
Belajar Ketulusan
Dari awal saya tinggal di gubuk, Mas Guru berpesan, “Kamu harus belajar tulus dan penuh kasih”.
Satu kalimat yang praktiknya luar biasa berat. Malah saya bertanya-tanya, apa saya bisa kuat ya di sini? Mana mungkin bisa bahagia hidup sama orang yang tidak saya idealkan? Hidup di tempat yang banyak tidak idealnya menurut egoku. Kurang lebih begitulah curahan hati saya pada saat itu. Makanya lari, cari pengalihan biar betah. Saya terbiasa hidup dengan penuh keegostikan, saya yang ngamukan, suka mengeluh – terasa sangat berat hidup di sini.
Satu tahun lalu, kesadaran saya ambrol parah dan berjatah kembali untuk belajar hidup di gubuk. Pesan yang sama disampaikan oleh Mas Guru, “Belajar TULUS dan KASIH. Jangan sia-siakan kesempatan ini.”
Mbah Kung pernah bertanya pada saya, “Pril, seandainya Setyo bukan anak Kung, April mau gimana?”
Pertanyaan yang pada saat itu menyadarkanku akan ketidaktulusan. Wah, selama ini saya berlaku ke Mbah Kung dengan embel-embel ‘karena Mas Setyo’, bukan dari hati saya. Faktanya saya bersikap berbeda kepada orang tua lainnya. Di situ juga, saya jadi sadar, oh ini salah satu yang membuat saya tidak tulus pada Mbak Ay, saya bersikap manis kepada Mbak Ay ‘karena Mas Setyo’, karena dia bos saya di Gemah Ripah Natures Corner (GRN), karena dia Direktur Persaudaraan Matahari (PM), bukan dari hati saya. Duh. Begitu pun kesadaran saya tentang ketidaktulusan kepada teman-teman terbuka. Ya ampun, selama ini saya berbuat manis kepada teman-teman juga bukan dari hati saya.
Saya juga banyak belajar akan kesadaran ketulusan lewat beberapa murid Mas Setyo yang sudah keluar karena posisinya berada tidak jauh dari gubuk. “Mas, kenapa kok mereka keluar? Mereka kok nggak bareng-bareng lagi dengan Mas? Apa yang menyebabkan mereka lepas?”
Ya, balik lagi soal ketidaktulusan, di situ saya ditarik lagi untuk banyak berefleksi diri tentang ketulusan ini.
Masalah ketulusan ini benar-benar jadi poin yang sangat terus-terusan dimunculkan selama aku hidup di gubuk karena bwanyak sekali hal-hal yang sangat tidak ideal menurut ego saya di sini, dan aku jadikan sebagai pembenaran atas kebiasaan saya mengeluh.
Belajar Keluar dari Zona Nyaman
Tidak pernah ada dalam benak saya, kalau saya akan tinggal di sebuah gubuk. Bagai disamber petir, tiba-tiba saya berjatah untuk belajar kehidupan di sebuah gubuk di Desa Pongangan, Magelang Utara.
“Saya harus hidup di gubuk inikah? Lingkungannya kotor, banyak sampah, terus nanti tidur di mana? Terus gimana kalau ada orang masuk? Terus gimana kalau ada hewan-hewan?”
Di sini saya belajar keluar dari zona nyaman. Biasanya saya tidur enak di rumah, di kasur bedcover, tiba-tiba semuanya berubah. Tapi, kondisi gubuk sekarang jauh lebih baik karena ada satu kamar tertutup – tempat saya bisa tidur lebih nyaman, disediakan oleh Kung. Makasih, Kakek.
Belajar Meluruhkan Ego
Jujur saya banyak berontak sih – banyak mengeluh dan komplain ketika harus hidup di sini. Salah satu ego saya adalah saya ingin hidup bahagia dengan pilihan saya, disayang-sayang, kebutuhan hidup terpenuhi, pokoknya yang indah-indah saja. Kenyataan berkata lain, saya harus hidup di sebuah gubuk bersama kakek-kakek.
Ada yang bilang, “Kan enak hidup sama Bapaknya Mas Guru.”
Hemmmmm. Pelan-pelan poin ini saya proses dengan terus hening, memurnikan jiwa sampai pada titik aku hidup sama Mbah Kung ya biasa aja.
Isi otak saya, yang ada duit, duit, dan duit. Di sini, gubuk ini, benar-benar banyak dibereskan hal itu. Keuangan saya juga banyak di-reset ke titik 0. Sebenarnya kalau mau ke dukun sih gampang, tinggal jalan ke depan, tapi sama sekali saya tidak berniat untuk mau ke dukun lagi. Jadi, saya memilih untuk melampaui hal ini.
Sampai pada satu titik saya pernah bilang sama Mas Setyo, “Dulu persepsi saya tentang kaya sama dengan banyak uang, rumah mewah, mobil mewah, tapi ada momen dimana saya merasakan rasanya berlimpah padahal rekening saya 0.”
“Saya merasakan kaya, kaya akan pengalaman, kaya akan pembelajaran hidup. Pada saat itu persepsi saya tentang kaya itu nggak melulu tentang uang.”
Sementara itu, saya juga melihat lingkungan sekitar yang dikit-dikit uang, duh lieur. Tapi, balik lagi itu bagian refleksi untuk diri saya.

Belajar Berendah Hati
Saya sempat keluar dari gubuk satu tahun pertama karena tidak ada kerendahan hati sama sekali. Saya merasa lebih baik dari Mbah Kung. Makanya berantem terus-terusan, heboh terus-terusan.
Setelah kembali lagi ke gubuk, situasi mulai sedikit berbeda ketika mulai ada kesadaran untuk mau ‘ngaca’ – mau berendah hati ngaca dari Mbah Kung, dari gubuk, dari lingkungan sekitar.
Seringkali saya bilang ke Guru, “Kenapa Mbah Kung mirip saya, ya?”
Ternyata, makin ke sini, saya makin menemukan sisi gelap yang mirip. Mbah Kung sama dengan wahana berkaca diri saya di gubuk.
Lalu saya mulai mau berkaca diri, melihat dari gubuk yang penuh sampah, lingkungan yang penuh sampah, lewat warga sekitar. Setelah pelan-pelan mau berendah hati, saya baru sadar. Ya ampun, ternyata banyak banget pembelajaran di gubuk ini. Selama ini saya banyak melewatkan begitu saja karena kesombongan, ketidakmauan saya untuk mau membuka mata dan belajar.
Saya juga belajar berendah hati kepada orang-orang yang nggak belajar hening, nggak belajar sama Guru SHD. Di sini saya banyak diuji, karena masih suka ngerasa gemes, nggak terima, berontak kenapa mereka begini/begitu. Ya namanya juga nggak belajar hening. Toh, saya yang sudah belajar juga masih suka ada momen seperti orang nggak belajar hening.
Belajar dari Hidupnya Mbah Kung
Saya banyak belajar dari Mbah Kung tentang banyak hal. Salah satu pembelajaran yang saya jadikan tagline dari produk Mbah Kung, yaitu “Tidak Ada Batasan Usia untuk Berkarya”.
Karena Mbah Kung itu memang nggak bisa diam, banyak gerak, semangat berkaryanya tinggi, bangun pagi sudah ngasih makan ikan, langsung ke kebun, ada aja yang dikerjain. Salah satunya adalah bikin Sari Jahe. Walaupun usianya sudah sepuh, semangat berkaryanya sangat diacungi jempol. Untuk masalah semangat ini, saya benar-benar banyak tertampar karena lebih rajin Mbah Kung dibanding aku, suka diomelin juga karena banyak nggak rajinnya, banyak nundanya.
Beberapa bulan terakhir ini Mbah Kung seperti mengajarkan banyak hal ke saya sih, diajarin cara buka/tutup kolam, diajarin cara mengambil pakan ikan dari daun-daun, diajarin ngocorin air buat kolam.
Belajar dari Sakitnya Mbah Kung
Proses sakit Mbah Kung memang sudah dari bulan Februari semenjak ibu meninggal. Tapi masih bisa sembuh, masih bisa ke sana kemari. Puncak sakitnya dua minggu terakhir, ketika Mbah Kung kurang tepat dalam memilih obat. Sudah dikasih tahu, tapi ngeyel – jadi free will ‘kan?
Tapi, dari sini saya jadi belajar, “Sebuah pilihan tanpa didasari keheningan itu hanya akan mendapatkan penderitaan”.
Saya juga belajar dari Mbah Kung bagaimana bisa tidur nyenyak itu adalah sebuah anugerah yang luar biasa, karena kalau sudah tidak bisa tidur itu bener-bener stres sampai ada di titik kakek bilang, “Jangan sampai Kung bunuh diri, Pril!”
Aku bilang Mas Setyo dan responsnya adalah mirip April ya kalau sudah depresi – larinya pengen bunuh diri. Memang teman berkaca banget deh Mbah Kung, tuh. Sampai kita semua sekeluarga bekerja keras agar Mbah Kung bisa rileks dan tidur. Segala hal yang bikin Mbah Kung mikir keras dibantu diselesaikan, hal-hal yg bikin Mbah Kung rileks dilakukan.
Semakin ambisi untuk bisa tidur semakin nggak bisa tidur. Wah, pelajaran ambisi ini luar biasa. Saya belajar banget.
Dari sakit Mbah Kung, saya juga belajar bahwa ketika Mbah Kung memilih obat-obatan kimia yang jelas sudah nggak bisa membuat Mbah Kung bisa sembuh malah memperburuk keadaan. Minum jamu tanpa dibarengi keheningan/pemurnian jiwa, pada case Mbah Kung banyak kesambetnya.
“Jadi apa pun itu sertailah dengan keheningan/pemurnian itu. Pelajaran penting yang saya dapatkan.”
Berulang kali saya menyaksikan keajaiban demi keajaiban. Tiba-tiba Mbah Kung bisa hilang sesak dan lambungnya tanpa minum obat-obatan. Bagaimana energi Mas Guru dan Mbak Ay yang terus-terusan mengalir tanpa henti, tidak hanya buat Mbah Kung, tapi buat saya juga yang menjaga. Sekali lagi, bersyukur sekali Mbah Kung punya anak yang tercerahkan, ini anugerah yang besar banget.
Saya juga belajar sebesar apa pun energi Mas Guru, kalau mengeluh terus, ngeyel terus, bikin dosa terus, susah menangkap energi kasihnya, adanya mental terus. Bersyukurlah Mbah Kung punya Mas Guru yang terus-terusan tanpa henti mencurahkan SEGALANYA untuk Mbah Kung, tiada henti, DI LUAR KEMAMPUAN MANUSIA BIASA.

Belajar Bersyukur
Di gubuk ini awal-awal saya susah banget buat bersyukur, kondisi yang jauh dari ideal membuat saya terus-terusan mengeluh. Akhir-akhir ini saya mulai bisa banyak bersyukur hidup di gubuk. Ternyata, dalam kondisi tidak ideal pun banyak sekali yang bisa disyukuri. Di sini saya masih bisa tidur enak, masih bisa mandi air bersih pakai air langsung dari sumber, masih bisa makan enak, dikasih anugerah keluarga Mbah Kung yang mau nerima saya seperti layaknya saudara sendiri, dikasih anugerah belajar di sini yang tidak semua orang bisa merasakannya. Sekalinya ada yang tinggal di sini, tapi nggak betah lama-lama. Banyak sekali hal yang bisa disyukuri di sini, yang utama adalah bisa merasakan kasih Gusti mengalir di sini lewat keberadaan ikan-ikan, pohon-pohon, air bersih, bwanyak! Duh, makasih Gusti.
Melihat Kasih Murni dan Ketulusan Seorang Anak
Belajar di gubuk tentu saja saya tidak lepas melihat/menyaksikan bagaimana Mas Setyo Hajar Dewantoro bersikap kepada Mbah Kung. Saya sampai geleng-geleng – di luar nurul (baca: nalar), sih ini.
Melihat bagaimana Mas Setyo terus mencurahkan segalanya, nggak cuman materi, tapi semuanya buat Mbah Kung, nggak peduli Mbah Kung berbuat apa ke Mas Setyo.
Dulu saya pernah punya persepsi kalau yang namanya durhaka itu hanya dari anak ke orang tua. Tapi, saya melihat ada case lain, yakni orang tua yang pernah durhaka pada anaknya.
Pentingnya Hening dan Pemurnian Jiwa Sampai Akhir Hayat
Bersyukur sekali belakangan ini saya diperlihatkan praktik nyata tentang ucapan yang selalu Mas Guru dan Mbak Ay selalu sampaikan, “Hening dan pemurnian jiwa itu sampai akhir hayat – never ending journey.”
Bagaimana saya diperlihatkan proses orang yang menuju kematian tanpa hening, tanpa pemurnian jiwa itu luar biasa berat.
“Banyak bekerja, tapi sebagai dalih dari ketidaknyamanan, pelarian diri dari ketidaknyamanan, tidak disertai hening dan pemurnian jiwa, hanya tinggal menunggu bom waktu saja.”
Lagi-lagi bersyukur sekali Mbah Kung memiliki anak yang jiwanya murni, anak yang tercerahkan sehingga Mbah Kung bisa meninggal dalam kondisi damai. Tanpa keberadaan Mas Guru tidak mungkin terjadi, saya bisa pastikan itu!
Yang lucu adalah dua hari sebelum meninggal, Mbah Kung request menggunakan kaus Brand SHD Style – Hening dan Beraksi. Katanya, “Ini aja, adem.”
Saya baru sadar kalau itu adalah sebuah simbol, simbol mati dengan adem dengan damai.
“Kek… Bersyukur kek punya Mas Setyo”.
Dan, dalam kondisi kritis di gubuk Mbah Kung bilang, “Pril, Kung pengen lihat nafas di YouTube.”
Saya langsung inget materi Guru SHD tentang nafas di YouTube, lalu saya putarkan. Bersyukur ya dikasih nafas sama Gusti. Di situ Mbah Kung mulai lebih tenang dan pergi ke Rumah Sakit dan di Rumah Sakit Mbah Kung meninggal.
Yang banyak dicari selama hidup dan menjelang kematiannya adalah, “Mas mana? Mas tidur di mana? Mau ketemu Mas.” Anak yang berjiwa murni bisa menyelamatkan orang tuanya itu – duh bagian ini terharu banget, sih. Makasih, Mas Guru 🙏🙏🙏
Aprianti Rachma Saumi
Pembelajar Sekolah Kehidupan
Reaksi Anda:













