
Dalam konteks peningkatan kecerdasan emosi yang belakangan ini sedang marak di dunia pengembangan manusia, ada beberapa elemen yang dianggap sebagai objek pengembangan dalam rangka peningkatan kecerdasan emosi. Salah satunya adalah kemampuan berempati.
Menurut insinyur Gugle, empati adalah kemampuan memahami situasi yang sedang dialami oleh orang lain dan memahami pola gejolak emosi dan perasaan yang terjadi pada orang lain. Sementara, simpati adalah situasi emosi diri yang hanyut pada gejolak emosi orang lain, sehingga ikutan bersedih, kasihan, ikutan menangis, bahkan bisa ikutan menderita akibat terjebak konsep. Dalam kerangka sosial, seringkali tertanam konsep bahwa apabila tidak turut merasakan penderitaan orang lain, maka dianggap bukan orang yang simpatik, tidak punya perasaan dan bukan orang baik. Besar kecilnya empati sering dikaitkan dengan gejala kepekaan fisik yang tinggi atau ‘Highly Sensitive People (HSP)’ atau yang sering disebut sebagai empath.
Yang saya pelajari, sebagai manusia yang sangat peka secara fisik, empati bukan tentang menyerap penderitaan milik orang lain, lalu turut bergejolak dan berkubang dalam rasa kasihan maupun spektrum emosi destruktif lainnya. Menjadi sangat peka tidak perlu ikutan menderita dan malah turut fokus kepada problematika ketimbang membantu memberikan solusi. Empati seharusnya berupa sikap yang memberi dampak pendidikan karena kemampuan memahami pola situasi yang berlangsung secara lebih utuh ketimbang pihak yang sedang terjebak dalam pusaran derita. Empati tidak selalu harus berupa respon sesuai keinginan orang lain, bahkan tidak semua hal perlu untuk diberikan respons.
Empati dalam arena kesadaran murni seharusnya merupakan manifestasi kasih murni, yaitu berbentuk perspektif pemahaman yang lebih utuh sehingga mampu memberikan respons berupa solusi yang mendidik dan membangun.
Dalam berempati, praktik ‘Meditasi/Hening Pemurnian Jiwa’ menjadi alat paling tokcer layaknya ‘Tongkat Sihir’. Karena berempati membutuhkan kesadaran yang jernih dari ‘Sisi Gelap (shadows)’. Empati akan menjadi bias apabila dilatari oleh koleksi sisi gelap, misalnya pencitraan ingin dianggap sebagai orang baik dan perhatian, ketakutan akan konflik, pengecut dan main aman, dan seterusnya. Respons yang diberikan bukan dilatari oleh kesadaran yang jernih sehingga tidak mampu mempelajari pola situasi dengan utuh, malah ikutan terlibat dalam drama tidak bermutu demi kepentingan pribadi.
Meditasi/hening pemurnian jiwa memang mengajarkan kita untuk ‘Mengelola Respons’. Dengan mengelola kesadaran dan menjaganya dalam kondisi yang kalem, tenang dan meditatif, maka otak akan mampu bekerja dengan baik, tidak reaktif dan tidak impulsif, sehingga menurunkan potensi terpicunya hormon stres dan spektrum emosi destruktif lainnya. Meditasi/heninglah dulu sebelum memberikan respons dan bereaksi dengan impulsif, redakan dulu gejala sisi gelap yang naik ke permukaan selama berinteraksi. Dengan bermeditasi/hening pemurnian jiwa, maka perhatian akan dibawa ke dalam diri terlebih dahulu, ketimbang sibuk menilai dan menganalisis dengan tidak utuh.
Berendah hatilah untuk memberi jeda dengan bermeditasi/hening pemurnian jiwa untuk memahami diri terlebih dahulu.
Menjadi manusia yang mampu berempati, sudah pasti tidak bisa diciptakan dengan hobi terlalu banyak berpikir (overthinking) dan terlalu sibuk hanyut menganalisis beragam impuls yang ditangkap oleh panca indera (overstimulating). Membutuhkan ketenangan yang meditatif dalam berempati, agar tidak bablas menjadi simpati yang menambah drama dan menyumbang medan energi tidak selaras. Membutuhkan kesadaran yang jernih agar tidak hanyut dalam fokus yang salah server, yaitu malah sibuk memperhatikan apa yang tidak bisa dan tidak perlu dikendalikan. ‘Praktik Mindfulness’ dengan bermeditasi/hening pemurnian jiwa, seharusnya akan membuat diri menjadi lebih peka terhadap pola berpikir dan pola reaksi diri sebagai bagian dari self-awareness.
Kemampuan berempati merupakan cikal bakal ‘Self-mastery’, yaitu mampu mengendalikan diri dengan kesadaran yang jernih sehingga tidak hanyut dalam drama atau malah hanya berpura-pura mampu mengendalikan diri yang tampak di permukaan saja. Berempati membutuhkan keahlian dalam ‘Mengelola Respons’, sebagai hasil pola berpikir yang bebas dar sisi gelap (shadows), bukan hanya hasil pertimbangan berdasarkan hafalan teori atau kalimat bijak saja.
Jadi, pastikan sikap empatimu jernih dari sisi gelap dan tidak bablas menjadi tindakan yang tampak baik di permukaan saja sehingga menimbulkan dampak destruktif bagi kesehatan mental jiwa dan ragamu.
“There is nothing on this earth more valuable than pure consciousness.” ~ Pure Spirituality
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
1 Juli 2025
Reaksi Anda: