Diri Sejati yang sering saya bahas dalam banyak tulisan dan ceramah saya, merujuk kepada keberadaan Sang Penuntun Agung dan Sumber Kasih Murni di dalam diri yang bertahta di relung hati, dan sepadan dengan kata Hingsun, Guru Sejati, Sukma Sayekti, Dewa Ruci, Sang Hyang Atman, Roh Kudus atau The Holy Spirit. Jadi ini bicara tentang satu eksistensi atau keberadaan, tapi bersifat non empirik/non material – ini yang membuatNya tak bisa disaksikan oleh banyak orang, dan sebagian yang tak bisa menyaksikannya lalu menghakimi secara gegabah bahwa Diri Sejati itu sebenarnya tak ada. Dalam bahasa lain, Diri Sejati juga dinyatakan sebagai Tuhan yang mempribadi di dalam diri, yang menjadi esensi setiap diri.
Tentu saja, untuk mengerti mengapa ada orang termasuk saya yang menyatakan bahwa Diri Sejati itu beneran ada, bahwa Diri Sejati adalah keberadaan yang nyata, perlu dimengerti epistemologi yang melandasinya. Tidak akan pernah tepat jika membahas sebuah isu dengan epistemologi yang tak sama. Tidaklah tepat membahas perkara metafisik dengan pendekatan rasional empirik yang mengandalkan panca indera sementata jelas panca indra tak bisa menjangkaunya.
Saya mengenal istilah Diri Sejati dalam berbagai variannya sejak membaca buku-buku mistisisme dengam cukup serius di sekitar 2003/2004. Tapi saya punya pengalaman otentik tentang Diri Sejati; saya mencicipi perjumpaan denganNya pada 2014 saat saya hening dan menemukan momentum menyelami realitas diri. Saya ingat, dalam hening kala itu, saya relaks, saya meresapi aliran nafas, saya merasakan damai yang dalam, merasakan ada di dalam naungan energi kasih, lalu muaranya menyaksikan hologram seperti diri saya tapi dalam versi yang sangat indah dan gemilang. Jika saya ukur kualitas hening saya saat itu dengan parameter yang sekarang berlaku di Persaudaraan Matahari, muncul angka 10%. Saya relax mendalam mulai tenggelam di alfa state of mind. Apa yang saya alami kemudian saya mengerti, merupakan wujud nyata dari pengalaman mistik yang dituangkan di dalam Serat Dewa Ruci saat Bima berjumpa dengan Dewa Rucinya.
Satu hal saya perlu katakan dengan tegas, perjumpaan dengan Dewa Ruci di dalam diri pada 2014 dan pengalaman menyaksikan realitas suwung di 2015, tak serta menjadikan saya tercerahkan. Butuh proses panjang bertahun-tahun yang dilandasi keberanian mengambil pilihan, saya memurnikan jiwa raga dengan laku hening yang serius, barulah di penghujung 2018 saya bisa disebut menjangkau fase pencerahan perdana. Nyata sekali bahwa pencerahan adalah dampak pemurnian jiwa, yaitu proses ruwatan/peleburan terhadap segala luka batin, watak angkara, ilusi, jejak dosa dan jeratan kuasa kegelapan. Proses purifikasi itu hanya terjadi saat kita tekun hening dan terhubung dengan Diri Sejati, kita dimurnikan dengan energi kasih murni yang terpancar dari Diri Sejati yang bersemayam di ujung tarikan nafas yang natutal.
Kini di 2023 tingkat kesadaran saya makin tinggi, pengertian akan realitaspun makin utuh. Makin jelas disadari bahwa Diri Sejati itu nyata, keterhubungan yang berkelanjutan denganNya yang memastikan kita konsisten mengalami bahagia yang sejati dan selalu tertuntun di jalan keselamatan.
Jelas realitas dan eksistensiNya bukan produk imajinasi, Ia hanya bisa disaksikan di dalam keheningan penuh di mana fungsi imajinasi diistirahatkan dan kita hanya mempergunakan pikiran pada fungsi observasi, kontemplasi dan penyadaran. Dalam situasi ini sebetulnya yang menyaksikan Diri Sejati kita adalah Rasa Sejati yang terhubung dengan otak, semua data dari Rasa Sejati diterima oleh otak sehingga mengerti dan menyadari keberadaan Diri Sejati.
Yang bilang Diri Sejati itu sebentuk halusinasi jelas sama sekali nggak mengerti mistiisisme Jawa ataupun dunia, nggak bisa bedakan antara orang yang hening dan ngelamun, bahkan ia tak mengerti apa sebetulnya yang disebut sebagai berpikir dengan segala fungsinya dan kaitannya dengan keheningan. Maka buat saya, yang bilang bahwa Diri Sejati itu nggak ada dan cuma halusinasi, bukanlah sebagai orang yang dominan logikanya tapi sekadar orang goblog yang sok pinter – justru ia sama sekali gak bisa berlogika, nggak paham apa itu logika. Dia mengira proses dia ngayal, mengira-ngira, sama dengan berlogika. Orang yang pintar itu berani mengakui keterbatasan pengalamannya dan tidak menghakimi secara serampangan perkara yang belum terjangkau pengalaman pribadinya. Saya nggak tahu semua hal, jadi saat saya ketemu teman yang bercerita tentang apa yang ditemukan di Rusia ya saya dengarkan seksama tanpa menyangkal – saya baru kritisi jika ada cerita/premisnya yang tak konsisten. Saya harus rendah hati mengakui bahwa saya memang belum pernah ke Rusia.
Reaksi Anda: