras ke medan energi semesta, misalnya Anda menyumbang kegalauan, kepedihan, kemeranaan hati, keputusasaan hati, lalu gunanya apa belajar spiritual?
Silakan jujur mengevaluasi diri sendiri.
Apa yang sudah Anda sumbangkan kepada medan energi yang meliputi Bumi? Sudahkah Anda menyumbangkan rasa bahagia Anda? Sudahkah Anda menyumbangkan rasa damai Anda, ketentraman Anda, kebijaksanaan Anda, kesabaran, ketulusan? Sudahkah Anda memberikan kasih murni Anda untuk kehidupan ini? Nah, kalau belum, ya diperbaiki segera.
Kita tidak bisa bicara yang muluk-muluk kalau hal mendasar tidak pernah kita tuntaskan. Kehidupan Surgawi, Bumi Surgawi ini visi yang Agung bagi kita pribadi, juga umat manusia secara keseluruhan secara idealitasnya. Nah, hal ini tidak akan bisa dicapai kalau hal yang paling mendasarnya belum dituntaskan. Apa hal yang paling mendasar? Ya, balik lagi, Anda sudah hening atau belum? Anda sudah betul-betul bisa mencapai keheningan yang sungguh-sungguh atau belum? Dan, ini sangat bergantung dari apakah Anda sudah mengerti cara hening yang tepat atau belum? Dan, apa yang sebetulnya ada di pikiran Anda sebagai tujuan personal Anda ketika belajar spiritual?.
Nah, saya banyak memperhatikan, mengevaluasi, bagaimana keadaan teman-teman. Dan, saya harus jujur mengatakan memang secara mayoritas dasarnya belum kuat. Banyak yang sudah bertahun-tahun belajar kepada saya, ternyata sebetulnya belum mengerti yang dimaksudkan keheningan itu apa.
Yang paling nyata, misalnya, hening dalam versi kita itu dengan teknik menyadari nafas. Secara faktual, ternyata banyak di antara teman-teman, Anda semua, memahami bahwa yang namanya menyadari nafas artinya mengatur nafas. Jadi, begitu mengingatkan menyadari nafas, pikiran mengambil-alih kendali terhadap nafas otomatis mikirin nafas, menganalisa nafas, nafas diatur-atur. Walhasil, sebetulnya itu bukan hening, bukan meditasi, dapatnya spaneng, buahnya kesambet. Sebetulnya saya agak takjub menghadapi fenomena seperti ini, tapi ini fakta.
Makanya, dikembalikan, monggo, silakan teman-teman mengevaluasi diri masing-masing. Kalau Anda masuk dalam program bimbingan, ada pamomongnya, silakan dikonsultasikan untuk betul-betul pastikan Anda tidak keliru dalam hal paling mendasar. Sebetulnya, heningnya itu hening beneran, bukan pura-pura atau terlihat hening. Betul-betul Anda hanya menyadari nafas yang berjalan natural.
Wedaran oleh Setyo Hajar Dewantoro
Kajian Jakarta, 17 Oktober 2021
Reaksi Anda: