Kelahiran, kematian, adalah fenomena alami yang melingkupi manusia. Entah kapan saya mati. Yang pasti saya berusaha mempertahankan tubuh saya agar menjadi kendaraan yang prima bagi sang jiwa, selama-lamanya, sampai misi hidup tertuntaskan.
Sementara itu, nyata adanya, orang-orang yang saya kenal maupun tidak saya kenal, mendahului mengalami fenomena kematian. Dulu saya bertanya-tanya tentang makna hidup dan arti kematian. Lalu jalan keheningan membawa saya pada penyingkapan misteri. Hidup di Bumi sejatinya adalah kesempatan bagi sang jiwa untuk melanjutkan evolusi menuju kesempurmaan sesuai rencana Ilahi. Mati adalah gerbang kehidupan baru, penanda bermulanya siklus yang baru.
Jalan keheningan yang sesungguhnya membawa kita kepada kesadaran yang semakin murni. Kita jadi makin mengerti tentang kenyataan hidup dan mati, menyirnakan segala ilusi, melebur prasangka yang tak realistik. Saat yang sama, cakrawala pengetahuan diluaskan melampaui batasan-batasan inderawi.
Jiwa memetik buah perbuatan dan kesadarannya dalam hidup dan mati. Apa yang menjadi realitas diri terproyeksikan ke luar membentuk nasib, dalam bingkai hukum semesta yang adil dan presisi. Setiap pilihan dalam berpikir, berkata dan bertindak, menjadi input bagi matematika semesta, dan nasib kita adalah outputnya.
Setelah perjalanan berliku, saya mengalami hidup surgawi dan mengerti betul bagaimana rumusnya sesuai hukum yang berlaku di jagad raya. Rumusnya sederhana: kemurnian jiwa atau keterbebasan jiwa dari luka batin, watak angkara, ilusi, jejak dosa dan jeratan kuasa kegelapan adalah faktor mutlak tercapainya hidup surgawi. Dan jelas sekali juga formulanya: kualitas dan intensitas hening menentukan tingkat kemurnian jiwa.
Tak peduli apa label religi dan tradisi spiritual Anda, bahkan jika Anda tak percaya akan keberadaan Tuhan dan jiwa, Anda terikat dengan hukum jagad raya ini.
Lewat keheningan, saya juga mengerti bahwa jiwa tetap hidup setelah berpisah dengan tubuhnya. Jiwa menuai kehidupan baru yang sesuai dengan rajutan karmanya. Jiwa membuktikan kebenaran dan kesalahan dari pikiran dan pilihan tindakannya. Kematian memungkasi kesempatan manusia untuk ngeyel dan ndableg. Dan jelas, mau semenderita apapun sang jiwa, teriakan nestapanya tak bisa didengar mayoritas manusia; ia juga tak bisa semena-mena hidup lagi dengan badan yang sama untuk bercerita tentang nasibnya. Waktu tak bisa diputar ulang; nyatanya setiap jiwa terus bergerak maju dan menuai taburan karmanya dari masa lalu.
Karena kesadaran inilah, saya yang suka bercanda tak pernah main-main dengan kemurnian jiwa. Kemurnian jiwa adalah harga mati. Saya totalitas mendidik para murid saya untuk sungguh-sungguh memurnikan jiwa. Agar tiada sesal di kemudian hari, karena kematian itu pasti bagi mayoritas manusia, dan bisa datang dengan sangat mendadak.
Sumber:
Facebook Setyo Hajar Dewantoro, 27 Mei 2023
Reaksi Anda: