Sebagai orang-orang yang menekuni laku spiritualitas, kalau bicara tentang bagaimana menjalankan kehidupan, menciptakan kehidupan surgawi saat ini dan di sini, yang harus dimengerti adalah bagaimana matematika Semesta ini bekerja. Kita harus mengetahui rumus kehidupan ini seperti apa.
Satu hal yang pasti, hidup Anda adalah medan energi yang Anda ciptakan sendiri. Mereka yang menekuni spiritualitas berbeda dengan kaum atheis yang hanya mengandalkan egonya karena menolak keberadaan Tuhan. Dia hanya mengandalkan pikirannya hanya karena tidak percaya kepada tuntunan Tuhan. Kita menyadari betul bahwa selalu ada tuntunan Tuhan yang nyata yang muncul dari relung hati. Dan, kalau kita ikuti pasti membawa kepada keselamatan. Tetapi, pada saat yang sama kita juga mengerti bahwa kita sebagai manusia itu punya opsi untuk ndableg (nakal) atau ngeyel (menyangkal).
Kenapa kita celaka?
Kita celaka karena kita ndableg, ngeyel. Dan, yang lebih parah dari itu adalah budeg (tidak bisa mendengar tuntunan). Dalam pikirannya tahu dan percaya bahwa di pusat hati ada Hingsun/Diri Sejati. Ada di level percaya bahwa ada tuntunan Agung. Tapi secara faktual budeg, tidak bisa menangkap tuntunan dari Hingsun. Ada yang sudah bisa menangkap tuntunan Agung, tapi ndableg (nakal).
Tapi, ada yang lebih parah lagi dari budeg dan ndableg, yakni ternyata yang jadi penuntun agungnya itu demit (merasa mendapat tuntunan dari relung hati, padahal palsu). Kasus ini yang sekarang banyak terjadi di komunitas kita. Sedikit-sedikit berkata, “Saya mendapat tuntunan untuk pergi ke sana, saya mendapat titah dari Gusti untuk melakukan ini.”
Ketika kita membaca dengan cermat bagaimana realitasnya, dia sangat tidak murni. Ternyata ada yang menyusup di dalam sanubarinya. Kita menyebutnya sebagai dark force (kuasa kegelapan) atau makhluk-makhluk alam bawah dan segala bentuknya. Kasus ini sedang ada dalam masa penelitian, sebetulnya apa yang membuat mereka sangat mudah masuk ke para pembelajar keheningan. Yang pasti, ini sangat merepotkan karena membuat orang sering nyasar tidak jelas, nyasar karena merasa tertuntun atau tercerahkan.
Makna persaudaraan ini harus betul-betul kita aktualisasikan. Dalam persaudaraan ini, kita saling mengingatkan, mendukung, membantu, tidak membiarkan ketika orang lain kesasar atau terjatuh. Sekali pun pada satu titik nanti, kita juga akan betul-betul menghormati pilihan bebas. Kalau kita sudah melakukan tugas kita: mengingatkan, membantu, tapi yang dibantu dan diingatkan tidak mau, ya, dibiarkan sampai puas. Begitu aturan main Semestanya. Kita tidak boleh memaksakan kebenaran kepada siapa pun.
Kalau orang-orang religius hidup berdasarkan dogma, nyasar itu hal lumrah karena yang dijadikan pijakan adalah ilusi. Yakni, suatu yang sebetulnya tidak nyata tapi dianggap nyata. Sesuatu yang hanya prasangka, tapi dianggap kebenaran. Kalau Atheis, nyasar itu juga hal lumrah karena yang menjadi pijakannya adalah apa pun yang semata-mata dipikirkan oleh dirinya yang itu pasti ada keterbatasan. Karena secanggih-canggihnya otak ini bekerja, semua bergantung pada inputnya atau masukan data yang sangat terbatas yang mengacu pada sesuatu yang bisa di-input lewat panca inderanya.
Kalau kita menekuni spiritualitas masih nyasar juga, itu terlalu sebetulnya karena implikasi proses dari belajar spiritual adalah teraktivasinya kompas di dalam diri. Anda yang sedang belajar spiritual sebetulnya sedang menginstal kompas/GPS di dalam diri. Kalau kemudian masih sradak-sruduk berarti ada yang keliru di dalam pembelajaran spiritualnya. Maka, evaluasi yang menyeluruh itu harus dilakukan.
Satu hal yang betul-betul mendesak kita tuntaskan adalah memastikan semua pejalan spiritual yang ada di dalam naungan Persaudaraan Matahari agar mengerti betul bahwa lewat laku ini sewajarnya setiap orang ada dalam ketertuntunan yang sejati oleh Gusti di dalam diri. Yang belum tertuntun, masih selalu hidup dengan egonya, ya, berupaya terus. Yang mesin GPS-nya rusak, harap segera di-service. Yang GPS-nya palsu (tersusupi demit), ya, jangan dipakai. Agar hal ini tidak berkepanjangan, maka semuanya harus kembali kepada keheningan yang sesungguhnya.
Wedaran oleh Setyo Hajar Dewantoro
Kajian Tangerang, 3 Oktober 2021
Reaksi Anda: