Skip to main content
Pijar Kesadaran

Menyelaraskan Pikiran, Emosi, dan Tubuh – Apa Artinya?

5 August 2025 Ay Pieta No Comments
Menyelaraskan Pikiran, Emosi, dan Tubuh Persaudaraan Matahari Sekolah Kehidupan

Bagi yang sudah menjadi murid di ‘Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari’, pasti sering membaca atau mendengar wedaran Guru SHD maupun dalam panduan meditasi/hening yang menyebutkan tentang proses penjernihan diri. Sabda cantik yang akan memantik proses penjernihan diri sering terdengar dan terbaca, “Menyelaraskan pikiran, emosi, dan tubuh”. Penjernihan diri adalah proses membersihkan ‘Sisi Gelap (shadows/darkside)’ dari lapisan kesadaran manusia. Dibersihkan untuk menjaga kejernihan pikiran, mental, dan emosi, yang akan berdampak bagi kesehatan fisik.

Semua yang pernah mempelajari sedikit atau banyak tentang Seni Hidup SHD pasti sudah hafal di luar kepala dengan kalimat, “Menyelaraskan pikiran, emosi, dan tubuh”. Dalam benak sudah pasti terbayangkan bentuknya seperti adegan film kartun atau sci-fi, bagaimana sebuah objek dilenyapkan dengan tembakan sinar. Terbayangkan proses yang mudah dan cepat, apalagi dengan keyakinan bahwa teori dasar ajaran ini sungguh mudah dan sudah merasa paling mengerti ketimbang gurunya. Jadilah selalu terbayang akan segera tercapailah angan-angan dan impian yang semakin membara.

Padahal pengertian utuh dari “Menyelaraskan pikiran, emosi, dan tubuh” mengandung peta proses (flow process) yang sangat panjang dan melibatkan banyak variabel selain duduk diam memejamkan mata 1-2 kali sehari.

Sejauh yang saya kenali, belajar menjadi manusia berkesadaran selalu menawarkan solusi bagi peningkatan kualitas hidup. Tetapi, di Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari tidak pernah menawarkan proses yang instan simsalabim. Malah sebaliknya proses belajarnya sepanjang hidup (lifetime learning). Belajar Seni Hidup SHD yang tampak recehan ini tidak bisa dilandasi oleh keinginan yang egoistik, karena membutuhkan kualitas ketulusan yang memadai.

Proses akselerasi memang terjadi, tetapi dalam kerangka Hukum Semesta, bukan dalam kerangka agenda egoistik individu. Akselerasi terjadi, baik terhadap rajutan lingkaran malaikat maupun yang sebaliknya. Semakin memegang teguh dorongan egoistik, maka semakin tergulung dalam lingkaran setan dan samsara, sehingga banyak yang kecewa karena merasa belajar cukup lama, tetapi duh kenapa makin banyak jatem dalam hidupnya ketimbang perbaikan nasib? Kalau terjadi demikian, lalu salah siapakah? Apakah ada kesalahan pada ajarannya atau ada kesalahan pada cara mengaplikasi ajaran?

Menyelaraskan Pikiran, Emosi, dan Tubuh - Persaudaraan Matahari Sekolah Kehidupan

Belajar di Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari tidak bisa hanya duduk merem bersila, lalu mengharapkan keajaiban datang mak gedebluk dan mengubah nasib begitu saja, sesuai dengan kondisi yang kita harapkan. Banyak yang melupakan bahwa ada proses yang harus dijalankan untuk memenuhi variabel hukum Semesta agar terjadi keajaiban. Bagi yang masih punya mental instan seperti Mbah Dukun dan menganggap bahwa pertumbuhan bertolok ukur pada tebal-tipisnya dompet, memang tidak cocok dengan ‘Value Tertinggi dari pelajaran tentang Seni Hidup SHD.

Dalam ‘Retreat Transformasi’, Guru SHD menjelaskan bahwa:

“Hanya totalitas yang bisa membuat manusia bertumbuh, tidak ada alasan apa pun untuk tetap kuntet, kecuali itu adalah buah dari ketidaktotalitasan. Tidak ada alasan lain yang menyebabkan tidak bertumbuh kecuali merupakan buah dari ketidaksungguhan.”

Lha memang benar banget, karena buktinya banyak juga yang berhasil bertumbuh secara spiritual. Yang bertumbuh memang karakternya dulu, kejernihan kesadarannya dulu, kesehatan nalarnya dulu, akal budinya dan integritas perilakunya diselaraskan dulu, baru kemudian berimbas kepada medan energi yang jernih, sehingga menarik hal yang selaras dengan ‘Rancangan Agung’ dan ‘Gerak Semesta’.

Masalahnya khayalan tentang Rancangan Agung yang didambakan oleh sebagian besar penghuni sekolah kehidupan adalah khayalan materialistik personalnya. Bukan tentang karya yang berdampak holistik – berjangka panjang dan awet sampai saatnya cus pindah dimensi. Dijelaskan tentang evolusi perjalanan jiwa, boro-boro mengerti karena fokusnya malah pada dongeng klenik atau sibuk mencari siapa dirinya di masa lalu, sebagai motivasi pembenaran diri, bahwa jiwanya tidak perlu bertumbuh dan berevolusi.

“Menyelaraskan pikiran, emosi, dan tubuh” dan “pertumbuhan” adalah tentang proses yang panjang, dan harus dilakoni dengan sebuah komitmen untuk membangun diri dan ‘Membangun Disiplin’.

Berkomitmen untuk memenuhi syarat dan ketentuan hukum Semesta, berkomitmen untuk memenuhi semua variabelnya terlebih dahulu. Kalau pola pikir masih penuh dengan cuan dan kegelapan sisi gelap (shadows/darkside), tentu membutuhkan kemauan untuk melenyapkan dulu bayang-bayang cuan di dalam kepala. Perlu kesungguhan dan komitmen yang tidak kaleng-kaleng untuk membangunkan diri agar sadar bahwa hidup tidak hanya perkara cuan dan memenuhi hasrat egoistik secara instan, seperti pop mie.

Terkadang saya suka penisirin, sebenarnya apa sih yang ada dalam benak teman-teman tentang proses penjernihan diri ini, terutama ketika mendengarkan panduan meditasi yang sarat oleh sabda indah dari Guru SHD? Sharing, ya.

“Take life consciously, you will live full of life.” ~ Sigma Lifestyle

 

Ay Pieta
Pembimbing dan Direktur Persaudaraan Matahari
5 Agustus 2025

Testimoni
Maria Dewi Natalia

Kadang saya suka geli sendiri, inget dulu mikir penyembuhan itu tinggal duduk manis, merem, dengerin panduan meditasi… cling! Hidup langsung damai, luka batin sembuh, dompet ikut subur. Lah, enak banget, ya, kalau semudah itu?

Tapi kenyataannya, hidup gak bisa diseduh kayak pop mie. Gak bisa cuma karena, “Udah merasa ngerti”, terus semua luka sembuh. Justru makin belajar, makin kelihatan betapa bobroknya diri ini. Astajim.

Makanya tulisan Mak ini nyentil banget. Ngajakin saya ngaca. Ternyata belajar di jalan spiritual itu bukan lomba cepet-cepetan tercerahkan. Tapi, latihan sabar dan jujur. Nggak cuma duduk hening, tapi juga berani ngelihat sisi gelap yang biasanya saya tutupi rapat-rapat. Dan, jujur aja, saya masih kadang suka ngumpetin di bawah karpet kalau udah mulai nggak nyaman. Otw ngosek supaya nggak balik ke pola lama.

Saya makin sadar, bukan guru atau ajarannya yang salah. Tapi, saya yang masih pengen instan, masih berharap ada shortcut. Masih nunggu keajaiban, tapi ogah bener-bener nyemplung ke prosesnya, kadang masih suka dengan zona nyaman.

Padahal niat itu fondasi. Kalau niatnya masih mau buru-buru pengen ‘selesai’, ya yang datang pasti kecewa. 

Jadi buat saya, ini pengingat penting, “Kalau memang mau bertumbuh, ya mesti siap total. Siap jalan pelan-pelan. Siap nggak nyaman dan siap untuk nggak nyari jalan pintas.”

Share:

Reaksi Anda:

Loading spinner
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda