Talkshow Launching Buku Setyo Hajar Dewantoro yang berjudul “Tantra Yoga: Pengetahuan Suci tentang Diri, Tuhan, dan Jagat Raya” berhasil dilaksanakan di Joglo Jamal 17 Yogyakarta kemarin (14/2). Acara yang dimoderatori oleh Wibie Maharddhika ini membantu para pembaca setia buku Guru Setyo Hajar Dewantoro (SHD) untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang mewakili rasa ingin tahu tentang buku terbaru Guru SHD.
Berikut adalah rangkuman dari Talkshow Launching Buku Tantra Yoga: Pengetahuan Suci tentang Diri, Tuhan, dan Jagat Raya.
Apa perbedaan buku Tantra yang diterbitkan ini dengan buku-buku Guru Setyo Hajar Dewantoro sebelumnya?
Salah satu yang bisa diungkapkan secara sederhana adalah salah satu panggilan hidup saya adalah untuk mengungkapkan kembali dengan bahasa kekinian berbagai tradisi spiritual kuna. Pada buku Madseba, intisarinya mengungkapkan sesuatu yang pernah saya cicipi dari ajaran seorang Eyang. Setelah itu saya digerakkan Semesta untuk menulis buku Suwung. Buku Suwung mengungkapkan tentang spiritual science yang ada di tanah Nusantara lalu. Ajaran Nusantara bukanlah sesuatu yang sifatnya kepercayaan, tapi dibangun atas dasar penelitian dan penghayatan terhadap realitas yang seutuhnya. Dalam buku Suwung diungkapkan segala sesuatunya secara gamblang. Setelah itu, saya digerakkan kembali untuk membahas suatu ilmu yang banyak disalahpahami, yaitu ilmu Sastrajendra Hayuningrat. Tantra memiliki nasib yang sama dengan Sastrajendra Hayuningrat, yakni banyak disalahpahami. Banyak praktisi tantra yang mengungkapkan dengan bahasa peyoratif atau destruktif. Seperti halnya Sastrajendra yang dikaitkan dengan keberadaan Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi yang ditafsirkan secara peyoratif.
Saya menuliskan buku Tantra, sebenarnya punya banyak makna. Saya mempunyai peluang agar kita tidak lagi terjebak alur atau narasi yang mendiskreditkan para leluhur Nusantara. Banyak narasi yang disebutkan bahwa para leluhur adalah praktisi Tantra, namun bumbu-bumbu narasinya tidak menyamankan. Misalnya, Sri Kertanegara, Raja Singosari, diceritakan sebagai praktisi Bhaerawi Tantra tetapi cerita kematiannya tragis. Diceritakan bahwa ia mati diserang pasyka Jayakatwang dalam kondisi sedang mempraktikkan ritual mabuk-mabukan. Selain itu, ada tokoh Calon Arang. Narasinya sangat peyoratif. Dia dianggap sebagai praktisi Bhaerawi Tantra dengan ritual-ritual yang menyeramkan. Yakni, mengikuti sakit hatinya sehingga menyebarkan wabah di Kahuripan dengan meminta bantuan dari Dewi Durga yang dipujanya. Buku ini menjadi narasi yang meng-counter itu semua. Kita terlalu banyak dijejali oleh cerita hoax menurut kita sendiri.
Sebenarnya dalam kurun waktu yang panjang, ajaran spiritual yang dihayati oleh para leluhur kita adalah Tantra. Seperti, Ken Arok, Prabu Airlangga, Tribuana Tunggadewi, semuanya belajar tentang Tantra. Tetapi, kita sekarang memandang Tantra dengan cara yang tidak tepat. Saat kita berbicara tentang kebangkitan Nusantara justru basisnya ada pada penghayatan ajaran spiritual sejati yang dihayati oleh para leluhur kita.
Apakah hanya dengan membaca dan mempelajari buku ini, seseorang mengalami akselerasi pertumbuhan jiwa? Atau ada syarat-syarat lain untuk mengalami akselerasi pertumbuhan jiwa tersebut?
Yang namanya buku, sebagus apa pun dituliskannya, buku hanyalah sebuah perangkat untuk memberikan pemahaman kognitif. Selama seseorang membaca dengan kesungguhan, dia akan dibawa untuk memahami Tantra secara utuh dan akan terhindar dari segala bias. Pengetahuan kognitif tidak berguna jika tidak ditindaklanjuti dengan laku. Hanya laku yang dijalankan secara konsisten yang akan membuat transformasi.
Untuk menjadi Tantrik sejati, seseorang tidak hanya cukup dengan mengetahui konsep Tantra. Tetapi, ia harus benar-benar masuk di dalam keheningan, yakni laku Dhyana, Samadhi, sampai pada pembebasan diri dari segala ketidakselarasan. Tentu saja ini mempersyaratkan tentang laku. Buku ini mengungkapkan tentang laku-laku Tantra. Secara sederhana saat diaplikasikan dalam kehidupan kita dijelaskan tentang laku-lakunya sekaligus indikasi-indikasi kemajuan dalam diri. Asal Anda mau membacanya secara utuh dan mau mempraktikkannya, sebenarnya Anda sudah lebih dari memaknai transformasi jiwa.
Apakah Guru Setyo Hajar Dewantoro sudah menjalankan semua laku yang dituliskannya?
Bagian ketiga dari buku ini mengulas tentang laku Tantra. Diuraikan secara mendetail tentang Pranayama, Dhyana, Yantra, Mantra, sampai pada buah lakunya, termasuk Siddhi. Tentu saja dalam posisi saya sekarang, saya menuliskan apa yang saya jalankan secara penuh. Saya bukan menuliskan Tantra dari buku lain. Karena saya menghayati dan mempraktikkannya, saya mengetahui buahnya. Bahkan, saya bisa mengetahui laku orang lain sejauh mana ia mencapai buahnya. Maka, saya berani menuliskan semuanya di dalam buku ini.
Jika kita mau menjadi pejalan spiritual, jangan terjebak pada fanatisme label. Kita harus menghayati ajaran pada tataran esensial. Jika kita sudah menemukannya, pada titik itulah kita harus membuktikan buah dari ajaran tersebut ada dalam diri kita dan keseharian kita. Inti dari semua ajaran itu membuat jiwa menjadi murni dalam keterhubungan dengan Diri Sejati sehingga membuat orang bertemu kebahagiaan. Terserah Anda mau memakai label apa atau teknik yang mana. Yang penting Anda merasakan betul kebahagiaan dalam keseharian. Jujur, saya sudah menemukan surga yang nyata. Sebab itu, saya membagikan semuanya di dalam buku ini. Saya tidak mengajak Anda untuk bercita-cita menemukan kebahagiaan. Karena saya sudah bertemu tentang apa yang dicari oleh banyak orang, saya bisa mengungkapkan semuanya dengan cara yang bersahaja dan sederhana, tanpa ada kerumitan.
Banyak orang berasumsi, orang tercerahkan tidak akan mengatakan dirinya tercerahkan. Apakah yang berasumsi begitu, dirinya sudah tercerahkan? Sri Krishna, Yeshua Ha Mashiah mengatakan bahwa dirinya tercerahkan. Apa salahnya jika saya berkata saya tercerahkan. Selama saya bohong, boleh diprotes. Namun, selama saya mengungkapkan apa adanya. Jika ada guru spiritual tidak berani mengatakan bahwa dirinya tercerahkan, itu artinya ada dua kemungkinan. Yakni, dia memang belum tercerahkan dan lainnya saya belum menemukannya. Karena orang tercerahkan memang penuh kepercayadirian mengungkapkan segala sesuatunya. Misalnya, Sadhguru atau Osho, mereka tidak pernah menggunakan gaya bahasa yang sok rendah hati. Mereka tampil apa adanya.
Guru banyak menjelaskan pengetahuan tentang jiwa. Lalu, bagaimana pengetahuan tentang ruh?
Seringkali kita meminjam bahasa tertentu untuk menjelaskan suatu realitas dan mencoba mencari padanan dari bahasa yang berbeda. Agar tidak bingung, kita melihat berdasarkan realitasnya, tidak mengacu pada konsepnya. Mari kita membaca diri kita. Jika kita melihat diri dari luar, yang pertama ditemukan dari diri kita adalah tubuh fisik atau atomic body yang tersusun atas 37,2 triliun sel. Dalam bahasa lain disebut sebagai raga/jasad/body. Apakah manusia hanya sebatas itu? Di sini ada banyak dialektika, pendapat, dan pandangan. Mereka yang terjebak dalam pandangan rasionalis empirik cenderung menyangkal adanya jiwa. Jiwa bagi sebagian orang tidak bisa dijangkau dan disentuh. Tidak ada ajaran spiritual yang memiliki kegunaan, jika tidak membahas tentang jiwa. Ajaran Spiritual itu ajaran tentang jiwa. Yakni, bagaimana jiwa bisa mengalami proses penyempurnaan, dimurnikan dan seterusnya.
Mengapa tidak membahas ruh? Yang berinkarnasi atau berreinkarnasi itu buakn ruh, melainkan jiwa. Yang akan mengalami ngunduh woh ing pakarti itu bukan ruh, tetapi jiwa. Jiwa dalam bahasa Arab sepadan dengan kata nafs. Sebab itu ada istilah nafsu mutmainnah artinya diri atau jiwa yang damai yang menemukan ketenangan karena dia sudah mengalami proses tazkiyatun nafs. Ruh memiliki dua pengertian, yakni nyawa dan esensi. Ruh sebagai nyawa berarti ketika tubuh sudah ditinggalkan oleh jiwanya, maka semua selesai, tidak ada yang namanya nyawa. Sementara ruh sebagai esensi adalah Tuhan. Tuhan tidak pernah mendapat pertanggungjawaban. Maksudnya, yang bisa merasakan suka-duka itu kita sebagai Sang Jiwa. Di dalam jiwa ada esensi atau keilahian yang namanya Ruh Sejati atau Diri Sejati, yang tidak pernah berpisah dengan jiwa. Karena yang mengalami suka-duka itu jiwa, maka jiwa yang dibahas.
Nafsu yang pernah saya pelajari itu ada tujuh tingkatan, seperti nafsu amaroh, lauwamah, mulhimah, mutmainnah, rodhiyah, mardhiyyah, dan kamilah. Dan, Guru membahasakannya dengan tingkatan dimensi. Bagaimana penjelasannya?
Ada bagian dari buku ini yang diulas relatif mendetail tentang dimensi-dimensi di jagat raya. Untuk memahami ini, jagat raya bukanlah sesuatu yang riil. Jagad raya bukan hanya sekadar sesuatu yang bisa dijangkau oleh panca indera kita. Secara sederhana, ada tingkatan-tingkatan realitas. Sebelum menjadi materiil seperti ini, ada realitas kekosongan absolut yang menjadi sumber dari segala yang ada. Dari kekosongan absolut muncullah energi. Energi pun berlapis-lapis, mulai dari yang paling murni hingga akhirnya memejal. Di antara materi dan energi ada lapisan cahaya, yang ada hanyalah poton atau partikel-partikel cahaya. Ketika saya menggambarkan realitas itu matriks realitas atau kasunyatan di jagat raya. Masing-masing mewakili frekuesi yang berbeda dari tiap realitas. Mulai dari kekosongan absolut hingga yang sangat materiil. Apakah ini bisa dibuktikan? Tentu saja sulit dijangkau oleh panca indera sebagaimana realitas jiwa. Tetapi, saat kita menggunakan perangkat Rasa Sejati, kita akan mengetahui bahwa keberadaan dimensi-dimensi ini nyata.
Contohnya, saya meyebutkan realitas dimensi 4, sedangkan dimensi materiil kita sekarang adalah dimensi 5. Menggunakan perangkat Rasa Sejati, pada dimensi 4 kita akan tahu bahwa jiwa yang terlepas dari tubuhnya itu menderita. Ini terjadi pada korban pembunuhan yang meninggal dengan penuh rasa amarah dan kekesalan. Ini juga terjadi pada mereka yang meninggal dengan menyimpan rasa kecewa dan benci. Mereka akan menderita karena Sang Jiwa merekam segala bentuk emosi semasa ia hidup.
Namun, ada juga yang berada di dimensi yang lebih rendah. Yakni, ketika seseorang selama hidupnya, baik sadar maupun tidak sadar, membuat kolaborasi atau jeratan kuasa kegelapan, seperti iblis dan lainnya. Jika sampai akhir hidupnya tidak berubah, maka ia akan tenggelam dalam dimensi tersebut. Jika tanpa menggunakan Rasa Sejati, ia tidak akan mengerti realitas kebenarannya. Jiwa-jiwa yang sudah mengenal kesejatian itu bisa membantu mereka yang terjerat di dimensi-dimensi yang rendah.
Setiap orang dengan segala tindakannya akan membuahkan hasil yang nyata. Setiap orang dengan freewill-nya dibarengi dengan hukum konsekuensi atau sebab-akibat yang pasti. Saa berterima kasih kepada Mas Fajar Prihattanto yang sudah membantu melukiskan gambaran di berbagai dimensi. Jika orang terjerat di dimensi satu, jiwa tidak menemukan kebahagiaannya. Tuhan Maha Pengasih sudah memberikan segala hal untuk keselamatan kita. Tetapi, jika petunjuk dan anugerahnya tidak dipakai, bagaimana cara bisa selamat. Ini bukan soal Tuhan Maha Pengasih, ini soal hukum Semesta itu sendiri.
Pada dimensi 4 digambarkan dengan jiwa yang sudah tidak memiliki badan, namun kebingungan. Di dimensi 6 gambarannya cukup bagus. Dapat menemukan keindahan dan kedamaian. Di dimensi yang lebih tinggi, dalam bahasa manusiawi, inilah yang disebut sebagai surga yang nyata. Jika kita mengamati bagaimana perjalanan jiwa, jiwa hanya memilih mau masuk di dimensi yang mana.
Jika disangka, saat jiwa terlepas dari tubuhnya, jiwa kembali kepada Tuhan. Tidak ada sebenarnya, itu bohong. Tuhan ada di mana? Kita dan Tuhan tidak pernah berpisah. Yang ada, kita bersama Tuhan akan ada di dimensi yang sesuai dengan tingkat kesadaran kita. Tetapi, Tuhan tidak pernah menderita sebagaimana kita. Saat ada di dimensi 1, Tuhan ada di sana, tapi tidak perna menderita. Sama dengan kehidupan di bumi, saat Anda punya banyak utang lalu dikejar debt collector. Tuhan bersama Anda, namun tidak mederita.
Jangan ada ilusi, begitu mati semua urusan selesai. Mati itu soal perpindahan perjalanan dimensi, ke mana perjalanan itu bergantung tingkat kesadaran. Belajar Tantra itu adalah cara untuk memastikan kita berada di dalam jiwa yang murni dan terbebaskan sehingga secara teknisnya kita ada di dimensi yang tinggi.
Talkshow Launching Buku Tantra Yoga ini tentu saja dibarengi dengan meditasi bersama dan pemotongan tumpeng. Pemotongan tumpeng dilakukan oleh penulis buku. Dan, diberikan kepada ayahnya, bapak Heru.
Video lengkap rangkuman bisa ditonton di IGTV @mahadayainstitute.
Reaksi Anda: