Kata “suwung” berasal dari bahasa Jawa. Biasanya, dalam keseharian, suwung berarti kosong -lowong dalam hal kegiatan. Jadi kalau dibilang “sesuk aku suwung” artinya besok sedang lowong, tidak ada kegiatan.
Kata “suwung” bermakna lebih dalam untuk beberapa orang. Bagi para Sufi, suwung adalah pencapaian spiritual tertinggi, kosong tapi tidak hampa. Tentang bagaimana rasanya kosong tapi tidak hampa tersebut, sepertinya akan sulit, atau bahkan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Suwung harus dialami sendiri, dan bukannya diceritakan.
Mengenai keadaan ini, seorang ilmuwan pernah meneliti, sehingga “suwung” bisa sedikit dijelaskan secara ilmiah. Hanya sedikit, mengingat sebuah keadaan itu bersifat subyektif. “Peak Experience”, begitu sebut Maslow dalam usahanya menjabarkan suwung. Yaitu sebuah pengalaman spiritual di mana seseorang secara mental merasa keluar dari dirinya sendiri (*dikutip dari tulisan ibu Ninik Setiyowati, S.Psi M.Psi). Deskripsi itu bahkan semakin menegaskan bahwa suwung adalah pengalaman yang sangat personal.
Haruskah, suwung?
Sebagai pencapaian tertinggi, suwung tentunya adalah tahap akhir dari perjalanan spiritual. Dengannya, manusia akan mengenal Sang Maha sesuai prasangkanya, akan tinggi kesadarannya, sehingga setiap pikir, ucap dan laku akan selaras dengan kehendakNya.
Demikian luhur kesadarannya, sehingga setiap apa yang terjadi kepadanya dapat disikapi secara bijak dan waspada. Tidak ada yang bisa mengganggunya, Sang Maha selalu bersamanya. Sadar, bahwa ia hanyalah alatNya menebar cinta di bumi.
Indah, ya? Mau belajar suwung, ngga? Yuuk!
Minggu, 23 Desember, 2018 – 9 pagi sampai 5 sore – Kembar Baru Selatan, Buah Batu, Bandung – Rp. 500.000 untuk umum dan Rp. 300.000 untuk anggota Mahadaya Suwung dan Sastra Jendra, juga untuk early birds (sampai akhir bulan ini)
Hanya untuk 25 peserta, ditunggu yaa.. Rahayu ????????
Reaksi Anda:
