
Bagi yang sudah menjadi murid di ‘Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari’, pasti sering membaca atau mendengar wedaran Guru SHD maupun dalam panduan meditasi/hening yang menyebutkan tentang proses penjernihan diri. Sabda cantik yang akan memantik proses penjernihan diri sering terdengar dan terbaca, “Menyelaraskan pikiran, emosi, dan tubuh”. Penjernihan diri adalah proses membersihkan ‘Sisi Gelap (shadows/darkside)’ dari lapisan kesadaran manusia. Dibersihkan untuk menjaga kejernihan pikiran, mental, dan emosi, yang akan berdampak bagi kesehatan fisik.
Semua yang pernah mempelajari sedikit atau banyak tentang Seni Hidup SHD pasti sudah hafal di luar kepala dengan kalimat, “Menyelaraskan pikiran, emosi, dan tubuh”. Dalam benak sudah pasti terbayangkan bentuknya seperti adegan film kartun atau sci-fi, bagaimana sebuah objek dilenyapkan dengan tembakan sinar. Terbayangkan proses yang mudah dan cepat, apalagi dengan keyakinan bahwa teori dasar ajaran ini sungguh mudah dan sudah merasa paling mengerti ketimbang gurunya. Jadilah selalu terbayang akan segera tercapailah angan-angan dan impian yang semakin membara.
Padahal pengertian utuh dari “Menyelaraskan pikiran, emosi, dan tubuh” mengandung peta proses (flow process) yang sangat panjang dan melibatkan banyak variabel selain duduk diam memejamkan mata 1-2 kali sehari.
Sejauh yang saya kenali, belajar menjadi manusia berkesadaran selalu menawarkan solusi bagi peningkatan kualitas hidup. Tetapi, di Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari tidak pernah menawarkan proses yang instan simsalabim. Malah sebaliknya proses belajarnya sepanjang hidup (lifetime learning). Belajar Seni Hidup SHD yang tampak recehan ini tidak bisa dilandasi oleh keinginan yang egoistik, karena membutuhkan kualitas ketulusan yang memadai.
Proses akselerasi memang terjadi, tetapi dalam kerangka Hukum Semesta, bukan dalam kerangka agenda egoistik individu. Akselerasi terjadi, baik terhadap rajutan lingkaran malaikat maupun yang sebaliknya. Semakin memegang teguh dorongan egoistik, maka semakin tergulung dalam lingkaran setan dan samsara, sehingga banyak yang kecewa karena merasa belajar cukup lama, tetapi duh kenapa makin banyak jatem dalam hidupnya ketimbang perbaikan nasib? Kalau terjadi demikian, lalu salah siapakah? Apakah ada kesalahan pada ajarannya atau ada kesalahan pada cara mengaplikasi ajaran?
Belajar di Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari tidak bisa hanya duduk merem bersila, lalu mengharapkan keajaiban datang mak gedebluk dan mengubah nasib begitu saja, sesuai dengan kondisi yang kita harapkan. Banyak yang melupakan bahwa ada proses yang harus dijalankan untuk memenuhi variabel hukum Semesta agar terjadi keajaiban. Bagi yang masih punya mental instan seperti Mbah Dukun dan menganggap bahwa pertumbuhan bertolok ukur pada tebal-tipisnya dompet, memang tidak cocok dengan ‘Value Tertinggi dari pelajaran tentang Seni Hidup SHD.
Dalam ‘Retreat Transformasi’, Guru SHD menjelaskan bahwa:
“Hanya totalitas yang bisa membuat manusia bertumbuh, tidak ada alasan apa pun untuk tetap kuntet, kecuali itu adalah buah dari ketidaktotalitasan. Tidak ada alasan lain yang menyebabkan tidak bertumbuh kecuali merupakan buah dari ketidaksungguhan.”
Lha memang benar banget, karena buktinya banyak juga yang berhasil bertumbuh secara spiritual. Yang bertumbuh memang karakternya dulu, kejernihan kesadarannya dulu, kesehatan nalarnya dulu, akal budinya dan integritas perilakunya diselaraskan dulu, baru kemudian berimbas kepada medan energi yang jernih, sehingga menarik hal yang selaras dengan ‘Rancangan Agung’ dan ‘Gerak Semesta’.
Masalahnya khayalan tentang Rancangan Agung yang didambakan oleh sebagian besar penghuni sekolah kehidupan adalah khayalan materialistik personalnya. Bukan tentang karya yang berdampak holistik – berjangka panjang dan awet sampai saatnya cus pindah dimensi. Dijelaskan tentang evolusi perjalanan jiwa, boro-boro mengerti karena fokusnya malah pada dongeng klenik atau sibuk mencari siapa dirinya di masa lalu, sebagai motivasi pembenaran diri, bahwa jiwanya tidak perlu bertumbuh dan berevolusi.
“Menyelaraskan pikiran, emosi, dan tubuh” dan “pertumbuhan” adalah tentang proses yang panjang, dan harus dilakoni dengan sebuah komitmen untuk membangun diri dan ‘Membangun Disiplin’.
Berkomitmen untuk memenuhi syarat dan ketentuan hukum Semesta, berkomitmen untuk memenuhi semua variabelnya terlebih dahulu. Kalau pola pikir masih penuh dengan cuan dan kegelapan sisi gelap (shadows/darkside), tentu membutuhkan kemauan untuk melenyapkan dulu bayang-bayang cuan di dalam kepala. Perlu kesungguhan dan komitmen yang tidak kaleng-kaleng untuk membangunkan diri agar sadar bahwa hidup tidak hanya perkara cuan dan memenuhi hasrat egoistik secara instan, seperti pop mie.
Terkadang saya suka penisirin, sebenarnya apa sih yang ada dalam benak teman-teman tentang proses penjernihan diri ini, terutama ketika mendengarkan panduan meditasi yang sarat oleh sabda indah dari Guru SHD? Sharing, ya.
“Take life consciously, you will live full of life.” ~ Sigma Lifestyle
Ay Pieta
Pembimbing dan Direktur Persaudaraan Matahari
5 Agustus 2025
Kadang saya suka geli sendiri, inget dulu mikir penyembuhan itu tinggal duduk manis, merem, dengerin panduan meditasi… cling! Hidup langsung damai, luka batin sembuh, dompet ikut subur. Lah, enak banget, ya, kalau semudah itu?
Tapi kenyataannya, hidup gak bisa diseduh kayak pop mie. Gak bisa cuma karena, “Udah merasa ngerti”, terus semua luka sembuh. Justru makin belajar, makin kelihatan betapa bobroknya diri ini. Astajim.
Makanya tulisan Mak ini nyentil banget. Ngajakin saya ngaca. Ternyata belajar di jalan spiritual itu bukan lomba cepet-cepetan tercerahkan. Tapi, latihan sabar dan jujur. Nggak cuma duduk hening, tapi juga berani ngelihat sisi gelap yang biasanya saya tutupi rapat-rapat. Dan, jujur aja, saya masih kadang suka ngumpetin di bawah karpet kalau udah mulai nggak nyaman. Otw ngosek supaya nggak balik ke pola lama.
Saya makin sadar, bukan guru atau ajarannya yang salah. Tapi, saya yang masih pengen instan, masih berharap ada shortcut. Masih nunggu keajaiban, tapi ogah bener-bener nyemplung ke prosesnya, kadang masih suka dengan zona nyaman.
Padahal niat itu fondasi. Kalau niatnya masih mau buru-buru pengen ‘selesai’, ya yang datang pasti kecewa.
Jadi buat saya, ini pengingat penting, “Kalau memang mau bertumbuh, ya mesti siap total. Siap jalan pelan-pelan. Siap nggak nyaman dan siap untuk nggak nyari jalan pintas.”
Related banget artikel ini buat saya yang masuk tim pop mie alias maunya instan, pop mie aja butuh proses sampai bisa dinikmati. Saya awal belajar Seni Hidup SHD selain karena ikut-ikutan suami, setelah diingat-ingat itu saya masuk pas plandemi lagi marak-maraknya, dan saya sebagai nakes yang dulu masih menganggap plandemi itu benar adanya selalu dibuat ketakutan. Saya mendapatkan ketenangan dengan bermeditasi melalui audio panduan guru. Rasanya audio guru itu ibarat paracetamol di saat demam, ces pleng. Wah, sakti nih – itu yang ada di pikiran saya saat itu. Setiap mau SWAB, saya meditasi dulu dengan audio guru dan hasilnya selalu negatif (makin menguatkan saya kesaktian audio panduan meditasi). Namun, setelah mendengarkan wedaran guru berkali-kali tentang proses pemurnian jiwa yang harus dijalani tidak dengan instan, proses yang cukup panjang ini memang harus dilalui. Enak aja cuma minta wes-ewes langsung bersih. Maap Guru, Mbak Ay, terkadang hasrat pop mie itu masih suka ada ketika ada rasa nggak nyaman – maunya segera selesai.
Proses pemurnian jiwa tiap orang berbeda-beda, tetapi kuncinya cuma totalitas, nggak ada yang lain. Padahal udah diwedarkan dan sudah dikasih contoh/teladan, tapi sayanya aja yang memblok itu semua sehingga setengah-setengah yang masuk. Mental instan itu yang memblok – maunya segera selesai, maunya nggak pakai proses, ya mana bisa. Ternyata, ilusi dogma bahwa kalau ikut kristus pasti selamat dan masuk surga masih ada, salah penafsiran maksud dari ikut kristus itu bukan berarti masuk agama tertentu, tapi ikut ajaran kristus, yang berarti ajaran Seni Hidup SHD, yaitu laku hening (saya baru terbuka pikirannya setelah belajar di Persaudaraan Matahari). Dulu mikirnya ya udah jadi orang kristen pasti masuk surga karena udah ditebus dosanya sama Yesus. Astaga, itu yang bikin dosa saya sendiri – lalu, kenapa Yesus yang harus beresin, ckckckck. Sungguhlah manusia ini penuh ilusi dan dogma.
Saya mau bertransformasi dengan ketulusan dan totalitas. Balik lagi lihat komitmen yang sudah ditulis pas retreat, “Ayo, komitmen dilaksanakan.” Terima kasih Mbak Ay untuk reminder-nya.
Dalam pengalaman saya jebakannya ada pada merasa sudah totalitas menjalankan salah satu dari variabel dari entah berapa ribu variabel yang mesti dipenuhi selama proses pemurnian jiwa ini, itupun juga masih merasa-rasa saja soal totalitas, merasa sudah rapat meditasi formal (medfor), merasa sudah selalu berefleksi, merasa sudah manut, merasa lebih baik dalam mengikuti arahan, tetapi kenapa masih bantet? Ya, pasti karena belum tepat dalam menjalankan proses dan mengikuti ajaran ini dengan tepat. Merasa sudah, tapi tanpa validasi ya namanya kesombongan akut (baca : kebodohan absolut). Tapi, saat kena OTT skor jeblok masih juga mencoba memperbaiki sendiri tanpa sering validasi udah bener belum belajarnya. Jadi, saya tidak boleh lagi merasa puas dan benar atas setiap capaian, ini perjalanan panjang pembelajaran, bukan pola belajar parsial. Lulus, liburan dulu, terus naik kelas, baru belajar lagi… tidak sesimpel itu …..
Lebih dari sekali saya baca tulisan Mbak Ay di atas karena saya merasa daya tangkap terhadap kalimat mulai lemot, hihi, apalagi masih ada sifat grusa-grusu diri ini.
Jadi ingat pepatah dalam bahasa latin, “Mens sana in corpore sano” = “Jiwa yang sehat dalam tubuh yang sehat”.
Nah apakah pepatah ini masih relevan dengan kekinian di Seni Hidup SHD?
Jiwa yang sehat = jernih, bebas dari segala sisi gelap.
Tubuh yang sehat = sehat jasmani/fisik, dan tak mesti komplit utuh, yang penting bernafas/hidup
Nampaknya masih relevan karena menyiratkan berproses siklik, menurut saya bila itu benar, maka related dengan tulisan Mbak Ay, bahwa jernih lahir batin terlebih dahulu (jiwa yang sehat), maka berdampak pada kesehatan fisik.
Dalam praktik hening sehari-hari, saya selalu niatkan menyelaraskan diri (bukan afirmasi, namun meresapi setiap tarikan dan embusan nafas). Memang manjur sih, untuk meredam emosi (rasa gejolak ego mereda). Namun, yang sulit dirasa adalah menjaga keajegan heningnya. Maka, selalu muncul kembali emosi (hasrat egoistik) yang menjadi liar bila tak eling lan waspada. Ini yang menjadi tantangan saya dalam berproses di jalan HENING.
Saya sih, tak mengharap instan (hal lain, bila ada anugerah langsung ya saya terima dengan ikhlas). Saya sadari ibarat pelari marathon – tujuan sudah jelas. Jalan sudah dibentangkan, Sang Pemandu Agung sudah ada.
Setiap sabda yang diucapkan Mas Guru dalam audio panduan meditasi, saya resapi, selalu ada makna baru muncul untuk menguatkan jalan penuh KASIH MURNI ini. Memang sering pula lewat begitu saja hanya mengukur waktu durasi medfor tanpa memaknai sabda karena pikiran lagi meliar. Duh mohon pengampunan Gusti yang Maha Kasih.
Tantangan dan PR saya di jalan Seni Hidup SHD adalah aksi nyata setulus-tulusnya untuk turut mewujudkan Bumi Surgawi. Menjalani amanat-amanat yang telah dikaruniakan dengan penuh kesungguhan dan totalitas.
Saya sadar diri bahwa memang Sekolah Kehidupan ini ditempuh sepanjang hayat dan tak berijazah formal, terus menerus hanya memurnikan jiwa raga, meraih bahagia sejati.
Mekathen.
Jadi inget, dulu yang saya bayangkan ketika ikut meditasi itu segala kegalauan, gundah gulana dan semacamnya itu akan bisa hilang begitu saja dan hidup saya bisa jadi damai. Tidak pernah terpikirkan sama sekali prosesnya bagaimana, fokesnya adalah di hasil akhir. hihi. Ternyata oh ternyata, semua di luar yang saya bayangkan. Iya, kebahagiaan, kedamaian merupakan tujuan, tapi maunya instan kayak pop mie yang sekali seduh langsung jadi. Oh, tidak Fergusooo.
Ternyata, ada proses ulekan panjang yang itu menjadi sangat menyakitkan karena ya tidak sesuai ekspektasi awal saya, lalu tidak sesuai ego, merasa, loh saya ‘kan nyari kedamaian, kok malah begini jadinya, jungkir-balik juga. Alhasil, jadi protes dengan ajarannya. Ealah, bukannya berkaca dan mendengarkan baik-baik ajarannya, tapi tetap sibuk dengan tujuan akhir.
Iya, jujur awal-awal sangat berat buat saya karena semua bisa dibilang berbanding terbalik, tentunya dengan ekspektasi saya. Tapi, rasanya saya tidak mau menyerah dengan ajaran ini seiring dengan berjalannya waktu saya belajar di Persaudaraan Matahari. Saya mulai mengerti bahwa ya inilah proses yang harus saya jalani. Ya, kalau mau bahagia, ya harus bersih, sama dengan mau bebersih diri sendiri yang penuh sisi gelap. Nah nah.. sisi gelap setumpuk yang kalau muncul suka membuat saya gelagepan sendiri karena melihat kenyataan diri sendiri yang super bobrok. Lah dalah, jadi gimana mau instan? Orang gunungan sisi gelap saya setinggi langit di angkasa, enak aja maunya diewes-ewes langsung lenyap, nggak mau bertanggung jawab sama diri sendiri.
Iya ya, kalau instan saya tidak pernah bisa memahami makna dari setiap kejadian. Semua harus dijalani dengan kesungguhan dan totalitas agar setiap makna tidak terlewatkan, walaupun pada praktiknya saya masih jungkir-balik dan masih suka ngeluh, heheheh. Saat ini saya sedang belajar beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang tiba-tiba terjadi dan terasa aneh. Tapi, ya itulah bagian dari proses saya – mau rasanya enak atau nggak enak. Yak, meditasi dan meditasi. Ternyata memang nggak ada cara lain. Semakin ngeluh semakin protes juga malah semakin menjadi. Terima kasih Mak Bapake tidak pernah henti-hentinya mengingatkan kami.
Mengaku dosa dan malu. Waktu awal belajar, sungguh nggak tahu apa-apa tentang ajaran ini. Pernah di awal belajar, saya kira dengan rajin duduk merem, nyimak webinar, LoC bisa naik terus, seperti di sekolah model akademik. Apalagi pernah merasakan LoC naik signifikan (dengan gampangnya), lalu melorotnya lebih gampang lagi dengan kecepatan lebih tinggi. Makin ke sini, lah kok tambah susah. Makin ke sini, makin merasa tidak tahu apa-apa. Sempat merasa mau putus asa, aduh susah banget, kok saya kuntet terus, ya. Bersyukur ada Mak yang rajin menuliskan detail tentang tip-tip belajar, panduan untuk memahami diri, memahami pola kebanyakan pembelajar, yang bisa jadi bahan ngaca diri dan pegangan.
Pemahaman baru yang saya dapat dari tulisan ini adalah di bagian: Yang bertumbuh memang karakternya dulu, kejernihan kesadarannya dulu, kesehatan mindsetnya dulu, akal budinya dan integritas perilakunya diselaraskan dulu, baru kemudian berimbas kepada medan energi yang selaras sehingga menarik hal yang selaras dengan Rancangan Agung (link) dan Gerak Semesta (link).
Nah, sampai di sini baru ngeh. Karakter seperti apa yang ingin dibentuk di Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari. Lalu lihat ke diri, karakter saya sudah sejauh mana bertransformasi. Tidak sekadar bicara healang-healing saja, tapi memang penuh gemblengan dari segala sisi. Jadi ngeh juga, maksudnya, kenapa pembelajaran ini berdurasi seumur hidup, sebab sepanjang itulah proses gemblengan karakter diperlukan, tanpa kendor, tanpa istirahat. Ini baru karakter, belum yang lain-lainnya.
Tentunya, karakter ini nggak akan kelihatan kalau hanya belajar meremnya saja, tanpa wahana praktik dan magang. Dari wahana ini, baru deh, keliatan di kaca, “penyakit” dan “kerusakan” apa saja yang saya derita. Separah apa penyakitnya. Dan, tools bagaimana cara bengkelinnya. Masih jauh memang perjalanan saya.
Terima kasih atas artikelnya, Mak. Masih ingat awal dulu bermeditasi dengan jalan ini membuat sakit saya sembuh, hehehe. Tapi serius Mak, dulu tidak menyangka bakal sembuh dengan meditasi. Sejak itu menyangka bahwa tawaran jalan keselamatan yang saya dengar lewat audio meditasi bakal menjadi mudah. Cukup meditasi sesekali bakalan beres.
Pun begitu dalam hal sisi gelap. Istilah sisi gelap memang sering terdengar baik dalam audio meditasi maupun wedaran, namun tidak cukup membuat saya mengerti. Jangankan mengerti, mengenalinya saja belum bisa. Namun, masukan demi masukan tentang sigel ini saya dapatkan dari sesama teman pembelajar melalui interaksi dalam kegiatan di Pusaka Indonesia.
Bersyukur saya dulu mengambil sikap berangkat berkegiatan, jika tidak, tentu pengenalan dan pengertian akan sigel membutuhkan waktu yang lebih lama. Dari pemahaman ini saya menjadi sadar bahwa kader yang aktif tentu akan mengalami akselerasi daripada yang pasif berkegiatan.
Tetapi, akselerasi ini dimengerti tetap memiliki dua sisi yang ekstrim, keberhasilan penjernihan diri atau jatem bablas menuju jurang. Teman-teman yang aktif, apalagi mendapat peran jabatan, tentu lebih ekstrem lagi. Bagaimana tidak, pembelajarannya tentu mendapatkan jatah paket yang lebih besar: hak dan tanggung jawab jabatan.
Hak dan tanggung jawab ini belakangan saya baru mengerti adalah anugerah, atau jatah kasbon. Akselerasi penjernihan diri melekat pada jatah kasbon tersebut. Dan sesuai artikel, sifatnya sesuai koridor Hukum Kosmik, bukan untuk agenda egoistik. Di sisi lain, sebagian memang tidak mampu mengerti bahwa semua anugerah itu sebagai hadiah, bukan semata karena kepandaian dan keterampilan diri. Buktinya, setelah terlepas jatah peran atau jatah kasbon habis, maka kemampuan dan keterampilan akan ikut menghilang.
Keadaan ini sudah terdeteksi sejak dini oleh Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari, dan solusinya memang mindfulness, meditasi penjernihan diri. Dan yang paling fundamental adalah trust kepada Guru, Mak, serta semua sistem yang terbentuk. Dalam bahasa lain, ini saya mengerti sebagai keimanan.
Baca tulisan Mbak Ay membuat saya sadar, pada praktiknya saya masih masuk yang pop mie. Iya ya, saya tidak tahu perjalanan jiwa ini sudah berapa lama, berapa panjang. Entah berapa banyak kehidupan saya menumpuk sisi gelap. Tidak mungkin dibereskan dengan medfor yang hanya sekian sehari, dengan kualitas di bawah standar. Pemahaman saya tentang “totalitas” juga ternyata masih sempit POV-nya, dan sadar juga diri ini masih belum totalitas. Saya mau terus dikalibrasi pemahamannya, perilakunya, menyelaraskan diri agar sesuai dengan koridor pembelajaran Persaudaraan Matahari sebagai sekolah kehidupan.
Bertumbuh secara spiritual, perlu bertumbuh karakternya dulu, akal budinya dulu, menumbuhkan semua 7 value, semua menu pembelajaran harus diikuti semua, dan prosesnya seumur hidup. Saya diingatkan lagi untuk berfokus saja pada proses. Ternyata bisa diartikan sebagai: just do your part, melakukan bagian saya, tanpa ekspektasi apa pun (= pasrah). ini yang masih saya latih terus, nilai kepasrahan saya masih kecil sekali.
Terima kasih Mbak Ay untuk tulisannya yang membuka pemahaman saya. Saya akan terus mengkalibrasi diri dan memperbaiki diri.
“Apa sih yang ada dalam benak tentang proses penjernihan diri ini, terutama ketika mendengarkan panduan meditasi yang sarat oleh sabda indah dari Guru SHD?”
Yang ada dalam benak adalah kenyaman-kenyaman fisik dan mental semata, misal pikiran jadi anteng, tenang, nggak kemrungsung; badan juga terasa nggak sakit-sakit, hidup keseharian juga lumayan damai – tidak ada drama tragedi yang ironis; dan seterusnya. Begitulah yang ada dalam benak ketika bermeditasi. Dahulu, tidak ada sama sekali pikiran yang terlintas bahwa ini perjalanan panjang seumur hidup, sampai kita mati. Apalagi Persaudaraan Matahari kini hadir dengan tagline ‘Sekolah Kehidupan’. Hwow, KEHIDUPAN – rasanya memang nggak pernah ada habisnya. Akan selalu ada dan long lasting ya, selama hidup itu ada dan terus berjalan.
Makin ke sini makin terkalibrasi tentang pemahaman ‘penjernihan diri yang meliputi jernih pikiran, emosi, dan tubuh’. Sajian lengkap di Persaudaraan Matahari saat ini, metode belajarnya makin jelas dan lengkap ya fiturnya, apalagi ada fitur praktiknya pula. Secara lengkap sajian teoretik dibahas dengan jalas dan detail ilmu kehidupan serta rahasia Jagat Raya ini di lembaga Persaudaraan Matahari, sementara itu praktiknya ada di wadah-wadah lembaga yang tersedia – seperti, The Avalon Consulting dan Pusaka Indonesia. Ya, tentu saja pada praktiknya nggak semudah memutarbalikkan telapak tangan yang wesewes bablas deh. Hehe. Oh, tidak…
Ternyata, transformasi itu nyata di sini. Permasalahan mental block yang ada dalam keseharian benar-benar diulik akarnya – ujung-ujungnya sisi gelap seperti angkara murka dan luka batin – dikasih tahu gimana cara beresinnya, Hening atau Meditasi Penjernihan Diri sesuai yang diajarkan di sini. Dan, merasakan sendiri sih, gimana praktiknya – merasanya udah sesuai metode, eh ternyata memang harus berani minta validasi biar tidak jadi tim merasa-merasa –- apakah betul sudah ada di jalur yang benar atau memang betul hanya jadi tim merasa-rasa alias semu semata.
Pola nalar kami diperbaiki, kedisiplinan kami terus ditingkatkan, dan karakter-karakter yang konstruktif terus ditumbuhkan layaknya ksatria sejati. Baru di sini yang ada pembelajaran paket lengkap, selengkap ini. Tentang penjernihan diri ini, ternyata memang tidak seinstan pop mie yang waktu seduhnya hanya nunggu beberapa menit. Di sini tidak begitu, tapi konsistensi melakukan perubahan hal kecil dan ber-progress adalah hal yang utama dan penting.
Terima kasih Persaudaraan Matahari.
Jujur, baca artikel ini lebih dari sekali supaya lebih nangkap (meskipun akhirnya nggak otomatis nangkap secara utuh). Tapi secara umum, impresi yang terlintas adalah bahwa proses pemurnian jiwa itu tidak seperti pop mie yang cepat beres sigelsnya. Ada kesadaran, tanggung jawab, dan perubahan sikap yang tulus supaya bisa dibereskan. Emang bener sih, kalau hanya duduk meditasi atau mengandalkan boosting terus sigels lebur – beres. Kok kesannya too good to be true, nggak ada beda dengan pola ngedukun, ya.
Belajar meditasi di sekolah kehidupan adalah lifetime learning. Fokus proses, daripada hasil. Ya bener sih ketika sudah geser fokusnya ke hasil, pasti ada distraction. Mulai dari ngerasa bosan, capek, hingga bisikan-bisikan untuk restarts habits lama – a.k.a hening kendor. Kalau udah kayak gini bawaannya pengen “cuti” dulu. Terus ingat lagi hidup di masa-masa sebelum belajar meditasi yang ruwet sendiri – ingat kapok – balik lagi niat belajar hening untuk murnikan jiwa – balik lagi kencengin meditasi. Ya, begitulah lingkaran setan yang saya sadari sejauh ini. Singkatnya, boro-boro totalitas, konsisten aja belum.
Lanjut kencangin hening. Sadar jatem dan konsekuensinya.
Reaksi Anda: