Refleksi

Atasi Sombong dan Keras Kepala

7 December 2025 Gede Vernanda Satria Dita No Comments

Pada bagian ketika Guru SHD membahas cara agar pikiran tidak penuh sampah, saya merasa salah satu metode yang paling masuk akal dan bisa saya konfirmasi lewat pengalaman adalah selalu mempertanyakan apa yang saya anggap kebenaran. Namun, setelah direnungkan lagi, ternyata yang sering saya lakukan selama ini justru mempertanyakan apa yang orang lain anggap benar. Sementara mempertanyakan keyakinan saya sendiri? Hmm… ternyata nggak banyak pengalaman di bagian ini. 

Di bagian Guru SHD menjelaskan mekanisme hening bahwa semakin kita mampu hening, semakin kita terhubung dengan Rasa Sejati, dari situlah kebenaran ditransfer ke otak dan menghasilkan persepsi yang jernih. Hal ini saya baru sebatas ngerti dan bisa menerima logika mekanismenya, kalau mengalaminya sendiri ora ceto. Ada penyegaran lagi ketika dibahas kejernihan emosi juga mempengaruhi kejernihan persepsi. Ini sangat relate, kalau saya udah kesel duluan atau defensif duluan (yang mana akibat luka batin yang belum beres) pasti udah bias duluan kalau memahami apa yang dibicarakan lawan bicara. Pertanyaan yang normal – saya anggap menyinggung, masukan yang normal – saya anggap merendahkan, komentar yang bercanda – saya anggap berisik, yang gitu-gitulah. 

Kalau ditanya, setelah belajar hening makin cerdas, nggak? Saya jawab, “Ya”.

Dimulai dari lebih mudah mengerti arahan, memahami alur berorganisasi, memahami lebih objektif/jernih/tanpa keikutcampuran emosi suatu masalah di tempat kerja sehingga bisa memberi masukan perbaikan yang tepat sasaran juga terasa banget, informal lalu memakai fungsi imajinasi sesuai kebutuhan untuk melatih hal-hal motorik kayak tampil main gitar dan pelatihan-pelatihan skill di Rumah Sakit itu ngebantu banget, pengalaman berendah hati mendengarkan sharing/diskusi kelas mentoring itu juga termasuk pengalaman melatih kecerdasan buat saya. Tapi ya gitu, terlalu high gain high risk – begitu heningnya diabaikan, semua manfaat di atas rontok juga. 

Pada bagian wedaran yang menyebut bahwa sombong dan keras kepala itu menghambat keberhasilan belajar spiritual saya merasanya cuma ada isu di kekeraskepalaan karena masih ada alasan soal nggak konsisten dan jujur menjurnal. Tapi ketika Mbak Ay menjelaskan cara membereskan sombong itu salah satunya dengan patuh pada aturan belajar – saya lebih ngeh lagi, wah saya juga ada masalah kesombongan ini dengan bentuk perilaku nggak patuh sama aturan. 

Lalu saat Guru SHD menjawab pertanyaan soal Osho, saya mode waspada, karena dulu sebelum belajar di Persaudaraan Matahari ngefans sama dia. Ternyata nggak ada gejolak di saya dan bisa menerima penjelasan soal nasib jiwanya setelah meninggal. Walaupun saya nggak bisa mengalami secara otentik untuk menyaksikan jiwanya setelah meninggal, tapi saya ada jembatan untuk memahami bahwa jiwanya ngenes setelah meninggal walaupun pandangan-pandangan dia sebelumnya keren. Jembatan memahami ini adalah ingatan antara 2021–2022 saat saya nonton film dokumenter tentang Osho dan komunitasnya di Netflix. Mengingat film itu dengan sudut pandang logika Hukum Semesta soal penentu nasib jiwa setelah meninggal, ya memang cocok sih kalau pada akhirnya jiwanya ngenes. Mulai dari internal komunitasnya ada perpecahan, murid-muridnya terlibat kasus kriminal sampai kasus diracunnya memang kontras dengan pandangan-pandangannya yang revolusioner. Kata kunci yang disampaikan Guru SHD bahwa dia ada celah sehingga akhirnya jiwanya ngenes – jadi sangat bisa diterima.

 

Gede Vernanda Satria Dita
Pembelajar Sekolah Kehidupan
4 Desember 2025

 

Share:

Reaksi Anda:

Loading spinner