Anda yang cukup serius mempelajari apa yang saya wedarkan dan meniti jalan yang saya tentukan, pasti sudah mulai mengerti apa itu keselamatan sejati dan mulai juga mencicipi kehidupan surgawi. Selama Anda tak amnesia, tentu Anda tak akan mau meninggalkan jalan ini; sudah jelas manfaatnya nyata, tak ada iming-iming yang hanya omong kosong.
Tetapi, Anda tak akan melampaui stagnasi alias tetap kuntet secara spiritual jika Anda punya kemelekatan terhadap berbagai hal yang membuat hidup Anda nyaman, berbagai hal yang Anda anggap penting, yang Anda punya sebelum meniti jalan spiritual murni sebagaimana yang saya ajarkan. Bisakah Anda tetap berada di zona nyaman tapi terselamatkan jiwanya? Jika itu mungkin, itu bisa jadi pilihan. Tapi jelas itu hal yang mustahil – atau hil yang mustahal: tak mungkin terjadi.
Kemelekatan dalam bentuk keengganan melepas apa yang sebenarnya harus pergi, atau keengganan untuk berpindah ke situasi baru – jelas merupakan bagian dari SISI GELAP dan akan memghambat pertumbuhan spiritual. Mempelajari kehidupan dan perjalanan saya hingga titik saat ini, jelas bahwa kemajuan saya diperoleh karena sikap zero attachment: saya siap melepas apa yang harus lepas dan menyambut segala situasi baru dengan kepasrahan total.
Saya berkata dalam hening, “Gusti, saya setia hanya padaMu, bersiap dengan segala KetetapanMu, menerima apa pun yang harus terjadi. Saya sadar prioritas utama adalah keselamatan jiwa dan kebahagiaan sejati: saya siap menebusnya dengan apa pun termasuk nyawa saya.”
Pada kenyataannya, ini semua soal mentalitas, soal sikap tidak takut kehilangan apa pun yang memang sudah jatahnya hilang. Toh tanpa belajar spiritual pun pasti dialami momen penyetimbangan, hidup pasti direset, saat karma buruk kita sudah matang.
Justru belajar spiritual menggembleng kita jadi kesatria yang mau bertanggung jawab atas apa yang selama ini menjadi pilihan dalam hidup. Kenyataannya, kemelekatan ini berawal dari pikiran yang penuh asumsi keliru, ada mental blocking. Semua rasa takut kehilangan muncul dari asumsi: kalau pindah rumah aku pasti menderita; kalau tak lagi bekerja seperti di posisi sekarang hidupku akan hancur; kalau tak lagi hidup bersama si dia aku akan sangat menderita. Faktanya, dengan belajar spiritual, sebenarnya yang ditakutkan belum tentu terjadi; jikapun terjadi, situasinya tak mesti seburuk yang kita bayangkan.
Sikap yang tepat saat belajar spiritual adalah BERSIAP MENERIMA APA PUN YANG SELARAS DENGAN KEADILAN TUHAN, BERSIAP JUGA MENERIMA PROSES MENUJU PENCAPAIAN RANCANGAN AGUNG. Kita berani berkata: TERJADILAH SESUAI KEHENDAKMU, bukan sesuai mau egoku.
Belajar spiritual yang benar memang mengakselerasi momen penyeimbangan dan penyelarasan; kita memang bisa kehilangan beberapa hal, tapi semua tergantung rajutan karma kita. Pada ujungnya, saat kita konsisten melakukan yang terbaik dan membentuk rajutan karma terbaik, maka kita juga pasti dapatkan kehidupan surgawi yang selaras dengan Kasih dan Keadilan Tuhan. Selalu saya katakan, kita ini berspiritual agar bahagia, berdaya, penuh karya, dan berkelimpahan – pada muaranya yang kita tuju adalah kehidupan yang utuh, penuh, dan harmoni secara immaterial maupun material. Saya tak mengajak Anda pada corak hidup yang anti duniawi, yang destruktif, dan membawa penderitaan.
Jadi, Anda mau bertahan di zona nyaman, atau memilih bertumbuh jadi versi terbaik diri dengan tebusan apa pun?
Setyo Hajar Dewantoro
3 Juli 2024
Reaksi Anda: