Skip to main content
Refleksi

Gen Z dan Meditasi Pemurnian Jiwa

24 June 2025 Persaudaraan Matahari No Comments

Di tengah dunia yang serba cepat, penuh distraksi, dan hiruk-pikuk sosial media, generasi muda masa kini—yang dikenal sebagai Gen Z—sedang menghadapi tantangan eksistensial yang tidak ringan. Di satu sisi, mereka dibekali akses tak terbatas terhadap informasi dan teknologi. Namun di sisi lain, mereka juga rentan terhadap tekanan mental serta kehilangan arah makna hidup. Di sinilah, meditasi, menjadi oasis yang dicari.

Tulisan ini memuat kisah dua anak muda—Naufal Muhammad Al Hikam dan Cahya Wardana—yang mewakili suara Gen Z dalam pencarian spiritual mereka. Dengan jujur dan apa adanya, mereka berbagi pengalaman tentang bagaimana meditasi Spiritual Murni SHD telah mengubah hidup mereka.

Lewat kisah mereka, kita belajar bahwa meditasi bukan hanya milik mereka yang sudah ‘matang usia’, tetapi juga menjadi kebutuhan mendesak bagi generasi muda masa kini.

Cerita Naufal Muhammad Al Hikam

Belajar hening buatku, sangat berpengaruh pada peningkatan kualitas diri, mulai dari emosi, sikap, serta pikiran. Semuanya menjadi lebih selaras, seakan diri menjadi sesuatu yang baru. Perasaan dan emosi yang biasanya sangat impulsif atau sensitif menjadi lebih tenang, rasa marah, kesal, bisa lebih minimalis ketika berada dalam keheningan yang pas.

Hasil dari keheningan, aku rasakan sangat nyata. Awalnya, aku tertarik ke dunia spiritual karena ada keinginan untuk bisa menjadi pintar, karena sifatku yang haus akan pengetahuan, rasanya aku ingin mendapatkan pengetahuan langsung dari Tuhan, atau yang biasa dikenal ilmu laduni

Ternyata, lewat hening yang konsisten, pengetahuan itu datang sendiri. Pengetahuan itu bisa mengalir lewat berbagai bentuk, bisa kebijaksanaan, pikiran yang tenang, tidak banyak mikir atau mengkhayal, lebih menikmati semua proses yang ada. 

Bonusnya bisa mendapat skill baru yang dulu rasanya susah bukan main, seperti menulis, sekarang menjadi lebih terasa ringan dan menyenangkan.

Proses hening yang aku rasakan, masih di tahap awal pencerahan dan pemurnian dari kuasa kegelapan di dalam diri secara lebih utuh. Terakhir, aku sempat bertanya terkait masalah sakit ke Abi, “Boleh nggak, menggunakan tangan untuk healing diri?” 

Dijawab Abi, “Ya, jelas boleh dong, justru dengan melakukan yang terbaik itulah usahanya, maka barulah pasrah total dengan hasilnya, baru tepat.” 

Setelah mendapat pencerahan itu, yang awalnya tubuh sakit, mulai diselaraskan perlahan. Terakhir cek, kejernihan tubuh fisik 40% ke 80% dan tubuh energi 60% ke 90%.

Sebelum kenal hening kehidupanku bisa dibilang cukup agamis, hidup tenang di lingkungan para orang yang bisa disebut “soleh” di masyarakat, seperti ustaz, kiai, sekolah agama, masjid, mushola, pengajian, dan sejenisnya. Tapi, semua berubah ketika aku mulai penasaran dengan ajaran Abiku sendiri, di akhir SMA. Dan, aku belajar sedikit demi sedikit yang disampaikan oleh Abi. 

Aku membaca bukunya berjudul “Sastrajendra“, lalu “Suwung“, semuanya membuka pandangan baru yang awalnya bikin aku mumet, tapi juga penasaran. Sekitar tahun 2018, aku pernah mengalami kejadian yang menyebabkan aku terhentak dan tidak mau benar-benar mendalami keheningan secara serius. Namun, sekarang ada banyak perubahan pola pikir dan cara pandangku yang berubah. Bukan hanya fisik dan pikiranku, tapi juga hal-hal terkait kemanusiaan, berubah menjadi lebih selaras dan harmoni dengan Semesta.

Kalau ditanya, “Apakah hening penting buatku? Jawabanku, penting banget.”

Aku mendapat banyak manfaat dari hening. Hening yang membuatku bertahan hingga saat ini. Hening yang membuat hidupku sebagai manusia yang lebih berdaya, lebih selaras, lebih lebih lainnya. Hening mengubah 360° kehidupanku, mahal banget harganya. Tanpa hening rasanya pasti akan hampa dan bingung. Dengan hening, semuanya jadi dipermudah.



Cerita Cahya Wardana

Pengaruh belajar hening sangat besar buatku. Menurutku, belajar keheningan ini bicara tentang tujuan hidup yang selama ini kurindukan sejak kecil. Dari dulu aku punya suara hati terdalam bahwa aku punya alasan besar mengapa aku lahir di dunia ini. Pertanyaan itu mulai terjawab ketika aku belajar keheningan—terutama saat berkarya di Pusaka Indonesia. Rasanya seperti menemukan potongan puzzle yang selama ini aku pertanyakan.

Sebelum mengambil peran atau apa pun yang ingin dikontribusikan dalam kehidupan ini, bagiku pondasinya adalah keheningan. Semua mencakup tentang kemurnian dalam menjalani hidup—bebas dari bias dalam berpikir, berkata, dan bertindak dalam keseharian. Bisa dibilang keheningan menjadi semacam pondasi. Ini adalah kompas hidupku, penunjuk arah untuk saat ini dan ke depan, supaya terus belajar hidup berkesadaran. Hidup yang berlandaskan keheningan di setiap pikir, ucapan, dan tindakan.

Pengaruh keheningan ini, sesederhana bisa bersyukur atas hidup, bersyukur atas nafas yang masih ada, dan mampu melihat segala sesuatu sebagai anugerah besar.

Setelah belajar keheningan, hasilnya sangat nyata aku rasakan. Buktinya, sisi gelap yang bejibun aku bawa sejak kecil —akibat luka batin, trauma, dan lain-lain—pelan-pelan bisa dikikis. Jujur aja, beresin itu semua nggak gampang. Tapi nggak apa-apa, yang penting pelan-pelan asal kelakon, pasti bisa.

Seiring dengan itu, mulai terasa transformasi. Setidaknya dari mindset dulu yang penuh pikiran liar dan overthinking, boro-boro bisa bersyukur. Sekarang lebih bisa menghargai hidup dan membangun kebiasaan bersyukur atas apa yang ada saat ini.

Aku jarang banget minta validasi kualitas hening, karena entah sejak kapan, terbentuk mindset, Biar aku coba dulu lakukan yang terbaik, semampuku.”

Sejak awal belajar, aku cuma beberapa kali minta validasi dari guru. Terakhir kali minta validasi ke Mama Ay, 17 November 2024, dan ini hasilnya:

  • Hening formal: rata-rata 10%
  • Hening informal: rata-rata 4,5%

Mungkin sekarang malah turun ya, karena belakangan ini lagi banyak sisi gelap (sigel) yang muncul dan pelan-pelan harus aku bereskan. 

Sebelum kenal hening, hidupku bisa dibilang sangat religius. Aku lahir dari keluarga yang religius buanget. Dari kecil sudah terbiasa belajar ajaran agama dan sangat patuh.

Tapi, aku juga pernah nyasar belajar spiritualitas model “ndukun“—kalau kata teman-teman di Persaudaran Matahari, hehe. Mas Wisnu, tenang, ada temannya! Aku juga pernah melewati masa itu. Mulai dari menatap lilin lama-lama, mandi kembang 7 rupa, sampai berendam di pertemuan dua sungai jam 12 malam… semua pernah aku lakukan di masa SMA dulu. Ampun deh, hehehe.

Setelah belajar hening, ya semua berubah 180°. Aku jadi lebih bisa menghargai hidup dan merasa lebih bersyukur. Kalau dulu, belajar spiritual malah jadi alat buat memupuk ego: biar sakti, biar ditakuti, biar terlihat berwibawa—padahal akarnya ya karena sigel rendah diri, ingin dihormati, caper nyari perhatian orang.

Hening itu penting banget, karena bagiku ini bagian dari laku hidup supaya bisa mencapai Rancangan Agung kelahiran di Bumi. Tujuannya supaya kita bisa jadi versi terbaik diri, seperti yang diajarkan di webinar kemarin.

Kalau tujuan kelahiran adalah merealisasikan Rancangan Agung, maka hening itu tools-nya. Jadi penting banget laku hening ini dilakukan supaya segala penghambat—noda-noda yang nempel—bisa digosok sampai makin kinclong. Supaya kita bisa lebih murni jiwanya, lebih bahagia, berdaya, berkarya, berguna, dan sejahtera.

 

Persaudaraan Matahari
23 Juni 2025

Share:

Reaksi Anda:

Loading spinner
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda