Skip to main content
Refleksi

BRAIN SPA, MIND SPA

1 September 2025 Persaudaraan Matahari No Comments
Brain Spa 1 - Persaudaraan Matahari Sekolah Kehidupan

Judul artikel ‘Brain Spa, Mind Spa’ yang menggemaskan ini terpantik dari obrolan dengan salah satu teman setelah merasakan manfaat meditasi/hening penjernihan diri bagi otaknya yang sering dipakai dengan berlebihan, sehingga sering menimbulkan ngebul, burnout, mental overload, dan stress. Beliau menceritakan pengalaman dengan gambaran seperti melakukan brain spa, sehingga kepala terasa segar kembali sehingga siap untuk bekerja dengan lebih jernih dan fit.

Walaupun istilah ini dipakai sebagai langkah medis untuk membersihkan sumbatan pada jaringan pembuluh otak, tetapi ‘spa’ yang dimaksud adalah kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan pengalaman relaksasi bagi tubuh dan pikiran, sehingga menjadi fit, segar dan bugar kembali. Menurut google engineer, SPA adalah singkatan dari Bahasa Latin, yakni Sanitas per Aquam atau Solus per Aqua, yang berarti “kesehatan melalui air”. Istilah ini merujuk pada kegiatan terapi yang memanfaatkan air dan teknik perawatan lainnya untuk relaksasi, meremajakan tubuh, serta meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Saat ini SPA dipakai untuk semua jenis media terapi yang bertujuan untuk memberikan perawatan dan meningkatkan kesehatan melalui pengalaman relaksasi.

Manfaat meditasi/hening secara umum memang untuk mendapatkan sensasi relaksasi pada tataran tubuh fisik. Selama meditasi/hening berjalan, pancaindra bisa saja diberi bermacam-macam stimulus agar terjadi sensasi relaksasi pada tubuh fisik. Semakin rileks tubuh fisik, semakin memberikan sensasi nyaman, maka tujuan bermeditasi/hening dianggap sudah tercapai. Apabila terjadi ketegangan pada tubuh fisik – seperti otak ngebul, spektrum emosi destruktif yang meronta, pikiran negatif merajalela – kemudian berangsur menjadi reda, lebih rileks, adem dan ayem, maka dikatakan seperti melakukan brain spa dan mind spa.

Meditasi/ hening, dianggap sebagai upaya merawat dan meremajakan otak dan pikiran, karena tercipta pengalaman relaksasi dengan lepasnya beban ketegangan pada tubuh, pikiran dan emosi, sehingga terasa segar dan bugar kembali.

Dengan bermeditasi/hening penjernihan diri, saya seperti melangkah kepada aksi perawatan dan peremajaan yang lebih dalam lagi. Kegiatan pemeliharaan dan perawatan spa ini tidak hanya pada tataran mind (pikiran), tetapi ke ‘lapisan kesadaran (mind)’ yang lebih dalam, seperti lapisan bawah sadar (subconscious mind) dan lapisan tidak sadar (unconscious mind). Mencapai ‘relaksasi merupakan pintu gerbang’ untuk melangkah kepada aksi pemeliharaan pada lapisan kesadaran yang lebih dalam, berupa pembersihan atau penjernihan lapisan kesadaran, agar terjadi peningkatan kesehatan bagi mental dan fisik yang holistik dan awet dalam jangka waktu panjang.

Mengupayakan kejernihan lapisan kesadaran rasanya memang seperti melakukan brain spa dan mind spa sesering mungkin sepanjang hari. Melakukan perawatan dan pemeliharaan kejernihan serta ‘kesehatan dengan cara paling hemat’. Dinamika mental maupun emosi yang naik turun, bisa segera diredakan dengan melakukan meditasi/hening penjernihan diri, sebagai bentuk ‘self care dan ‘self compassion, maupun ‘self healing’  dan ‘detoksifikasi’, melepas ‘mental block dan menjadi ‘cycle breaker bagi ‘siklus ruminasi’ tak berujung. Dengan menjadi ‘sadar penuh’ menikmati ‘present moment, rasanya seperti mengisi kembali (recharge) energi yang terbuang sia-sia tanpa dampak yang positif, dan melindungi diri dari sumbatan pada ‘simpul energi atau cakra’ sehingga ‘kesehatan mental’, jiwa dan raga tetap terjaga.

Dengan meditasi/hening pemurnian diri, saya diajarkan untuk menjadi sadar penuh dan tidak berhenti pada relaksasi atau tidak hanyut dalam relaksasi – ‘relaksasi hanyalah pintu gerbang menuju keheningan’.

Biasanya, setelah terjadi ketegangan akibat gerak pikiran yang berlebihan, begitu terasa rileks sedikit saja pasti serasa seperti menemukan kenikmatan (pleasure) fisik yang menyamankan. Kenyamanan fisik yang membuat ketagihan, dan seringkali malah membuat diri menjadi lupa untuk sadar penuh pada nafas naturalnya. Hanyut dalam sensasi kenyamanan malah membuat malas untuk meditasi/hening, bahkan bisa berkembang menjadi obsesi atau ketagihan dengan sensasi kenyamanan fisik tersebut. Sehingga bukannya melanjutkan brain spa yang menyembuhkan dan mendetoksifikasi dengan menyeluruh, tetapi malah mengejar sensasi kenyamanan fisik dan melekat dengan rasa yang dianggap nyaman saja. Siklus jebakan batman inilah yang menjauhkan dari upaya penjernihan diri secara holistik, dan memperkuat kemelekatan dengan sensasi kenyamanan fisik.

Mencegah selalu lebih baik ketimbang mengobati. Sebelum mengkristal menjadi penyakit fisik yang berat, saya lebih memilih langkah antisipatif merawat dan memelihara kejernihan, kebugaran, serta kesehatan mental, emosi, jiwa dan raga, dengan cara paling hemat dan tidak nyasar. Yakni, mereset stres dan burnout, menata fokus, dan melepas mental overload – tanpa intervensi alat dan obat apa pun, hanya dengan melatih kesadaran pada nafas natural sepanjang hari. Latihannya memang tidak semudah memakai intervensi alat, hasilnya pun tidak bisa instan seperti menggunakan alat bantu pemantik relaksasi. Tetapi, bagi saya cara ini paling natural, tanpa efek samping yang menimbulkan degradasi kesehatan di kemudian hari. Dan yang paling penting lagi, tanpa dampak destruktif bagi jiwa apabila saatnya pindah ke dimensi lain.

Sudah mencoba?

“Time is not a healer. Consciousness is” ~ Pure Consciousness

 

Ay Pieta
Pembimbing dan Direktur Persaudaraan Matahari
30 Agustus 2025

Testimoni
Diangga

Cara saya melepas stress, burnout, dan teman-temannya itu adalah dengan melakukan hal yang bikin saya rileks. Cara melakukan rileks itu pun bisa berbeda-beda, tergantung sikon yang mendukung pada waktu itu. Misalnya, baru-baru ini ketika jadwal kelas diklat lagi padat-padatnya, saat lunch time atau coffee break saya cari waktu menyendiri dulu, entah cari tempat ngopi atau ke tempat yang nggak banyak orang.  Ketika terasa sudah lebih santai, saya meditasi formal (medfor).

Cara lainnya melepas penat adalah dengan bergerak, biasanya dengan berolahraga atau pergi ke toko buku atau lihat-lihat groceries. Setelah terasa lebih rileks, baru medfor. Kalo di rumah, misalkan, ketika udah seharian depan laptop dan terasa jenuh, ambil momen untuk main bersama hewan-hewan di rumah, setelah itu medfor. Kalau fisik capek, saya biasanya pilih tidur atau nonton film lama yang saya suka. Ketika mood terasa mendingan, saya medfor.

Memang setelah sadar diri stress, burnout, dan kawan-kawannya itu, saya akui belum langsung medfor, masih pakai cara rileks dulu baru medfor. Sampai baru-baru ini, ketika terasa jenuh dan saya coba langsung medfor, kondisi medfor tidak meditatif sehingga saya masih melakukan formula lama untuk rileks, lalu medfor.

Terkait dengan artikel yang berhubungan dengan binaural beats, langsung cek YouTube. Oh, ini toh binaural beats, yang dulu saya kenal sebagai “Musik Kosmik”. Artikel tersebut menyebutkan bahwa binaural beats bisa melepas stressTo some extentyes memang bisa bikin rileks dan jadi lebih fokus. Tapi, di saya bukan menjadi opsi satu-satunya. Mendengarkan musik/lagu jadi opsi untuk rileks, tapi tergantung. Kadang saya dengarkan lofi music buat rileks, kadang jazz, kadang pop, bahkan kadang random rock music. Balik lagi, tergantung pada waktu itu mood saya lagi ingin dengarkan lagu/musik genre apa.

Pande

Bagi saya  cara melepas stress, burnout, mental overload maupun melatih fokus cukup sederhana dan tak perlu peralatan/tools canggih, yaitu antara lain:

  • Mendengarkan audio Setyo Hajar Dewantoro (SHD) – lagu-lagu berkesadaran tinggi – musik klasik – suara alam sekitar, saya sadari dapat menyejukkan batin,  menurunkan tegangan/tension dan stress; dapat menenangkan pikiran dan batin. Saya tak pernah minum obat-obat untuk menurunkan stress, palingan bila badan terasa greges – minum decolgen atau tolak angin dan istirahat tiduran.Pernah sih minum minuman beralkohol di saat bersenang-senang (tempo-tempo), namun tak menyengaja (hanya untuk partisipasi) dan tak sampai mabuk (saya bukan peminum, ini saya sadari tak mau mabuk, ntar ketahuan rahasianya, hehe). sekarang no-way dan lebih menyayangi tubuh.
  • Duduk kontemplasi di Merajan (tempat sembahyang di rumah) baik dengan bantuan audio maupun tanpa audio, niatkan berlatih memakai Rasa Sejati terhubung dengan Diri Sejati; niatkan Merajan sebagai  portal energi untuk terhubung dengan jiwa-jiwa Ilahi; —> Menenangkan.
  • Bersepeda di alam terbuka: pesawahan, pelosok (sebagai salah satu hobi). Ada kapoknya sih dan tak mau lagi selfie sembari mengendarai sepeda, bahaya jatuh. Safety first. —> berlatih fokus, rileks.
Ariyanti

Cara melepas stress, burnout, mental overload:

Melakukan hal-hal yang kusuka dan buat rileks dulu sebelum dilanjut meditasi formal (beberapa waktu lalu sempat langsung tabrak meditasi formal, alhasil makin spaneng). Kegiatan-kegiatan yang buat rileks itu, misal pijat, creambath, piknik (jalan-jalan ke supermarket), makan minum my comfort food/drink (rileks kalau minum teh anget), nyanyi-nyanyi (ini baru nemu akhir-akhir ini, chillaxing nge-bir or nge-wine, mendengarkan audio/musik LoC tinggi sambil merasakan nafas dan tidur sejenak. Oh iya, ada lagi – lihat yang lucu-lucu di medsos (tapi ini sering malah jadi bablas scroll).

Sambil nulis ini jadi baru ngeh, kalau pas jadi melakukan kegiatan-kegiatan yang buat rileks itu kok ya nggak benar-benar diniatin sambil Tapa ing Rame (TiR), ya. Kayaknya cuma kalau pas lagi pijat/creambath deh bener-bener niatin sambil TIR-nya. 

Akhir-akhir ini, melepas ketegangan/gejolak emosi dengan menuangkan raw emotion-nya ke dalam tulisan (jurnal) dilanjut meditasi formal sebentar. Ini rupanya cukup helpful untuk capture myself sambil katarsis. Hasil tulisannya jadi bahan untuk dibaca-baca lagi juga, ceki-ceki apakah masih ada emosi/ rasa yang sama, apakah ada perubahan dalam diri, sambil ngelihat diri sendiri di masa lalu dari PoV orang ketiga. 

Kalau cara melatih fokus:

– Malam sebelum mengakhiri ‘kerja’ pada hari tersebut, me-review kembali apa-apa saja yang sudah terlaksana dan belum terlaksana pada hari tersebut. Kalau masih ada space di otak, lanjut planning-planning untuk ke depannya.

– Pagi dimulai dengan planning-planning dan review-review lagi to-do nya apa aja. 

– Tulis to-do list dengan tangan pakai warna/i dan stiker-stiker digital yang lucu.

– Saat mengerjakan tugas dan sering-sering balik ke to do list ini untuk kembali ingetin diri fokus tugas pada hari tersebut.

Karena aku orangnya pelupa dan mudah ke-distract, punya agenda dan to-do-list ini helpful banget bagiku yang pelupa untuk lebih fokus.

Yang masih jadi PR adalah melakukan hal-hal ini dengan konsisten setiap hari. Ada kalanya los kendor, alhasil tugas-tugas juga ada yang molor-molor. Ambisi pas planning ini juga masih jadi PR, banyak yang mau dilakukan – tapi nggak mau ngukur kapasitas dan kemampuan. Selain itu, yang masih jadi tantangan juga adalah kadang muncul rasa malas, rasa mau menunda saat melihat task list.

Haryani

Cara melepas stres, burnout, dan mental overload pada diri saya lebih pada aktivitas fisik. Melakukan gerakan-gerakan, seperti membereskan alat-alat, berolahraga, menari, menulis, jalan kaki, pergi ke luar, nge-vortex, mandi, mainan sama anak bulu, kasih makan kura-kura, nyapu, dan seterusnya — yang penting gerak aja, tidak berkutat pada pikiran. Selain itu, aktivitas dengerin musik kesukaan juga lumayan merilekskan diri saya. 

Yang bikin saya takjub adalah menari / dance yang sejujurnya jadi bersyukur punya wahana rileks saya. Yang saya alami dan rasakan dengan aktivitas menari itu muncul hormon-hormon kebahagiaan – hormon endorfin. Yang saya rasakan memang semua perhatian, baik pikiran maupun tubuh, tertuju pada satu hal, tidak ada yang lain. Ini juga melatih fokus saya. Apalagi kalau gerakan itu baru, tentu saya akan fokus banget niruin (meski sebenarnya ya ada momen kebablasannya jadi spaneng), tapi syukurnya dominasi masih di rileksnya. Kadang juga aktivitas ini malah jadi wahana munculnya ego. Syukurnya self-awareness yang mulai terbangun pelan-pelan lebih bisa memprosesnya dengan hening/meditasi penjernihan diri. 

Hal lain yang saya suka adalah jalan kaki, pergi keluar, melihat pemandangan luar, bertemu dengan orang-orang dengan wajah dan perawakan yang berbeda membuat saya ngeh, oh ada ya manusia yang modelnya seperti ini. Macem menambah khazanah pengetahuan dalam diri. Belum lagi kalau ada aktivitas lain – misal melihat pekerja yang pada naik KRL, lanjut ojol dan seterusnya – memantik dan memunculkan rasa syukur saya. Syukur sudah dianugerahi tubuh yang sehat, syukur dengan kondisi yang terjadi saat ini pada diri saya. Banyak syukur-syukur ternyata memunculkan rasa rileks itu. Baru deh meditasi. Ngeh kalo ternyata masih banyak sekali hal-hal yang bisa disyukuri dan jadi tampolan kenapa spaneng/pikiran tegang/burnout macem menyakiti diri sendiri ya. Oh, noo..

Hal yang lumayan bikin rileks adalah nge-vortex atau bikin nutrisi untuk tanaman dengan metode Sigma Farming. Nge-vortex selama 40 menit kadang saya lakukan sambil nonton film pendek, kadang langsung setel audio, kadang juga nonton video yang lucu-lucu. Sambil rasain pergerakan air. Kadang memang terasa sekali kalau air itu sangat lembut dan ringan banget di kulit, kadang juga terasa berat buat saya ketika memutar. Dilakukan sambil rasain napas ternyata memang lebih terasa apa-apanya.

Menulis jurnal ini juga salah satu hal yang bikin rileks bagi saya. Ya, dulu pernah sih ada dalam tahapan spaneng karena menjadikan jurnal ini pencitraan diri sebab jurnalnya di-share ya ke orang lain. Kini menulis jadi hal yang merilis emosi ya, biar tidak terpendam di kepala dan hati. Jadi, bersyukur sih bisa kayak gini. Kalau nggak sempet nulis jurnal, jadinya saya merasa gelisah pada diri saya. Meski nggak di-share di hari itu juga,  tapi wahana menulis ini jadi hal yang baik buat saya dan tentu masih terus perlu melatih konsistensi diri. 

Menanggapi isu binaural beats ini ternyata kurang cocok buat saya pribadi. Nyoba dengerin pakai headphones sebentar ternyata pusing. Lebih rileks dengerin musik-musik pop, musik-musik ambience, dan seterusnya. Membaca penjelasan dari Mbak Ay tentang daya tahan setiap manusia terhadap elemen musik memang berbeda-beda, hwuh baik – setidaknya saya memahami diri saya sendiri. 

Oh iya, terkait intervensi hormonal dengan cara merokok ini pernah saya lakukan dulu dan kebablasan, ya. Dulu pernah ada di momen kalau merokok agar dapat rileksnya, lalu bisa lanjut meditasi. Eh, malah bablas. Sekali melakukan nggak nemu, maka saya lakukan lagi – eh lakukan terus, syukurlah stop. Sejujurnya muncul sakit sih di area dada, tapi demi merasa rileks – akhirnya saya lakukan. Ternyata itu merusak diri saya, ya… Bersyukur banget sih udah selesai dan sudah pernah merasakan pengalaman enak dan nggak enaknya. 

Dari pengalaman tersebut, spill penjelasan yang utuh dari Mbak Ay, ya. Yakni, kecenderungan manusia adalah begitu terasa rileks yang artinya menemukan kenikmatan (pleasure) fisik, lalu akhirnya malah keenakan dan obsesif ketagihan. Bukannya hening dan segera meditasi, malah mengejar sensasi fisik dengan memperbanyak dosis. Nah, ya betul – menemukan titik tengah ini ya yang harus lebih dititeni lagi agar nggak kebablasan… Terima kasih.

Nenden

Saya dulu termasuk yang rajin cari musik-musik penenang di Youtube, simply untuk meredakan stres ketika deadline dan menghadapi tumpukan pekerjaan yang rasanya gak uwis-uwis. Biasanya saya lakukan saat kerja di depan laptop atau menjelang tidur – sengaja cari musik yang relaxing untuk pengantar bobok.

Menemukan beberapa yang lumayan menenangkan, minimal meredakan kemrungsung. Itu sebelum kenal meditasi, dan mencari cara meredakan stres yang gratisan, karena kalau keseringan ikut workshop ina-inu dan healing program, ya boncos juga kan. Mahal, euy! Konseling ke psikolog atau terapis ina-inu juga pengalaman saya udah bayar mahal sejamnya dan harus janjian jauh-jauh hari, eh tetep aja nggak menolong apa pun. 

Lalu sempat beralih ke musik-musik instrumental kayak Kitaro, Yiruma, atau chanting-chanting kayak Deva Premal, yang lumayan bisa menjadi teman kerja kalau pas di depan laptop. Lagu-lagu jadul era 80-an, 90-an sengaja saya hindari, karena bukannya bikin rileks, yang ada malah bikin baper karena hanyut sama nostalgia yang dihadirkan terpicu lagu-lagu tersebut, yang memunculkan kembali peristiwa-peristiwa nostalgia yang menyenangkan maupun yang bikin ngilu. Waktu itu belum belajar meditasi di Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari sehingga belum tau bahwa itu sigel luka batin yang harus dibereskan dengan hening dengan SOP cara memprosesnya. Akhirnya, karena efeknya malah bikin nggak produktif, simply saya hindari.

Sekarang saat kerja di depan laptop, saya malah suka mendengarkan mendengarkan musik-musik ber-LoC tinggi yang direkomendasikan di playlist PM, atau wedaran-wedaran Mas Guru di YT karena ternyata si pikiran ini bisa multitasking dengan baik kalau diarahkan dengan baik juga. Saya tetap bisa kerja dan fokus, sementara telinga juga mampu menangkap wedaran dan yang sedang relevan dengan isunya, kadang bisa nyantol juga. Ini malah mampu “mengandangkan” pikiran saya yang hobi keluyuran dengan lincah dan super sat-set. 

Kalau udah terlalu ngebul, dan terasa mentok, saya ambil jeda ke dapur, bikin minum, cari cemilan atau nengok kebun sebentar, mengecek kondisi tanaman. Medfor dan kemudian balik ke depan laptop, atau kadang juga kalau lelah banget medfor kok malah bablas pules, aduh.

Maria

Cara melepas stres, burnout, mental overload:

Pas di kos biasanya mandi sambil dengerin musik, habis itu medfor. Yang dirasa kalau habis mandi bisa medfor dengan lebih segar.

Kalau di kantor sukanya dengerin musik, ngopi, keluar ruangan sebentar lihat taman dan ikan, suka juga nongkrong di WC sambil dengerin musik. 

Pas udah overload banget, kaya nggak ngerti harus ngapain, biasanya di kosan atau di rumah suka bersih-bersih. Bongkar lemari baju atau lemari ATK, dilipat dan susun lagi. Turunin semua barang di dapur kecil kosan, lapin satu-satu dan cuci ulang perabotan, suka juga cari kegiatan dengan bersihkan WC. Keluar keringat, tempat makin bersih dan rapi, rasanya ada kepuasan dan kebahagiaan sendiri, liat semua semakin tertata. Enak kalau bersih dan rapi.

Di rumah pun gitu, udah ruwet pikiran, beresin apa aja. Menurunkan semua barang terus tata ulang. Ibu, kakak, dan bapak udah paham dan tahu. Jadi, nggak pernah ngomel atau nanya “kenapa barang diturunin semua” – karena pasti akan saya rapikan dan bereskan kembali.

Suka juga masak, atau buat sesuatu yang bisa dimakan bareng-bareng. Pokoknya lakukan pekerjaan yang saya sukai apa pun itu. Dengan habis melakukan salah satu kegiatan itu, rasanya bisa fokus balik lagi ke momen sekarang dan tubuh lebih rileks.

Probo

Cara melepas burnout yang saya lakukan biasanya adalah dengerin musik sambil tiduran, terus ujungnya tertidur, kadang bersih-bersih di kebun juga cukup membantu, terutama saat keringat keluar banyak, kepala terasa ringan. Ada juga kesenangan aneh buat belajar rileks dan fokus, yaitu main slingshot alias ketapel (maklum untuk pengen hobi panahan agak mahal, maka ini jadi alternatif, hehe), kalau sudah main dengan target tembak tertentu sambil merokok lumayan membuat rileks. Bercanda dan ngobrol dengan anak perempuanku ternyata juga membuat suasana tentram tersendiri. Salah satu hal lain yang saya sukai, tetapi sudah lama tidak saya lakukan adalah menggambar dan mewarnai.

Jika sedang di kantor, maka sambil bekerja biasanya saya mendengarkan audio meditasi Persaudaraan Matahari, sekadar duduk mengamati sekitar juga sangat membantu, kebetulan di samping jendela kantor saya adalah gudang stok tanaman hias. Tapi, saat tantangan datang bertubi-tubi biasanya di kantor saya jadi over ngopi, bisa 2-3 cangkir sehari.

Seperti Ci Ariyanti saat ini saya juga punya To Do List yang ternyata memang sangat membantu kesepanengan yang tidak disadari karena pengaturan agenda di otak acak kadut, ngga sadar kalo daya ingatnya terbatas.

 Saat ini untuk mengurangi burnout salah satunya ya, coba untuk melipir/medfor, baik dengan audio maupun tanpa audio, dengan waktu khusus atau sambil lalu dilakukan bentar-bentar hanya untuk sekadar mengurangi laju pikiran.

Christin Winata

Cara saya menghadapi stres, burnout, mental overload sebelum belajar meditasi biasanya saya akan nangis. Dengan nangis kayaknya semua hilang, rasa capek, stres di kepala bisa hilang. Cuma habis itu mata bengkak-bengkak dan ternyata cuma sesaat aja nggak benar-benar merilis stres.

Sekarang kalau sudah stres, burnout, atau ngebul otaknya, saya mulai dengan stop dulu semua pekerjaan yang membuat burnout, menyetel lagu-lagu atau musik instrumental. Kalau bisa dan ada waktu buat melipir medfor ya akan medfor. Kalau nggak bisa medfor, minimal saya membuat diri rileks dulu dengan mendengarkan lagu atau musik instrumental, tapi terkadang lebih seringnya itu setelah rileks malah lupa untuk segera medfor, padahal sibuk mencari sensasi yang menyenangkan diri. Reminder untuk segera medfor – jangan menunda sampai burnout.

Chandra

Biasanya saya menghadapi stres lebih mendengarkan musik yang klasik dan musik Taiji atau nuansa alam, seperti suara air yang mengalir dan suara burung. Kalau dulu belum kenal meditasi suka lihat ke pantai atau pegunungan, lihat yang luas, kalau malam hari biasa melihat langit biru dan bintang- bintang. Saya biasanya naik di tingkat atas gedung rumah ya, suka kena angin sambil lihat ke atas – memandang bulan. 

Kalau sudah kenal ajaran luhur Mas Guru saya pernah alami kehilangan uang, saya stres. Seminggu bolak-balik meditasi akhirnya semangat kembali, seperti di neraka waktu itu jatuh kesadaran. Ya, bersyukurlah bisa keluar dari masalah ini perlahan-lahan.

Eko Nugroho

Kalau dulu sebelum belajar di Persaudaraan Matahari, bila saya stres, burnout atau mental overload saya alihkan ke hobi, yaitu olah raga naik sepeda atau brewing dan menikmati kopi. Jadi, seperti mengalihkan perhatian ke hal-hal lain agar melupakan beban yang ada. Atau bila berhubungan dengan konflik dengan pasangan, terkadang tugas ke Papua membantu meredakan konflik. Keduanya sama-sama melarikan diri dari masalah yang ada atau bersifat “relief”  sementara. Setelahnya, ya akan balik lagi.

Saya kalau spaneng berat malah nggak bisa menikmati lagu. Kalau spaneng tidak terlalu berat, masih bisa menikmati lagu-lagu ringan.

Sekarang, bila mengalami hal yang sama, tahu solusinya hanya medfor. Bila spaneng berat, nggak bisa langsung medfor. Bila dipaksa, pikiran liar akan jalan kemana-mana sepanjang medfor (tidak bisa fokus). Jadi, harus melakukan aktivitas ringan, seperti mandi dulu, scrolling berita geopolitik di medsos atau bikin teh/kopi dan dinikmati. Baru setelah spanengnya reda, bisa medfor dengan lebih baik.

Agnes Puteri Wijayanti

Cara saya melepas stres, burnout, mental overload  yang saya lakukan saat ini adalah dengan bergerak cari pemandangan lain dulu lah. Entah cari-cari cemilan dulu, bikin minum dulu, ngajak ngobrol teman sekitar, atau cus pergi mandi. Nah, saya menemukan mandi menjadi aktivitas yang menyenangkan. Apalagi sambil dengerin lagu-lagu atau audio meditasi, lalu sambil gosok-gosok, membersihkan kamar mandi. Terasa saya menggosok sigel-sigel saya sendiri. Wahahahaha. Dari aktivitas itu jadi menemukan kesadaran baru bahwa ya kotoran-kotoran itu harus dibersihkan setiap hari agar tidak berkerak. Sama halnya dengan diri kita, meditasi woy meditasi biar sigelnya tidak berkerak.

Selain itu, mendengarkan lagu sambil menyanyi menjadi cara saya untuk melepas burnout. Namun, tidak semua lagu/musik/audio bisa saya dengarkan sekarang. Jika terasa malah bikin pusing langsung saya stop,  ganti yang lain. Nah, kalau udah terasa rileks, cus medfor. Meditasi menjadi ujung tombak saat ini agar tidak burnout dan mental overload. Iya, sebelumnya melakukan kegiatan lain, tapi setelahnya cus buat meditasi. 

Untuk melatih fokus saat ini yang saya lakukan adalah dengan mencoba mencatat yang bisa saya tangkap saat itu. Meski belum bisa rapi banget nyatetnya, acakadut, tapi lumayan banget bisa membantu. Selain belajar mencatat ngomong sendiri juga membantu melatih fokus saya, hihi. Dengan ngomong sendiri saat kerja itu saya merasa lebih ingat dengan apa yang saya kerjakan di saat ada distraksi di sekitar. Sampai-sampai sekitar saya sudah paham ketika saya sudah mulai ngomong sendiri. Hihi.

Poncoseno Wiguno

Biasanya dengan mendengarkan lagu-lagu yang saya suka, bisa di rumah atau pas lagi nyetir. Atau baca berita sepakbola/bulutangkis. Atau scroll-scroll FB/ IG, nonton Youtube.

Membaca buku-buku Mas SHD juga bisa bikin rileks dan melatih fokus. Atau ngobrol-ngobrol ringan dengan teman atau tetangga. Cuma masalahnya masih on-off TIR nya, masih sering lupa daripada ingatnya.

Tya Sumarsono

Dulu sebelum kenal hening, pernah burnout sampe nangis, soal kerjaan, kalau sudah kaya gini dulu yang dilakukan curhat ke teman. Habis itu lega.

Kalau sudah ngebul atau teman-temannya itu, ajak teman ketemuan, terus happy hour.

Kalo galau, dulu paling sering melipir ke Bali, sampai bikin di blog cerita khusus Bali is my happy place. 

Pas lagi hectic sekolah S2, ya selalu nyetok wine, berhubung di sana lebih murah juga, nggak ada pajak barang haram, kalau pas lagi ada stok mary jane ya ngerokok itu dikit, trus bobok saking rileksnya, karena dulu tinggal sendiri, dan takut hantu jadi suka susah tidur, plus hal-hal lain yang bikin kepikiran yang bikin susah tidur.

Dengerin lagu, paling yang relate-relate gitu sih lyrics-nya dibanding cari-cari frekuensi tune-nya lagu itu.

Semenjak kenal hening, dan sejak dimomong Mbak Ay dulu, yang diinget, cari rileksnya. Jadi, kalau mau medfor kadang bikin teh herbal dari GRN dulu, anget gitu kayaknya langsung soothing.

Tergantung sikon juga, kadang bisa pilih beberes dulu, beberes yang kecil-kecil aja, yang penting monkey mind-nya – dikasih pekerjaan yang monoton dulu yang nggak pakai mikir. 

Kadang kalau mau medfor aja udah spaneng banget, dengerin wedaran Mas Guru yang lama-lama, ada soothing banget (favoritnya series kesempurnaan jiwa dan pencerahan paripurna).

Kalau sudah nggak mempan juga, monkey mind-nya baca buku Mas Guru.

Kalau masih tahap yang spaneng-spaneng nggak gitu, lihat meme yang lucu-lucu, atau main game bentar, terus lanjut medfor.

Fransisca

Cara saya melepas stres, burnout, kalau dulu nyalon, nongkrong, jalan-jalan. Di kos juga sedia bir. Pelarian aja sih, balik kerja – ya stres lagi. Sekarang yang saya lakukan, main sama anabul dulu. Uwel-uwel atau tiduran sama mereka, bikin saya lebih rileks – baru bisa medfor. Kalau udah ngebul langsung medfor, malah spaneng. 

Ketika sudah kelamaan duduk depan laptop, gerak-gerakin badan, jalan ke dapur, nyomot makanan atau buka kulkas, tanpa ada yang diambil. Senang aja, lihat isinya terus tutup lagi. Kalau di rumah udah bosan, jalan ke supermarket atau ke warung depan kompleks. Saya senang ngelihat aneka kerupuk, snack, kopi, dan lain-lain digantungin, apalagi kalau penataannya rapi, sekaligus beli cemilan warung yang kadang nggak saya temui di supermarket. 

Yang bisa bikin rileks juga adalah ke pasar. Lihat aneka sayur, buah, jajan pasar, aneka bumbu, berinteraksi sama pedagang. 

Oh ya, ke toko buku atau pernak-pernik, ngelihat buku dan stationery lucu-lucu bikin saya rileks juga. Betah gitu liat perpaduan warna, bentuk yang unik. Karena saya orang visual kali ya. 

Ngegambar karena memang suka ketika ngelakuinnya. Cuma kadang suka spontan tahan napas ketika bikin garis atau nebelin sketsa.

Ficky

Saya cukup heran karena ternyata perlu waktu lama untuk menjawab pertanyaan yang tampak menyenangkan ini. Setelah belajar meditasi Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari, vocab ini – stres, burnout, dan mental overload – tak lagi menjadi kamus keseharian. Mungkin lebih tepatnya bergeser jadi kata spaneng, ngebul, dan korslet. Hahaha, sebetulnya sami mawon, ya. Kalau ini sih sering, alias makanan sehari-hari. 

Di otak, ada bedanya. Apalagi dengan habit baru medfor. Kebiasaan menjadwalkan medfor rutin, sebelum ngebul, dikit-dikit melatih TIR, meski masih di kisaran geng 4%, udah lumayan kerasa bedanya dibanding dulu. 

Sekarang, saya belajar mengelola jadwal rutin dengan seimbang supaya nggak sampai stres, burnout, dan overload. Misalnya, bangun pagi, rutin taichi, berkebun, merumput, ngompos, memasak, pijat diri sendiri, balur-balur minyak ke badan, putar musik, jalan kaki, bersepeda, ngobrol, nulis, dan lain-lain. 

Lucunya, kadang satu aktivitas yang bisa merilis spaneng ini berat dilakukan di awal, seperti taichi dan yoga. Kayak males banget memulai. Tapi begitu dilakukan, after-nya jadi enak banget. 

Penyakitnya juga, ketika gagal mengelola pikiran. Lagi berkebun, mikirin laptop. Lagi depan laptop, mikirin masak. Lagi jalan, kemrungsung, inget kerjaan lain. Duh. Penyakit lain, hobi ruwet. Overthinking dengan aktivitas yang sedang dilakukan. Nggak asyik banget. Padahal, kalau lagi bisa “menikmati momen”, bisa dapet asyiknya. Apa pun yang sedang dilakukan.  

Dulu, pernah nyobain audio frekuensi, karena penasaran aja. Misalnya, 369, 432, 528, 852, yang gitu-gitu, gara-gara suka ngikutin new age. Binaural malah baru dengar, ada audio yang nggak bisa dinikmati sama sekali, pure suara frekuensi saja. Tapi buat saya sendiri, nggak ada efeknya, cuma lumayanlah, masih bisa dinikmati karena seperti suara musik instrumental. 

Dulu, melepas stres dengan baca buku, majalah, nonton film, yoga, trekking ke alam, yang mana sekarang sudah jarang saya lakukan. Dulu, nggak sadar kebiasaan spaneng itu sudah menjadi mode default, sampai nggak sadar kalau stres itu sudah sangat terekam di sel-sel tubuh. Sesekali meledak, dalam bentuk panic attack dan badan tumbang.

Niniek Pebriany

Sebelum di Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari, cara melepas stresnya dengan cara memperbanyak me time, karena bagiku interaksi dengan orang lain itu stressful (tentu saja karena sigel sendiri yang harus pencitraan, belum lagi kerja pikiran seperti analisa dan prasangka). Kalau ada yang cara melepas stresnya dengan ngobrol ke orang lain, kalau saya ngobrol sama dengan tertekan, haha, sehingga, dulu ketika stres, saya akan ke toilet dan berdiam diri sambil dengerin lagu, berdiam diri di rumah (bersama kucing) selama weekend, pergi makan enak sendirian, ke bioskop sendirian (sambil beli kursi sebelahku biar kosong, haha), staycation sendirian, dan traveling sendirian. 

Sebelum di Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari, saya itu juga gampang sekali terdistraksi, sehingga bila butuh fokus optimal, terutama sudah injury time deadline, saya harus kerja sendiri dan baru regroup dengan orang lain di jam-jam koordinasi/meeting yang sudah kami tentukan. Selain itu, dulu juga pakai pomodoro (sekarang kadang masih pakai, kalau kondisi memungkinkan). Dan sejak dulu, selalu bikin agenda/to do list harian dan menandai list yang prioritas untuk dikerjakan duluan, serta list kerjaan yang bisa didelegasikan. Umumnya pagi – siang, saya gunakan untuk mengerjakan yang sulit karena otaknya masih bagus, haha, sore ke atas untuk pekerjaan yg robotic. Tapi dulu, pekerjaan yang berhubungan dengan ideation, karena perlu fokus ekstra, saya kerjakan lewat tengah malam karena rasanya lebih tokcer ketika dunia lebih sepi gitu rasanya. Konsep ya, mungkin?

Setelah di Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari, cara melepas stresnya masih dengan me time, yaitu me time bersama Tuhan alias meditasi, haha. Masih senang berdiam diri sendirian sih, tapi interaksi dengan orang lain sudah tidak begitu menekan. Bila sudah stres (spaneng) banget, biasanya saya ga langsung meditasi karena kepalanya masih sibuk, tapi saya main dulu sama kucing, minum kopi, teh, atau yang seru-seru, mandi (surprisingly) atau pijat-pijat badan/kepala sendiri baru meditasi formal. Untuk melatih fokus, terasa sih kalo spaneng/stres itu malah tambah nggak fokus, sehingga solusinya sama, yaitu meditasi formal. Selain itu, to do list harian masih tetap saya gunakan (bedanya sekarang udah less blaming diri sendiri kalau to do list-nya gak tercapai semua).

Sari Marieyosse

Wah, sering kebablasan burn out atau stres. Spaneng, dada bergejolak, pundak leher kaku atau malah sebaliknya perasaan merasa lempeng, tapi pikiran terasa oon bingung mau mulai dari mana. Kalau ngeh dan pas bisa langsung medfor, biasanya dengar lagu-lagu dulu atau instrumen baru masuk audio. Meski pas lagu-lagu melek, tapi pas audio ketiduran juga..hiks. Mencoba juga langsung saja masuk medfor pakai audio, hasilnya kualitas hening masih spaneng, tidak ada purifikasi, jadi ambisi memaksakan/ingin instan.  Mekanisme dengan mengalihkan: main sama kucing, cuci piring, makan mie instan sambil nonton ASMR mukbang atau lihat live toko manik-manik atau aksesoris-aksesoris lucu. Nah, yang ini perlu waspada jangan sampai kebablasan/kelamaan. Mesti buruan balik on track tadi mau ngerjain apa. Kalau di fisik sudah lelah, pusing banget cus rebahan, klo inget sambil puter audio. Kalau di otak terasa penuh, coba coret-coret di kertas pakai pulpen. Akhir-akhir ini sengaja mencampur aneka manik-manik di satu wadah, diaduk-aduk dengan tangan, lalu menikmati juga memisah-misahkannya lagi.

Fathul Hadi

Melepas stres, burn out, mental overload.

Memahami istilah di judul saja sudah membuat spaneng. Saya meniteni ada beberapa hal sesuai judul dan cara release yang biasa saya praktikkan,

– Lelah karena overthinking, cemas, takut akan masa depan. Medfor sesering mungkin, bersyukur dengan menyadari bahwa masih ada banyak anugerah nyata yang masih saya terima. Memakai otak bahwa yang saya takutkan hanya ilusi tak berdasar, menyadari resiko terbesarnya apa, kemudian pasrah.

– Lelah fisik. Ini harus dengan istirahat yang cukup. Jika berhubungan dengan kelelahan mata saat berkendara dengan jarak yang jauh, saya sempatkan istirahat, lalu medfor agak lama, ada sesi pejamkan mata. Meskipun medfor tidak tertidur, tapi bisa membuat mata fresh kembali.

– Padatnya pekerjaan, tidak lelah fisik, tapi kepala terasa panas. Cuci muka, sering-sering merem sejenak sadari nafas, bersyukur, menyetel audio medfor sambil kerja, ngopi, dan ngudud. 

Keadaan ini sebabnya adalah belum ada kemampuan mendeteksi secara dini gejala burnout mulai muncul. Selain itu masih ada ilusi bawaan kebiasaan zaman dulu, yakni memaksa bekerja sesuai jam kerja. Lebih dari itu, topo ing rame (TIR) belum setiap saat menyertai selama melek beraktivitas.

Virine Tresna Sundari

Sejujurnya ini pertanyaan yang agak sulit dijawab, karena seingat saya dari saya lulus kuliah dan mulai kerja di kantor akuntan dulu sebagai auditor, lalu pindah ke pasar modal, day to day mostly selalu intens dalam pekerjaan yang memang stressful sesuai dengan typical industry pekerjaannya. Waktu jadi auditor, ya ada deadline laporan keuangan, ngulikin laporan keuangan supaya balance, nggak boleh ada selisih 1 perak pun – ya bikin stres, sih. Terus pindah ke pasar modal, yang sudah pasti stres, pressure sudah jadi menu sehari-hari, kok ya setelah baca PR ini yang terlintas, aku kapan ya hidup nggak pakai stres dan pressure, secara mungkin 99% of my life ya kerja, dari dulu workaholic, entah karena emang passion dengan pekerjaannya, atau memang karena mau melarikan diri dari diri sendiri ya, yang ternyata memang banyak luka – come to think of it. Sambil menulis ini sambil berefleksi, jadi dari dulu itu apa mungkin saya malah cari-cari kerjaan yang banyak pressure dan stresnya, bukan melepaskannya. Karena seingat saya, kalaupun liburan – ya pasti sambil kerja, sambil trading sambil ngurus nasabah. Suka bingung kalau nggak ada yang dikerjain. 

Setelah agak berumur (ehem), baru mulai belajar melukis sebagai cara untuk relaxing. Lainnya ya sudah pasti sih shopping, dan travelling kalau sudah merasa lelah mentally. Dulu ingat sering punya cita-cita pengen tinggal di Ubud 3 bulan terus sehari-hari latihan yoga, olahraga, melukis, nyobain resto lucu-lucu, ngopi-ngopi di tepi sawah. Tapi, ya gak pernah kesampaian, karena tetep milih untuk kerja dan sedikit cuti. Kalau cuti sebentar, ya paling way of relaxing-nya dengan body pampering, massage, meni pedi dan sebagainya, terus shopping, terus ke resto yang hype makan enak… O iya masak juga I find very relaxing sih, menyenangkan banget untuk saya, coba-coba resep baru atau sekadar bikin makanan ala resto. Ini sampai sekarang masih saya praktikkan. 

Kalau sekarang, tentunya sedang praktik untuk being mindful perbanyak meditasi yang seperti pesan Mbak Ay, sebelum kepala burnout, ya harus jaga dengan TIR. Walau masih masuk di geng 4%, saya sudah membangun habit untuk medfor di setiap saat saya bisa. Kalau seperti kemarin ketika pekerjaan lumayan hectic dan ke-trigger sana sini, dengan belajar dari cara kerja Mbak Ay dan teman-teman di Pusaka, sedang membiasakan untuk take a pause sebentar untuk medfor atau sekadar merasakan napasnya dulu, sebelum bereaksi. Kalau sudah lelah banget, ya langsung medfor. Tapi, ini pun saya baru belajar juga, ternyata kalau lagi lelah atau burnout karena kerjaan, jangan langsung medfor dulu, karena ya pengalaman saya memang kalau langsung medfor pasti masih spaneng. So sedang mau praktikkan, untuk now dengerin relaxing music yang saya suka seperti light jazz atau soul yang oldies dan easy listening, terus bikin kopi yang memang saya suka banget ritualnya, lalu ambil camilan, terus ke balkon merasakan angin semilir-semilir sambil selonjoran, lihatin tanamanku yang semakin rimbun, lalu kalau sudah tenang, baru mulai medfor. Medfor sekarang is my medicine for stress, nggak apa-apa walaupun masih 4%, yang penting terus belajar karena tahu hanya ini obatnya.

Stefani

Beberapa cara saya menghadapi burn out:

– pilih naik motor keliling-keliling atau ke taman kota, duduk dulu di sana ngelihatin pohon.

– dengerin musik-musik yang lagi pengen didengerin, tergantung saat itu lagi pengen denger musik jazz, klasik, pop, atau rock, atau dengerin audio meditasi sambil dengerin suara-suara di sekitar

– cari makanan manis-manis atau minuman coklat panas atau jahe hangat.

– akhir-akhir ini hal yang bikin cukup rileks itu malah nyapu, cuci piring.

– Mandi juga seringkali jadi momen yang menyenangkan dan merilekskan, bisa ngerasain aliran air itu menenangkan.

– main sama Chiro, elus-elus Chiro, dan jalan-jalan di kompleks – ngerasain angin atau panas matahari menerpa kulit

– taichi atau olahraga 

– ngobrol sama suami, dengerin ceritanya dia

– masih sering salah langkah: langsung medfor pas lagi spaneng, malah tambah spaneng.

– tidur

Cara melatih fokus:

– setelah diajarin cici buat bikin to do list, balik lagi liat to do list itu

– dengerin sekitar juga cukup membantu saya untuk sadar aku lagi ngapain, dimana, melatih observasi ke sekitar, nggak terus-terusan sibuk sama pikiran sendiri.

Puri

Baca PR ini, saya langsung teringat pengalaman diri sendiri pernah burnout parah sampai harus minta pertolongan ke psikiater dan minum obat antidepresan. Mengalami semua gejalanya, seperti kelelahan fisik, mental, penurunan semangat untuk bekerja dan menyelesaikan tugas-tugas, senggol bacok –mudah sekali marah, bahkan untuk sesuatu yang sepertinya tampak sepele. Kelelahan yang saya alami rasanya dalam sekali. Tidur tidak menghilangkan rasa lelah tersebut. Bangun di pagi hari, rasanya waktu tidur masih kurang, karena bangun dengan merasa lelah. Waktu dulu mengalami ini tahun 2018-2019, istilah burnout belum populer seperti sekarang. Kondisi ini juga saya keep sendiri. Tidak cerita dengan teman sejawat di kampus, karena sepertinya hidup mereka baik-baik saja. Bisa jadi saya akan dicap orang aneh, kalau cerita yang saya alami. Sampai suatu hari saya baca artikel yang menjelaskan tentang burnout, definisi dan gejalanya, lalu burnout ini baru masuk dalam daftar ICD- 10 (International Classification of Disease) tahun 2016. Kagetlah saya. Oh aku sakit ya. I was mentally ill. (Update: Di klasifikasi yang baru ICD-11, burnout diklasifikasikan sebagai occupational phenomenon, tidak lagi masuk medical condition).

Dari sini mulai mencari pertolongan profesional. Minum obat kimia bisa meredakan gejalanya di permukaan. Saat itu saya jadi bisa berpikir dengan baik, bisa konsen mengerjakan tugas-tugas. Namun, ada efek samping obat yang tubuh saya tidak tahan. Obatnya mengiritasi lambung. Saya yang punya sakit maag, asam lambung sering naik kalau lagi banyak pikiran, merasa menjadi sangat mual ketika minum obat antidepresan. Tetapi, saat itu saya patuh dengan anjuran psikiater. Saya selesaikan minum obat tersebut dalam kurun waktu 3 bulan. Hasilnya, saya merasa belum sepenuhnya sembuh. 

Seiring berjalan waktu, saya mencari informasi untuk menyembuhkan diri sendiri. Berikut adalah hal yang saya lakukan untuk melepas stres, burnout, mental overload  sebelum saya mengenal meditasi pemurnian jiwa 

1. Sleep hygiene

Sebelumnya saya hanya sempat tidur 3 jam. Masih mengerjakan tugas-tugas kuliah sampai pukul 3 pagi. Lalu pukul 6 sudah bangun, berangkat untuk masuk kuliah pukul 7 pagi. Ritme seperti ini bisa terjadi 5 hari dalam seminggu. Salah satu efek dari kekurangan jam tidur (sleep deprivation) adalah menurunkan kesehatan otak. Jadi setelah lepas obat, perlahan saya perbaiki jam tidur saya. Dulu saya harus tidur jam 9, tidur sampai dengan 8 jam. Merasakan segar setelah bangun tidur, ternyata adalah anugerah luar biasa. Saya membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk membayar hutang tidur (sleep debt) yang saya alami sebelumnya. 

2. Jalan pagi, berjemur sinar matahari pagi

Aktivitas fisik, berjalan kaki membuat saya rileks dan mengalihkan pikiran yang terbiasa berpikir ruminasi, lebih parah dari overthinking. Saya dulu tidak punya kendali atas gerak pikir. Jalan kaki di hutan kota Bandung menjadi kegiatan wajib di pagi hari, ketika masa lockdown plandemi Covid19 tahun 2020-2021 dulu. Dengan berjalan kaki, membawa perhatian saya tidak ke pikiran, tetapi ke situasi di sekeliling saya. Berjalan kaki melintasi pohon-pohon besar memberikan manfaat yang menyehatkan bagi tubuh dan jiwa saya. Sinar matahari pagi juga memberi manfaat antidepresan, meningkatkan hormon serotonin secara alami. 

3. Olahraga dan stretching

Pada masa ini saya mulai rajin olahraga dan berkenalan dengan yoga. Manfaatnya tentu membuat tubuh lebih sehat, memperbaiki kualitas tidur, meningkatkan hormon bahagia endorfin. 

4. Mengubah pola makan menjadi dominan real food

Ini saya banyak trial and error. Pernah mencoba jadi vegetarian. Hanya kuat 2 minggu, karena badan habis itu terasa lemas sekali. Saya tetap butuh asupan protein hewani. Kemudian menambahkan protein hewani dari ikan dan ayam, dan sedikit sekali daging merah. Tetapi seiring berjalan waktu, kebutuhan tubuh itu ternyata bisa berbeda-beda komposisinya. Adakalanya butuh banyak daging merah, adakalanya cukup dengan protein nabati. Pada masa ini saya belajar mendengarkan tubuh. Apa yang terasa nyaman atau tidak nyaman untuk dikonsumsi. Dulu saya takut sekali makan nasi. Takut gemuk. Kemudian menemukan, ternyata diri ini cocok makan karbohidrat kompleks dari umbi-umbian. Terutama ubi ungu, ubi jepang, ubi cilembu. Ubi adalah asupan probiotik bagi bakteri baik di usus. Bakteri di usus ini ternyata berhubungan dengan kondisi mental, mempengaruhi mood, depresi, kecemasan. Saya belajar konsep Gut-Brain Axis. Isu mental health ternyata bisa dieliminasi dengan memperbaiki pola makan. 

5. Mendengarkan musik 

Segala cara dicoba untuk mengatasi burnout. Termasuk lewat musik. Seperti yang dijelaskan dalam artikel yang dishare oleh Mbak Ay, saya pernah juga mendengarkan binaural beats. Tetapi tidak cocok, rasanya tidak nyaman di telinga. Mencoba juga audio sesuai dengan frekuensi schumann resonance. Saya menemukan semakin rendah frekuensinya, rasanya semakin tidak nyaman di tubuh saya. Pernah coba juga healing frequency music. Ini bisa didengarkan minimal di frekuensi 432 Hz, di bawah itu rasanya tidak nyaman. Tetapi mendengarkan juga tidak bisa lama-lama, seperti kita mendengar lagu. Terakhir yang saya coba itu genre ambient music, Marconi Union album weightless. Ada masanya saya baru bisa tidur nyenyak sambil dengarkan musik ini. Musik ini terus berputar sampai pagi. 

6. Meditasi 

Dulu saya bermeditasi untuk mencari rileks, dan mencari ketenangan. Sebelum bertemu dengan meditasi hening pemurnian jiwa raga, saya jalankan meditasi rileks ini sekitar 3 tahun. Ketika menulis refleksi ini, saya baru tersadar. Saya belum legowo, belum mengucapkan terima kasih sepenuhnya terhadap pengalaman hidup burnout. Kalau tidak mengalami burnout parah, mungkin saya tidak akan berkenalan dengan meditasi hening pemurnian jiwa, tidak kenal seni hidup ala SHD. Masih berjuang mengatasi burnout yang kalau tidak ditangani bisa melebar kemana-mana, termanifestasi jadi penyakit yang lebih parah, saya tidak bisa berfungsi dengan baik, tidak bisa bekerja berkarya dengan optimal.

Saat ini setelah saya menjadi pembelajar di Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari, yang saya lakukan untuk melepas stress, burnout, mental overload maupun melatih fokus, utamanya adalah meditasi. Teknik meditasi yang diajarkan di Persaudaraan Matahari mencegah saya dari kelelahan baik fisik dan mental. Rasanya seperti charging energi, walaupun pada titik ini, saya masih belajar menjalankan tekniknya dengan benar. Namun, sudah nyata sekali dampaknya bagi saya. Meditasi juga menjadi wahana saya untuk melatih fokus, saya sudah tidak lagi punya pikiran ruminasi, sekarang sudah turun menjadi overthinking. Saya mau terus belajar untuk menjadi ahli dalam mengelola pikiran. 

Musik masih menjadi bagian dalam hidup sehari-hari sebagai wahana rileks. Tetapi saya tidak lagi mendengarkan audio yang sengaja dibuat untuk keperluan mental health seperti semua yang pernah saya coba dulu. Sekarang ini cukup dengarkan musik favorit yang saya suka, atau musik jadul jaman remaja dulu. Saya punya playlist judulnya my teenage years, isinya musik era ‘98 – 20’s. Dengar ini bisa bisa menaikkan mood. Rileks juga didapat dari bermain dengan hewan peliharaan, minum kopi, duduk-duduk dekat tanaman atau pepohonan, dan jalan pagi, mencari sinar matahari pagi.

Gede Vernanda Satria Dita

Saya pernah sangat mengimani binaural beats, terakhir dengerin yang semacam itu antara tahun 2017-2018. Setelah itu saya lupa tepatnya kapan, coba dengerin lagi malah nggak suka, ada mumetnya, pernah dengerin yang cuma suara mendengung yang sebetulnya saya nggak bisa menikmati. Saya nggak pernah ada pengalaman bisa rileks setelah mendengarkan binaural beats, yang ada malah tambah sibuk mengkhayalkan hasil-hasil yang ajaib hanya dengan modal dengerin audio semacam ini. Jadi, motif mendengarkannya karena ada angan-angan soal akibatnya, karena mental instan. Kalau sekarang dibandingkan dengan pengalaman medfor, jauh lebih efektif medfor yang tepat dalam melepas stres.

Setelah belajar bersama Mas Guru dan sempat waktu itu sering diputar lagu Ingsun – Sujiwo Tejo sebagai pengiring meditasi dinamis/tarian jiwa, ini mengubah persepsi saya bahwa meditasi juga bisa pakai lagu-lagu yang normal juga, kok. Makin ke sini makin sadar ternyata lagu-lagu yang saya dengarkan tidak berdiri sendiri dalam membuat saya bisa melepas stress/burnout, ujung ujungnya kemauan saya menyadari nafas yang menentukan saya bisa beneran melepas stres atau tidak. Kalau jenis musik yang sengaja dipilih menjadi pengantar saya pada praktik menyadari nafas pokoknya lagu-lagu yang bisa saya nyanyikan, musik lembut yang aransemennya ramai ada suara orkestra kayak beberapa lagunya Chrisye saya suka pakai. Agak rock dikit suka pakai Toto di kamar mandi, musik yang lebih keras yang masih bisa dinikmati kayak lagu-lagu progressive metal/progressive rocknya Dream Theater masih suka saya dengerin, kadang kepingin juga dengar genre metal tertentu karena suka bagian riff gitar yang bisa memancing saya joget, semangat kayak Rage Against the Machine.

Selain mendengarkan lagu untuk melepas stres/burnout, ngobrol-ngobrol bercanda, ngemil juga bisa membantu.

Kalau melatih fokus yang paling terasa efektif hasilnya adalah dengan medfor.

Riza

Cara saya melepas stress/burnout biasanya dengan cara ngopi terlebih dahulu. Dari refleksi, saya pakai cara hening bila sudah pada tahap kepala mulai kencang dan mulai pusing. 

Cara saya untuk me-release stress/burnout dengan cara hening sebenarnya termasuk telat karena seharusnya saya bisa melakukannya lebih awal dan bisa maintain untuk tidak stres dengan selalu TIR/rajin medfor. Karena dari pengalaman memang saat sedang rajin-rajinnya medfor dan TIR, hampir bisa dipastikan tidak pernah sampai stress/burnout karena rasanya bisa mengalir begitu saja dan masalah-masalah yang muncul juga bisa terasa enteng.

Seperti di link tentang penelitian bahwa burnout bisa diredakan dengan musik dengan frekuensi tertentu karena bisa membawa ke tahap relaksasi. Medfor pun bisa efektif bila sudah benar – bisa masuk di atas fase rileks. Yang terjadi di diri saya bila sudah medfor, tetapi masih terasa burnout biasanya karena spanengnya belum reda, selain merasakan burnout-nya juga merasakan sulitnya meluruhkan sisi gelap (sigel) yang membuat spaneng sulit reda. Biasanya bila masih spaneng saya mendengarkan musik-musik terlebih dahulu baru, lanjut lagi dengan mencoba medfor hingga terasa lebih enteng.

Nyoman Suwartha

Membaca artikel di atas sungguh prihatin, rata-rata masyarakat US menghabiskan 1.080 dolar per tahun untuk kesehatan mental. Lebih buruknya lagi masyarakat mengalami kelelahan mental (burn out) dan tenggelam dalam hutang hanya untuk bisa ketemu terapis.

Ini nyambung dengan informasi, berita dan data grafis yang dulu pernah didapat, kalau indeks kebahagiaan masyarakat US juga rendah, bahkan sebagian besar orang harus minum pil obat untuk bisa tidur.

Pengalaman saya melepas stres, sebelum keterusan jadi burnout atau mental overload yang bisa berujung depresi adalah mengambil jeda dengan cara melakukan hal yang paling bisa bikin rileks atau santai (ini dulu, saat masih belum mengenal metode hening penjernihan diri). Misalnya yang paling sering, kalau sedang di kantor atau di perjalanan adalah dengan putar dan dengarkan musik/instrumen, kalau di rumah kadang genjrang-genjreng main gitar sambil nyanyi, atau berkebun (memindah bibit, menyirami tanaman). Hal lainnya, kalau waktunya akur dengan sparing partner, biasanya sering salurkan stres dengan olahraga (badminton, pingpong, tenis), karaoke atau piknik dengan keluarga.

Ternyata cara yang ditawarkan dalam artikel, salah satunya juga dengan mendengarkan musik (rhythmic solution menggunakan audio tertentu).

Setelah kenal hening Spiritual Murni Setyo Hajar Dewantoro (SMSHD) dan mempraktikkan medfor di keseharian, sudah jarang mengalami stres hingga pilek seperti dulu. Sudah lebih bisa dikelola dan diatasi jika bibit stres mau muncul, segera jeda dengan melipir sejenak medfor dan dilanjut hening informal ketika lanjutkan pekerjaan sambil putar musik latar yang sering dipakai dalam audio panduan meditasi.

Rochus

Dulu saya tuh kalau lagi penat, jenuh, stress, suka  emosi tinggi, leher tegang  dan kalau sudah begitu saya mencari hiburan, antara lain  karaoke bareng teman-teman, dengerin musik rohani, ke gereja , jalan-jalan melihat pemandangan alam.

Sekarang setelah masuk Persaudaraan Matahari, hampir  nggak pernah lagi – cukup medfor, mendengarkan musik, mendengarkan wedaran, baca buku-buku SHD  dan berkegiatan di Pusaka Indonesia.

Share:

Reaksi Anda:

Loading spinner
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda