
‘Gejala Klinis’ dan perilaku berbasis ‘Sisi Gelap (shadows)’ yang ditemukan memang lucu dan unik.
Ada yang abai dan sering skip dengan sebuah instruksi kerja yang sederhana karena sering membudegkan diri terhadap informasi yang tidak disukai. Ada yang sok cuek, tapi sebenarnya lagi ngambek caper ingin diperhatikan. Ada yang mengaku merenung, tapi sebenarnya menyusun narasi cantik untuk mendapatkan respon yang diinginkan (lho, refleksi dirinya mana?)
Ada yang hobi mengamati orang lain, tapi tidak mampu mengamati dirinya sendiri. Ada yang hobinya menerawang dengan dalih mempertajam intuisi. Ada yang seperti kena katarak sehingga tidak mampu membaca informasi dan data dengan baik.
Ada juga yang ucapannya tidak bisa dikelola dan senang menghina orang lain. Ada yang kemelekatan terobsesi dengan kenyamanan fisik. Ada yang hobi kabur, melarikan diri dari situasi yang tidak menyenangkan. Ada juga yang hobi memalsukan data, gosip, memanipulasi informasi dan pencitraan.
Saya sering bertanya-tanya, selama ini ‘Rutinitas Meditasinya Buat Apa’, ya?
Gejala klinis berupa perilaku yang nyata banyak bermunculan ketika berinteraksi dalam pekerjaan. Berkolaborasi dalam organisasi menjadi sarana magang dan ujian praktik yang paling efektif bagi aplikasi ‘Spiritual Murni SHD‘.
Dan, ditemukan bahwa ketakutan terhadap objek bernama ‘salah’ menjadi isu kolektif yang belum dapat diobati.
Perilaku dari takut salah ini bisa bermacam-macam. Bisa dengan mincep absolut, malas bertanya, malas memberi pendapat, malas berkreasi, malas bergaul, malas berinovasi, kaku dan tidak fleksibel, hanya senang bekerja di area zona nyaman, controlling, cari aman. Kemudian berkembang menjadi gengsi, ngeyel, keras kepala, kesombongan, pencitraan, omdo, manipulatif, obsesif, tiranik, ilusif, tidak jujur dan seterusnya. Dan, akhirnya performa dalam pekerjaan menjadi minim.
Selain dilatari oleh bejibun sisi gelap, ketakutan akan ‘salah’ yang didramatisasi, malah akan mencipta sisi gelap baru dan melengkapi ‘Rajutan Lingkaran Setan’ tak berujung.
Ada apa sih dengan ‘salah’?
Sebuah kesalahan sebenarnya bisa dilihat dari sisi yang positif dan bermanfaat, ketimbang dijadikan alasan untuk memperkuat sisi gelap dan karakter buruk. Sebuah kesalahan bisa menjadi sarana belajar yang lebih nampol, sehingga dapat memperbaiki diri. Dari sebuah kesalahan, seseorang bisa bertumbuh dan berkembang dengan lebih optimal karena belajar dari pengalaman yang otentik, tidak hanya sekadar menghafal pengalaman orang lain. Kesalahan dan kegagalan justru menjadi titik balik bagi langkah perbaikan dan inovasi sehingga dapat menciptakan sesuatu yang lebih baik.
Sebuah kesalahan akan menjadi modal yang baik dan bermanfaat apabila disikapi dengan bijaksana dan kedewasaan, disikapi dengan penyesalan yang membuka kesadaran dan menjadi motivasi bagi perbaikan.
Sebuah kesalahan yang disikapi dengan drama sisi gelap, tentu hanya akan merusak diri sendiri. Sikap yang tidak tepat, akan semakin merusak mental dan emosi dengan mendramatisir rasa tidak nyaman, berlindung dibalik kubangan rasa penyesalan tidak berujung, atau melarikan diri agar tidak perlu merasa malu dan citra diri tercoreng.
Pilihan sikap dengan akal yang sehat, akan membantumu melatih mental model yang tangguh dan mampu bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat. Mengelola pikiran dan sikap untuk menjadi dewasa, lalu segaralah melakukan langkah perbaikan yang diperlukan.
Bagi pejalan Spiritual Murni SHD wajib melakukan menu meditasi/hening pemurnian jiwa agar dampaknya lebih cespleng dan permanen. Tidak hanya bekerja di area kognitif saja sehingga banyakan on-off atau musiman, seperti panen mangga. Rasa takut wajib diredakan segera dengan ‘Tongkat Sihir’ meditasi/hening ‘Pemurnian Jiwa‘. Karena sekuat-kuatnya intelektualitasmu, kejernihan alam bawah sadar selalu berperan mendominasi pola pikir dan perilaku.
Sikap ksatria adalah berani mengaku kalau telah berbuat salah, dan berani menghadapi apa pun resiko terburuk akibat kesalahan itu. Sikap pasrah adalah menerima untuk menjalankan risiko ‘hukumannya’ dan mau berendah hati melakukan perbaikannya dengan kesungguhan dan ketulusan.
Tanpa kerendahan hati tidak mungkin menjadi pasrah. Tanpa kerendahan hati, tidak mungkin menjadi tulus.
Membangun karakter ksatria, ketangguhan dengan basis ketulusan dan kerendahan hati, membutuhkan kesadaran yang jernih bersih dari sisi gelap. Dan hanya dengan meditasi/hening pemurnian jiwa yang mampu menjernihkan lapisan kesadaran dari koleksi sisi gelap.
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
28 Mei 2025
Reaksi Anda: