Skip to main content
Refleksi

KEBENARAN SEJATI

7 January 2025 Ay Pieta No Comments

“Kebenaran yang sejati berasal dari Sang Maha Agung yang bersemayam di relung hati.” 

Sudah ratusan kali bermeditasi/hening diiringi audio panduan Buddha Tanpa Kepala, tapi kalimat ini baru terdengar dengan jelas dan lantang, menampol kesadaran saya dalam bermeditasi/hening. Belum pernah sejelas malam ini tertancap ketika meditasi/hening formal. Saya memang jarang niteni kalimat perkalimat panduan Guru SHD dalam audio selama meditasi/hening formal, hanya sekali-kali ketika ada kalimat yang nancep di kesadaran. Sering sekali terjadi sekian lama baru ngeh ada kalimat spesifik yang nampol, dan biasanya kalimat itulah yang saya butuhkan untuk diresapi dengan lebih mendalam.

Selama ini saya punya pemahaman bahwa sebuah kebenaran sejati yang (saya anggap) sangat langitan dan berhubungan dengan Ketuhanan akan muncul bagi situasi yang wow atau isu-isu penting nan dramatis saja. Ternyata asumsi saya salah total, kebenaran sejati terbentang di setiap gerak langkah yang kita lakukan apabila mampu terhubung dengan Diri Sejati dan melek bangun sadar terhadap tuntunan Tuhan.

Dalam Ajaran SMSHD, untuk dapat disahkan mampu menangkap tuntunan Tuhan memang syaratnya cukup berat karena harus mampu menjadi ahli bermeditasi dengan teknik SMSHD terlebih dahulu dan mau menjalankan proses pemurnian jiwa yang syedep perjuangannya. 

Meditasi/hening SMSHD merupakan satu-satunya cara agar mampu terhubung dengan Diri Sejati dan menangkap tuntunan Tuhan, satu paket tidak terpisahkan dengan proses pemurnian jiwa. Kemampuan terhubung dengan Diri Sejati dan menangkap pesan Tuhan ini merupakan hasil dari proses pemurnian jiwa yang hanya dapat dilakukan dengan meditasi SMSHD. 

Dalam Ajaran SMSHD, disediakan alat ukur sederhana, namun presisi untuk membuktikan apakah kemampuan ini selaras atau palsu. Ajaran SMSHD memang memiliki mekanisme yang presisi agar semua pihak berhati-hati dalam mendayaguna perangkat kecerdasannya dengan memastikan apakah sudah cukup ‘jernih’ dari sisi gelap. 

Dengan kejernihan atau kemurnian inilah, maka kita akan mampu menangkap tuntunan Tuhan tanpa bias dan distorsi dari makhluk alam bawah yang sangat pandai menyamar dan khotbah kebajikan.

Beberapa bulan belakangan ini saya mengerti bahwa yang dimaksud dengan kebenaran sejati bisa terjadi pada objek atau situasi yang saya anggap sebagai recehan. Ada cerita lucu yang baru bisa saya tuangkan setelah malam ini tertampol dengan kalimat dalam panduan meditasi itu. Bahwa, ternyata manifestasi dari satu kalimat langitan dalam audio punya pengertian dan ujian kesaksian yang tak terbatas jumlahnya, bisa ribuan atau jutaan situasi yang menjadi manifestasi sebuah kebenaran sejati dalam satu hari apabila kita betul-betul setia untuk “Menari Mengikuti Gerak Semesta” alias kita ngapain saja selalu tertuntun oleh “kebenaran sejati yang berasal dari Sang Maha Agung yang bersemayam di relung hati”.

Tidak usah muluk-muluk, tapi sereceh menemukan jawaban atas mengapa Guru SHD senang sekali memberikan emotikon jempol apabila merespons pesan WhatsApp (WA). Sementara bagi standar idealisme Ay Pieta, sebuah respons pesan berupa emotikon jempol adalah tidak memenuhi standar moral dalam pergaulan. Dengan standar pergaulan tersebut,  maka saya pun tidak pernah memberikan emotikon itu kepada siapa pun. Recehan banget, bukan?

Sekian lama kemudian saya memang sudah berdamai dengan standar pergaulan dalam pemberian emotikon. Saya sudah beradaptasi dengan mode respons setiap orang yang punya kebebasan memilih emotikon mana saja yang disukai tanpa harus berprasangka terhadap makna dibalik emotikon pilihannya itu. 

Khusus pada kasus emotikon jempol ini, standar pergaulan Ay Pieta merupakan ilusi yang memantik sisi gelap baper merasa tidak dihargai oleh pihak yang saya hormati. Padahal nyaris seluruh penduduk komunitas sangat kecanduan dengan jempol Guru SHD. Bahkan, sampai berjatuhannya korban fakir jempol Guru SHD. Saya kok malah bete dan menjadi drama moralitas personal, haha.

Menemukan kebenaran sejati itu rasanya seperti bertemu dengan AHA!Moment. Terjadinya ketika beberapa bulan yang lalu situasi pekerjaan yang cukup hectic menghadapi sekian banyak WhatsApp Group (WAG) koordinasi pekerjaan yang membutuhkan respons cepat. Saya menyadari bahwa emotikon yang paling cepat diberikan dan paling mudah dijangkau karena letaknya paling pertama dari urutan pilihan emotikon yang tersedia adalah emotikon jempol itu. 

Ya amplop, tepok jidat. 

AHA!Moment yang sangat recehan, namun berarti banget bagi diri ini seperti membuka sebuah gerbang pemahaman baru, yaitu betapa sebuah standar idealisme yang tidak disertai logika sehat dapat menyakiti diri sendiri dan bikin dosa karena prasangka yang tidak realistis. 

Walaupun sudah berdamai selama sekian tahun ‘No Baper No Drama’ ketika diberikan emotikon jempol, tetapi ternyata saya seperti baru ketok palu mengesahkan perpisahan total dengan isu idealisme ini karena baru menemukan alasannya sekian tahun kemudian, dan mulai memberikan emotikon jempol dalam merespons WAG.

Tentu saja penemuan Kosmik yang konyol ini saya sampaikan ke Guru SHD. Ngakak parah atas kekonyolan idealisme di masa lalu, namun bagi saya momen ini tetap seperti ‘penemuan penting’ yang perlu saya catat dalam jurnal. Guru SHD merespons dengan spontan, “Akhirnya, kamu menemukan kebenaran sejati.” 

Gleg, saya tercenung cukup lama setelah mendengar jawaban beliau. Seperti baru sadar bahwa ya amplop kebenaran sejati bisa sesederhana itu bentuknya. Baru sadar sesadar-sadarnya bahwa kebenaran sejati memang berlaku di setiap tarikan dan embusan kehidupan manusia. Dari mulai hal yang dianggap paling receh bagi semua hal, semua langkah dan perbuatan. Begitulah proses saya mengerti secara utuh tentang apa itu kebenaran sejati dalam bentuk perilaku yang sederhana. Rasanya terbuka lagi gerbang pemahaman yang lebih dalam tentang apa manifestasi dari kebenaran sejati.

Sementara itu merajalelanya penyakit fakir jempol merupakan bukti bahwa pola pikir dan perilaku berbasis sisi gelap bisa membawa manusia pada paketan samsaranya masing-masing, baik yang fakir jempol maupun yang bete dengan emotikon jempol karena keduanya sama-sama belum menemukan kebenaran sejati.

Sampai saat ini saya masih terus belajar tentang kebenaran sejati yang menjadi bagian dari mata kuliah “Kesetiaan Total” pada titah Tuhan. Saya masih terus melatih diri agar stabil dalam kepekaan menangkap pesan Tuhan dan berlatih agar terus setia berada di koridor kebenaran sejati, tanpa protes, tanpa meragukan, tanpa mempertanyakan, tanpa banyak pertimbangan, dan tanpa ekspektasi sehalus apa pun. Mata kuliah kesetiaan memang tidak pernah ada habisnya, selalu saja menemukan hal baru dan ujian baru sebagai manifestasi kebenaran sejati. Contohnya, ya, seperti ketika menyadari emotikon jempol itu. Setelah sekian tahun saya baru menemukan kebenaran sejati dibalik emotikon yang dulu pernah mencolek drama konyol idealisme moral.

Di kesadaraan saat ini, ujian praktik terus berjalan. Bentuknya sehalus sekadar mempertanyakan sebuah situasi yang sebenarnya sudah saya mengerti betul merupakan tuntunan Tuhan. Namun, apabila pengertian ini tidak dibarengi dengan keheningan yang baik, maka cangkem syaitan yang terkutuk akan selalu berusaha jawil-jawil (terj: colek) mempertanyakan kebenaran sejati. Dengan begitu, maka menari mengikuti gerak Semesta menjadi tersendat brebet terhalang oleh selintas super halus pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya.

Ada yang pernah menemukan kebenaran sejati?

 

Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
6 Januari 2025

Share:

Reaksi Anda:

Loading spinner
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda