Kami selalu takjub melihat fenomena perilaku teman-teman seperjalanan dalam belajar ‘Spiritual Murni SHD’. Entah apa yang selalu ada dalam benak selama belajar Spiritual Murni SHD, dan mendengarkan siraman rohani sampai dua kali seminggu. Ketika dijelaskan tentang teori dasar Stoicism dalam webinar, yang isinya adalah kerangka dasar berkehidupan dengan akal sehat, malah seperti baru mendapatkan pencerahan. Bahkan, dengan bangga mengakui telah membaca atau mempelajari Youtube-nya.
Kalau sudah baca buku dan mempelajari, lalu apa hasilnya? Mengapa tidak diterapkan ketika belajar Spiritual Murni SHD?
Bukankah semua yang ada dalam teori bijak berkehidupan sudah ada dalam teori paling mendasar Spiritual Murni SHD?
Sebelum belajar Spiritual Murni SHD dan memurnikan jiwa raga, saya selalu menggunakan kalimat indah nan bijak psikologi dan filosofi, sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan. Karena tidak punya pegangan lain yang ringan dan memberi penghiburan, tanpa banyakan mengekang. Saya kira semua manusia memiliki hal yang sama, sehingga ketika melangkah ke dalam spiritual murni, bisa menjadi modal yang berharga dalam menyikapi proses belajar Spiritual Murni SHD.
Menjelang tahun ketujuh belajar Spiritual Murni SHD, dan mendampingi perkembangan ajaran yang pesat dan terus disempurnakan, ternyata standar pembelajaran harus diturunkan lagi sampai kepada hal paling mendasar. Dan seharusnya paling mudah dipraktikkan pada di tataran kognitif. Solusi emas memperbaiki pola pikir dan karakter melalui praktik ‘Meditasi/Hening Pemurnian Jiwa‘ belum bisa diterapkan, karena masih tersangkut dengan problematika membangun akal yang sehat dan konstruktif dulu.
Padahal akal yang sehat merupakan salah satu variabel penting untuk membangun sikap yang sehat dan positif sebagai modal untuk melatih diri berbasis ketulusan. Dan, apabila akal yang dianggap sehat bekerja tanpa dibarengi dengan proses pemurnian jiwa, maka dari mana bisa membuktikan bahwa akalmu beneran sehat dan jernih, tanpa distorsi dan bias dari sisi gelap maupun egomu yang egoistik?
Setiap tindakan dan keputusan menjadi kusut bundet, apabila niat dan tujuan sebagai landasan pola pikir masih serong kanan dan kiri. Sudah dijelaskan tujuan paling tinggi pada Spiritual Murni SHD pun tidak mau segera mengkalibrasi tujuan egoistiknya agar sinkron sepadan dengan tujuan ajaran. Tidak mau berendah hati, untuk sekadar mempelajari dan mengenal value (nilai) dari Spiritual Murni SHD karena masih mengejar hasrat egoistik. Sehingga isi kepala hanya sibuk mencari jalan pintas dan instan, demi mencapai agenda egoistiknya.
Semakin menguatkan prinsip dalam ‘Manajemen Matahari’ yang menjelaskan bahwa dasar dari setiap langkah dan keputusan adalah dengan mengenal value (nilai)-nya terlebih dahulu. Kenali dulu dong, apa sih tujuan Spiritual Murni SHD disebarluas dengan kampanye yang maksimal agar mudah diakses oleh seluruh umat manusia. Lalu, refleksikan dengan tujuan personalmu yang sudah pasti egoistik. Identifikasi dan sadari dulu gap antara tujuan personalmu dengan tujuan ajaran. Segera benahi, dimulai dengan memilih sikap yang tepat, setiap kali mau ngeyel dan ngeles kayak bajaj.
Clarity of purpose atau kejernihan tujuan adalah apa yang menjadi niat dan tujuanmu, ketika memutuskan belajar Spiritual Murni SHD.
Dalam arena pembelajaran Spiritual Murni SHD, sudah menjadi syarat yang mutlak untuk mengkalibrasi niat dan tujuan belajarmu, dengan tujuan ajaran. Bukan sebaliknya, keras kepala mempertahankan harapan bahwa ajaran ini akan memberikan solusi cantik bagi niat dan tujuan belajarmu yang egoistik.
Spiritual Murni SHD memiliki karakteristik yang serba terbalik dengan spiritualisme yang umum. Bahkan, praktik meditasi/hening pemurnian jiwamu pun jadi mandeg, apabila intensi egositikmu tidak segera dibersihkan atau dimurnikan.
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
23 Mei 2025
Reaksi Anda:
