Setelah Anda memastikan tujuan/intensi/niat dalam belajar spiritual ini benar. Selanjutnya, untuk sukses Anda butuh ketekunan yang berpadu dengan ketepatan metode. Kalau metodenya tidak tepat, mau puluhan tahun belajar spiritual juga tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali merasa bijaksana. Anda hanya akan betul-betul sampai kepada tujuan dari apa yang merupakan esensi pembelajaran spiritual hanya jika Anda tahu cara yang tepat, kemudian cara yang tepat itu Anda praktikkan secara konsisten. Anda mengerti cara hening yang benar, lalu Anda tekun menjalankan keheningan itu.
Pada titik ini, saya sebagai pembimbing Anda memang harus memberikan umpan balik yang apa adanya. Ternyata, memang banyak teman-teman yang sudah belajar spiritual bersama saya cukup lama, apalagi yang baru, itu belum sepenuhnya mengerti maksud saya tentang keheningan yang benar itu seperti apa. Terlalu cepat mengambil kesimpulan, kemudian masih merujuk kepada pengetahuan-pengetahuan lama. Akhirnya, malah berbeda dengan apa yang saya maksudkan.
Kalau Anda salah langkah, Anda keliru dalam metode, maka Anda serajin apa pun tetap tidak akan ketemu dengan kebenaran atau pencapaian tujuan sesungguhnya dari belajar spiritual. Inilah alasan mengapa banyak orang yang seperti meditasi sungguhan (duduk merem), tapi kesambet melulu. Persoalannya, karena metode yang Anda praktikkan belum benar. Maka, sekarang semuanya harus rendah hati untuk mengevaluasi kembali. Tidak ada ruginya ketika kita tahu bahwa kita keliru, daripada kita keliru nggak beres-beres. Keliru, ya diperbaiki. Itulah namanya watak ksatria yang akan menyelamatkan hidup Anda sendiri.
Sebetulnya, hening ini sederhana kalau dibicarakan. Tapi, ternyata hal sederhana ini tidak gampang dimengerti oleh banyak orang. Kalau banyak yang mengerti dan banyak yang praktik dengan benar melalui pengertian itu, tentu banyak orang yang tercerahkan. Faktanya ‘kan tidak. Nah, saya juga harus mawas diri, harus lebih dalam lagi menyelami, bagaimana cara mengungkapkan kebenaran yang lebih mudah dipahami oleh Anda. Jadi, saya juga ada kontemplasi, evaluasi, dan perbaikan. Nah, pada diri Anda juga sama.
Kalau Anda memperbaiki diri, termasuk yang paling fundamental adalah memperbaiki teknik keheningan, itu adalah hal yang sewajarnya, justru itulah hal yang harus dilakukan. Nggak usah gengsi, ‘kan ada orang yang kadung mempraktikannya lama jadi gengsi untuk memperbaiki. Kadang-kadang, kalau sadar dirinya salah malah susah untuk menerima itu, terlalu pedih untuk menerima kenyataan bahwa ternyata dirinya tidak pintar. Nah, padahal mengakui kesalahan adalah orang yang pintar beneran. Kalau yang takut menghadapi kenyataan dirinya salah berarti pura-pura pintar.
Jadi, santai saja. Kalau kita kemudian mendapat umpan balik, ternyata teknik hening belum benar, ya diterima, tinggal benarkan, apa susahnya? Nggak usah ngotot gitu loh, “Saya ‘kan sudah mengerti!” Nggak usah gitu, santai saja.
Bagaimana teknik keheningan yang benar itu?
Saya mengungkapkan rumusan yang betul-betul sangat sederhana. Pintu gerbang keheningan itu apa yang kita sebut sebagai rileks/santai/slow, tetapi itu baru setengah jalan. Yang berikutnya, rileks ini mesti digenapi dengan terhubung. Yang dimaksud rileks/santai/slow adalah bagaimana kita betul-betul menikmati momen saat ini di sini, menikmati apa pun yang kita kerjakan.
Ada satu hal yang, tidak pernah-tidak, kita kerjakan saat kita masih hidup. Apa itu? Bernapas.
Bernapas adalah proses kehidupan kita, tempat di mana kita menemukan ada aliran energi kehidupan, apa pun pekerjaan kita, itu pasti kita lakukan sembari bernapas. Maka, hening yang paling sederhana adalah sadari betul napas Anda.
Dan, hal ini ternyata banyak orang yang tidak mengerti tentang bagaimana sadar napas itu. Ada yang sadari napas itu, akhirnya ditafsirkan sebagai upaya untuk mengatur-atur napas sendiri karena kalau dengan mengatur dia jadi sadar. Baginya, kalau tidak diatur, dia tidak mengerti kalau dia bernapas. Saya kadang-kadang bingung, “Kenapa masalah sederhana kok jadi sulit banget?” Jadi, kita kembalikan kepada yang sederhana.
Menyadari napas adalah Anda nggak usah ngapa-ngapain ‘kan sudah bernapas sendiri. Tanpa Anda atur, ‘kan? Itu bagian dari refleks kita. Napas yang berjalan otomatis di badan Anda ini disadari. Disadari itu artinya apa? Dirasakan bahwa napas itu ada, rasakan napas yang alami itu. Berikan perhatian penuh ke sana, tapi bukan dipikir, bukan dianalisa, bukan dicari-cari napasnya, cukup dirasakan. Nah, kalau sudah dirasakan, dinikmati, nikmati betul setiap tarikan dan embusan napas, sampai Anda juga menikmati segala momen, segala pekerjaan yang Anda lakukan.
Saat semakin dalam Anda memperhatikan napas, napas Anda ada yang menghirup dan ada yang menghembuskan. Ketika kita menghirup napas secara natural itu pasti ada ujung tarikan napas. Nah, ujung itu ada di sini (pusat dada), kalau Anda napasnya normal.
Saat Anda menarik napas, sebetulnya Anda terhubung dengan sumber kasih murni di sini (di ujung tarikan napas). Yang Anda lakukan cuma menyadari itu, nggak usah nyari-nyari sumber kasih murninya di mana, di lihat dadanya. Bukan begitu. Ini hal yang sederhana. Anda, sadar-nggak sadar, itu sudah terjadi, sadar-nggak sadar, itu Anda sudah terhubung dengan Tuhan di setiap Anda bernapas. Kalau Anda nggak terhubung, Anda pasti mati. Wong itu generatornya di napas Anda.
Kadang-kadang saya juga bingung mesti ngomong apa lagi, lah wong sudah jelas, ngasih tahu, rasakan keterhubungan dengan sumber kasih murni di dada. Nggak usah dibingung-bingungin, Anda malah jadi spaneng sendiri, “Mana ini?” Nyari, “Apa sih tandanya terhubung, nyari susah banget.”
Slow, pokoknya rasakan napas, rasakan saat kita menarik napas sampai ke dada. Apa pun yang kemudian muncul di dada, ya, dirasakan saja, yang nggak muncul, jangan dicari. Misalnya, Anda ketemu rasa damai, getaran, oke. Apa pun yang Anda temukan, sudahlah diterima, yang nggak ada, jangan dicari-cari.
Wedaran oleh Setyo Hajar Dewantoro
Kajian Jakarta, 2 Oktober 2021
Reaksi Anda: