Sama seperti disiplin, sebuah kewajiban bisa dilakukan dengan disiplin tanpa sukacita, tanpa ketulusan, tanpa kedewasaan cara berpikir, dan tanpa kesadaran. Dijalankan atas dasar keterpaksaan, atas dasar ketakutan akan hukuman dan penghakiman atau dijalankan demi mendapatkan imbalan yang diharapkan. Namun, bagi yang telah terbuka kesadarannya, telah dewasa cara berpikirnya, maka sebuah kewajiban bisa dilakukan dengan penuh rasa syukur, sukacita, penuh kesadaran, dan ketulusan.
Terpantik oleh materi Manajemen Proyek yang saya berikan dalam Sesi Kelas Kepemimpinan Avalon Leadership Online Course (ALOC) Batch 8 sesi 6, cukup banyak peserta yang mengerti perbedaan kewajiban dan tanggung jawab, termasuk memberikan contoh konkretnya. Tapi, kemudian ketika praktik dalam kehidupan nyata menjadi sangat brebet apalagi menjaga konsistensi dan kestabilan perilaku, “Konsisten itu sulit, Kapten.” Belum ada integritas antara apa yang dihafal, disimpan dan dipercaya sebagai pengetahuan moral dengan praktik nyata di keseharian yang konsisten.
Hobi menghafal tanpa dibarengi kesadaran (mindfulness), berakibat ilmu pengetahuan sulit untuk meresap ke dalam kesadaran. Ketika mengaplikasikan ilmu pengetahuan, terjadilah hal yang sebaliknya dari teori kebajikan yang dihafal. Mengeluh, ngeyel, pengabaian, pembenaran, protes, baper, sulit berendah hati, tidak bersyukur, dan terlebih dari semuanya adalah tidak tulus.
Saya lahir di dunia penuh Wajib Militer (Wamil) dan kedisiplinan, ortu anak kolong dan penuh tata krama level ningrat, ditambah sekolah swasta katolik kesusteran CB yang terkenal sadis dalam mencipta karakter disiplin. Masa kecil ala Wamil ini saya anggap cukup menyiksa, tetapi ternyata telah membuahkan habit positif, yaitu rasa tanggung jawab menjalankan kewajiban dalam porsi manusia belum berkesadaran.
Semua komitmen dijalankan semampunya dibarengi dengan misuh-misuh, grundelan, keluhan, eyelan, dan kebaperan yang akan terlupakan ketika mendapatkan hasil yang baik. Semua kewajiban dilakukan semampunya sebagai bentuk tanggung jawab diwarnai dengan kalkulasi untung-rugi, ketakutan akan hukuman, perhitungan besar-kecil imbalan yang jauh dari ketulusan. Bahkan, saya terbiasa untuk berani menghadapi segala tantangan dan resiko apabila bertindak tidak tepat dan berdampak kerugian bagi diri dan banyak pihak. Semuanya dilakukan dalam koridor rasa tanggung jawab yang mengaplikasi kalimat bijak, “Mau berbuat harus mau bertanggung jawab.”
Setelah belajar Ajaran Spiritual Murni Setyo Hajar Dewantoro (SMSHD) dan menjadi ahli meditasi metode SMSHD, saya baru mengerti bahwa ada bentuk rasa tanggung jawab yang terasa lebih luas dan mendalam. Rasa ini terus meluas seiring dengan meningkatnya level kesadaran dan bertambahnya kemurnian jiwa raga.
Gambaran logisnya, karena gembolan sisi gelap sudah dibersihkan, maka tumbuhlah kesadaran yang membuat rasa tanggung jawab turut membesar dan mendalam. Tidak lagi digandoli oleh agenda egoistik atau kalkulasi untung-rugi, tidak juga ditemploki oleh perhitungan imbalan atau ketakukan akan hukuman. Lepas bebas dari grundelan, misuh-misuh, ngeyel, baper, dan perilaku pemberontakan lainnya. Ruang kesadaran secara utuh hanya dipenuhi oleh rasa tanggung jawab, tanpa terpapar jejak sisi gelap.
Jadi benar adanya, melalui penyaksian nyata bukan hanya sekadar hafalan teori bijak saja, bahwa rasa tanggung jawab berasal dari sebuah KESADARAN.
Kesadaran yang dimaksud tentu kesadaran murni yang hanya ada di Ajaran SMSHD, dengan ilustrasi sederhana yang diberikan melalui parameter evaluasi dalam Ajaran SMSHD. Kita semua dapat mengetahui realitas jiwa yang menyertai ribuan kalimat bijak yang terucap dan tertuang dalam tulisan yang dihafalkan dan dipercaya sebagai kebenaran.
Seharusnya, melalui parameter realitas jiwa itu, kita semua tergerak untuk mengkalibrasi kembali agar segala hafalan teori, ucapan, dan perbuatan, selalu selaras serta sepadan. Agar tidak hanya obral omong kosong, tidak hanya pandai bersilat lidah, kemudian tidak pernah tampak dalam perbuatan nyata di keseharian – apabila percaya Ajaran SMSHD, maka jelas tertera dalam parameter evaluasi yang menyatakan sebaliknya.
Pola pikir yang terbolak-balik memang sudah menjadi gejala umum para kolekter teori bijak, banyak juga yang akhirnya mumet sendiri saking terlalu pandai bersilat lidah, mencocoklogi banyak teori sebagai sebuah kewajiban agar tampak bijaksana, namun tidak mengerti bagaimana menjalankan dengan penuh rasa tanggung jawab.
Pendidikan spiritual yang murni memang mencakup seluruh aspek kehidupan alias holistik, bahkan sampai cangkem omong kosong pun kena sasaran purifikasi. Harap maklum, Ajaran SMSHD adalah tentang kemurnian jiwa, mana mungkin mentoleransi omong kosong. Maka, segeralah lakukan sinkronisasi, dengan melatih diri untuk melakukan kewajiban akan komitmen dari keputusan hidup yang dipilih sendiri dengan rasa tanggung jawab.
Stop hobi mengeluh dan tukarlah dengan hobi bersyukur. Bertanggung jawablah atas keputusanmu sendiri; keputusan memilih pasangan, memilih jalan hidup, memilih berhutang, memilih pekerjaan, dan memilih apa saja, termasuk keputusan memilih untuk bergabung belajar di Persaudaraan Matahari.
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
26 November 2024
Reaksi Anda: