
Pasti sering ‘kan mendengar nasihat untuk menguatkan otot keheningan? Keheningan itu memang suka digambarkan seperti otot. Semakin dilatih, maka otot keheningan menjadi semakin kuat.
‘Meditasi/hening Penjernihan Diri’ memang bukan hanya untuk relaksasi saja. Tapi, untuk menjaga ‘Kesehatan’ dan kesejahteraan manusia (wellbeing) secara holistik, dimulai dari kesehatan mental atau pikiran. Semakin tekun dan konsisten berlatih, maka semakin kuat otot keheningan, semakin besar dan awet manfaat yang didapatkan.
Kesehatan mental adalah tentang membangun otot keheningan dan kesadaran yang jernih, sehingga punya programming dalam jaringan saraf yang menyehatkan dan konstruktif.
Ternyata memang ada penelitian para ahli yang membuktikan bahwa pada tataran kognitif, mengeluh dan penuh pikiran negatif membuang energi yang besar akibat memicu hormon stres dan membutuhkan energi lebih untuk me-recover. Penjelasan saintifik tersebut sangat relevan dengan teori dasar ‘Seni Hidup Berkesadaran SHD’, yaitu mengeluh dan tidak bersyukur adalah manifestasi sisi gelap yang tersimpan di lapisan kesadaran, yang mengotori cara berpikir dan medan energi diri, sehingga susah bersyukur dan hobi mengeluh dan membuat hidup terjebak dalam roda penderitaan.
Setelah praktik ilmu ‘Seni Hidup Berkesadaran SHD’ dan mencicipi menjadi manusia yang bebas dari hobi mengeluh, akhirnya saya mengerti kenapa manusia yang penuh negativity terhadap kehidupan, banyak ketakutan, selalu pesimis, serba insecure dan tidak pernah bersyukur memang melelahkan. Rasanya hidup menjadi cepat jompo, mudah melempem, letoy, dan tidak bersemangat. Selain itu, secara emosi menjadi kurang sehat, sangat sensitif, dan berimbas kepada menurunnya imunitas, sehingga rentan sakit, fungsi organ menurun, dan ujung-ujungnya terkena penyakit berat.
Jadi, pelajaran tentang ‘Hidup Bahagia’ bukan omon-omon dan hasil perspektif yang subjektif saja.
Terlepas dari kenyataan adanya invisible force bawah sadar bernama ‘Sisi Gelap (shadows/darkside)’, dalam tataran kognitif para ahli telah membuktikan bahwa habit bersyukur akan menstimulasi struktur jaringan otak dan membuat hidup lebih positif serta tangguh.
Hal ini disebabkan oleh meningkatnya produksi hormon bahagia sehingga menurunkan hormon stres. Apabila sikap bersyukur dilakukan secara konsisten, maka akan membentuk jalur saraf (neural pathway) yang kuat, yaitu jalur saraf yang berhubungan dengan emosi positif. Dengan begitu akan menciptakan mindset yang lebih positif, lebih mudah mengenal, dan mau menghargai setiap situasi dengan PoV yang positif.

Apalagi kalau bersyukurnya tidak hanya di mulut dan di dalam kepala aja, tapi benar-benar dihayati, dalam keheningan/meditatif, seperti yang diajarkan dalam ‘Seni Hidup Berkesadaran SHD’. Apalagi kalau dilakukan sambil merasakan nafas naturalnya, dengan ‘Ketulusan’ dan ‘Kepasrahan’, tanpa ekspektasi mendapatkan manfaat yang egoistik. Melalui keterhubungan dengan energi kasih murni dari dalam diri yang menjadi sumber energi charging yang super besar dan membuat semua sel dan organ menjadi lebih sehat, happy, positif, dan bahagia. Inilah yang membuat medan energi menjadi jernih dan kuat, menyirnakan sampah pikiran emosi dan sampah sisi gelap di kesadaran. Sehingga medan energi yang bahagia akan menyebar kemana-mana, dan menularkan energi positif ke orang-orang di sekitar.
Ini baru kalkulasi bagi satu individu. Bayangkan kalau banyak orang melakukan hal yang sama, seperti momen Sendratari 4N diselenggarakan oleh Perkumpulan Pusaka Indonesia. Pasti ada ledakan energi bahagia yang kemudian menyebar, walaupun tidak tampak tapi bisa terasa. Yang tersentuh hati dan jiwanya pasti bisa merasakan energi bahagia yang ringan dan bersahaja, namun bukan euforia. Yang terlalu tebal ego, terlalu skeptis dan malah banyak melamun, tentu akan kesulitan merasakan energi bahagia ini.
Dalam rangka membantu teman-teman melatih otot keheningan, maka dalam ‘Kurikulum Belajar v3.0’ di ‘Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari’, disediakan mata kuliah dasar umum yang menjadi bagian dari ‘Fase Transisi’ atau prep-school, sebagai fase persiapan sebelum melangkah ke mata kuliah inti.
Karena lucu kan kalau belajar mindfulness, tapi kok malah semakin baal, budeg, mati rasa, dan malah semakin PMS terhadap apa yang terjadi dalam diri.
Masa belajar hidup berkesadaran, malah hidup semakin tidak sadar akan sisi gelapnya sendiri, malah hidup tidak sadar akibat terilusi dengan hasrat egoistik dan PMS sehingga makin menjauh dari kebenaran sejati.
Meditasi/hening memang seperti otot, harus dilatih agar semakin kuat dan terprogram menjadi otomatisasi baru pada otak. Menjadi ahli meditasi/hening penjernihan diri membutuhkan latihan dengan ketekunan dan konsistensi, yang disertai dengan kesungguhan dan niat yang tulus. Kegiatan yang dilakukan dengan sadar penuh (conscious action), paham apa tujuan dan manfaatnya, tidak hanya dilakukan sebagai ‘paracetamol’ atau formalitas menggugurkan kewajiban seperti robot saja.
Maka, selalu diingatkan berkali-kali untuk:
- Latihan setekun dan sekonsisten mungkin – pastikan tekniknya tepat, bukan teknik semau sendiri
- Membuat jurnal latihan dan identifikasi perilaku berbasis sisi gelap
- Membangun pola hidup yang selalu diajarkan, yaitu melatih habit bersyukur dan melatih ketulusan. Membangun lingkaran malaikat dengan sering-sering lakukan pekerjaan yang tidak memberikan keuntungan, manfaat, dampak popularitas.
- Jalankan peran dengan totalitas, jangan berhenti dan menyerah sebelum beres.
- Buktikan pengertian teori bijak Seni Hidup Berkesadaran SHD dengan perilaku yang nyata di keseharian. Laku hening bukan hanya ketika duduk bersila dan pejam mata, tapi justru tercermin dalam keseharian. Pemahaman yang mendalam sudah pasti bisa dibuktikan dalam aplikasi nyata dan tangible, melalui cara berpikir dan perilaku sehari-hari ketika berinteraksi dengan sesama.
Jadi bukan otot tubuh saja yang perlu dilatih, otot keheningan juga perlu dilatih, agar tidak kalah kuat dengan ‘otot egomu’ yang selalu bablas menjadi egoistik dan membajak kehidupan.
“Growth is a conscious commitment to take responsibility for your own life.” ~ The Art of Conscious Living
Ay Pieta
Pembimbing dan Direktur Persaudaraan Matahari
4 November 2025
Abis baca artikel ini, kerasa kayak ada suntikan semangat baru.
Jadi kalau keheningan itu otot, berarti saya ini udah kebanyakan latihan otot drama, ya…. Soalnya tiap hari tuh rasanya kayak ikut lomba cabang “mengeluh estafet”…. 😅
Motor mogok di tengah jalan pas cuaca lagi puanas poll, langsung deh keluar kalimat sakral, “Napa sih hidup gue penuh ujian?”
Tagihan Shopee Paylater belum kebayar, pikiran udah bikin sinetron, “Semesta lagi nguji kesabaran gue.”
Bersihin rumah nggak kelar-kelar, malah sibuk ngeluh, “Napa hidup gue gini amat, ya?”
Belum lagi kebiasaan caper alusnya. Udah capek bersih-bersih, eh yang komen muji cuma satu orang. Langsung overthinking, kayak Jagat Raya lagi mengabaikan perjuangan saya. Padahal ya sapa juga yang nyuruh terlalu pengen dilihat?
Konsistensi juga masih sering kalah telak. Kadang semangat banget latihan hening, besoknya udah sibuk Carles — Cari Alasen. Katanya mau nyadar, tapi baru dikit aja nggak sesuai ekspektasi langsung ngedumel. Kadang malah ngeluh dengan gaya spiritualis – dikemas rapi, tapi isinya tetap aja keluhan namanya.
Terus, tiap ngeluh itu rasanya “lega gitu”, tapi abis itu capeknya seharian. Kayak minum kopi dingin buat ngusir kantuk, tapi ujungnya malah makin lemes. Kepala panas, hati sumpek, tapi kok yaoo tetep aja diulang lagi…
Saya sering ngerasa sedang “berlatih kesadaran”, tapi kok ujung-ujungnya malah latihan ngalusin bentuk pembelaan diri. Nggak nyadar kalau otot yang sebenernya lagi dikuatin bukan keheningan, tapi otot ego yang seneng banget pamer luka.
Keheningan yang sejati kayaknya bukan soal bisa duduk lama tanpa suara, tapi soal nggak langsung ikut berisik tiap hidup lagi berisik. Kalau bisa diem di situ, nyadar, jernih, dan nggak ikutan heboh, mungkin itu baru tanda otot keheningan mulai berfungsi, ya..
Dan, kalau otot drama ini nggak mau pensiun, ya tugas saya jelas. Terus ngelatih otot keheningan sampai cukup kuat buat ngalahin kebiasaan lama yang doyan banget NBC – Ngeluh, Baper, dan Caper.
Biar beneran nggak gampang dikibulin sama drama yang saya buat sendiri.
Setelah membaca artikel ‘Keheningan vs Otot’, saya jadi teringat contoh nyata dalam hidup saya sendiri, yaitu suami dan anak saya.
Saya sendiri masih suka gitu, sih, banyak ngeluh dan spaneng. Belum bisa hening yang tepat, tapi case dua orang terdekat saya ini jauh lebih ekstrem. Tentunya ada andil besar saya juga yang selama ini membuat mereka seperti itu.
Anak saya adalah tipe orang yang mudah marah saat melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan idealitasnya. Misalnya, ketika melihat dosen yang suka goblok-goblokin, mempermalukan mahasiswa di depan kelas, pelaku kekerasan seksual yang bisa menjadi wakil dekan, atau orang-orang yang tidak bisa antre, semuanya memicu kemarahan dalam dirinya. Ya repot sih, karena hidup di negeri ini gampang banget kita menemukan hal-hal yang “tidak benar”. Sementara pikirannya selalu fokus ke hal-hal negatif itu, lama-lama energi dalam dirinya menjadi destruktif. Dia jadi gampang ngeluh, penuh negativity. Susah bersyukur. Kebayang, kepalanya stres kayak apa. Nggak chill banget deh anaknya.
Dampak yang paling berat adalah pada kesehatannya. Pernah suatu waktu, Semesta seperti menegur dengan cara yang sangat keras: paru-parunya bermasalah, tiba-tiba ada udara masuk sehingga harus segera dibedah untuk mengeluarkan udara. Efeknya, dia jadi nggak bisa napas. Operasinya lancar, tapi butuh waktu lama untuk recovery dari bedahnya.
Sampai sekarang, dia masih sering kambuh sesaknya dan sangat sensitif kena asap. Nggak bisa deket-deket perokok. Tahu sendiri seumuran dia – rata-rata semua temannya perokok. Akhirnya, dia jadi dikucilkan dan mengucilkan diri karena nggak bisa ikut pergaulan dengan para smoker.
Kalau saya kaitkan dengan artikel tadi, saya jadi paham bahwa semua itu bukan sekadar kejadian medis yang “kebetulan.” Ketika seseorang terus-menerus hidup dalam energi kemarahan, ketidakpuasan, dan pikiran negatif, sistem tubuhnya akan menanggung beban besar akibat lonjakan hormon stres yang terus-menerus. Pikiran yang keruh secara langsung melemahkan sistem imun dan memengaruhi fungsi organ, seperti yang dijelaskan dalam artikel bahwa “mengeluh dan penuh pikiran negatif membuang energi besar dan memicu hormon stres.”
Anak saya juga masih dikendalikan oleh reaksi emosional yang muncul dari ego dan sisi gelapnya sendiri, ingin segala sesuatu berjalan sesuai maunya dan idealitasnya.
Tentunya saya tidak mau menambah kontribusi medan energi yang tidak selaras, dan satu-satunya jalan yaitu dengan melatih otot keheningan. Fokus beresin sigel saya dulu, dan melatih kemampuan bersyukur.
Membaca artikel Mbak Ay tentang otot keheningan ini semakin memahami apa yang dimaksud dari nasihat ini. Yang paling saya imani adalah ciptakan habit bersyukur, no mengeluh no drama no prasangka. Secara teori indah sekali dan mau melaksanakan, tapi pada kenyataan aplikasinya masih ada aja momen yang kebablasan – mengedepankan ego. Membuktikan sendiri bahwa berasa banget capeknya melakukan suatu hal dengan keluhan sepanjang prosesnya dan berasa juga ringannya ketika melakukan sesuatu dengan hati yang riang gembira takpeduli seabrek apa pekerjaannya. Fyuh. Ini hal yang takmudah ditaklukkan bagi kebanyakan manusia yang dari kecil hidup di lingkungan yang ya banyak mengeluhnya, komentarnya, prasangkanya. Tapi, ya syukurnya masih diberi kesempatan untuk terus berlatih bersyukur itu.
Hal yang paling sederhana adalah mengerjakan pekerjaan domestik, seperti mencuci piring, menyiram tanaman, kasih makan anak-anak satwa — jika dilakukan dengan happy rasanya ringan aja, tidak berat, malah muncul rasa syukurnya atas keberadaan mereka — jadi bisa punya variasi kegiatan, jadi gerak tubuh ini, jadi lihat yang ijo-ijo, jadi ngerti anugerah bisa punya tubuh yang lengkap dan sehat yang bisa ngapa-ngapain. Pekerjaan yang sama pernah juga saya lakukan dengan penuh keluhan, dengan hati yang iri/dengki, juga penuh prasangka, malah menciptakan kepala pening, puyeng, pikiran terus aja berdialektika, gk berhenti-henti, “Seharusnya begini-begitu, kenapa begini,” busyet dah — capek banget, bener banget jompo, lelah, dan terasa malas sekali, tak semangat karena melakukan dengan terpaksa, ya. Hihuh. Jangan-janganlah, takmau mengulangi hal yang menyakiti diri sendiri ituh.
Apalagi dulu — sebelum mengerti dan mendalami betul ajaran Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari, tentu saja hidup macem robot atau zombie, ya. Mengulang hal yang sama tiap hari, tak bermakna karena penuh keluhan — mengeluhkan hal yang takideal. Padahal senyatanya, ya hidup ini memang tidak seperti yang dipesan/diidealkan, kok, ya… Tapi, hidup tentang bagaimana cara kita menyikapi apa pun yang sedang dihadapi/dijalani.
Ndak nyangka saya yang sekarang bisa mengerti mana yang konstruktif dan destruktif. Kalau ndak kenal Persaudaraan Matahari, cara saya menjalani hidup pastilah masih penuh dengan keluhan. Terima kasih. 🙏🙏🙏
Jadi, bukan otot tubuh saja yang perlu dilatih, otot keheningan juga perlu dilatih, agar tidak kalah kuat dengan ‘otot egomu’ yang selalu bablas menjadi egoistik dan membajak kehidupan.
Ini kalimat ternampol untuk saya yang rasanya masih kesulitan mengidentifikasi mana otot ego dan mana otot hening. Pertama karena teknik hening saya pun belum bagus dan kedua karena sebagai Miss PMS memang masih sering baal dalam mengidentifikasi sisi gelap (sigel). Akhir-akhir ini dalam jurnal latihan identifikasi sigel, saya memperhatikan bahwa ketika fokus saya hanya memperhatikan apa sigel saya, otomatis fokus hanya pada hal-hal negatif diri. Ndilalah ini kok malah membuat saya jadi lupa bersyukur. Lalu, ketika mengganti PoV menjadi lebih positif, saya jadi bisa bikin list bersyukur dan dada rasanya jadi lebih plong.
Jadi, ternyata selama ini saya terlalu fokus mencari-cari apa yang salah dalam diri sampai lupa untuk menemukan juga hal-hal yang bisa disyukuri yang ternyata buanyak banget. Too focus on the negative sampai lupa fokus pada berkat yang selalu ada pada setiap tarikan dan embusan nafas. Gusti mohon maaf. Terimakasih tulisannya Mbak Ay dan reminder-nya. Terima kasih masih dikasih kesempatan untuk berubah dan berusaha.
Reaksi Anda:













