
Saya cukup takjub waktu ke Studio Persaudaraan Matahari (PM) menemukan banyak mainan anak-anak. Ada lego, coloring book, dan yang paling menarik perhatian saya, PUZZLE! Ini kayak throwback ke masa kecil dulu. Saya suka kabur ke rumah tetangga, namanya Nyanya yang punya koleksi puzzle. Puzzle bagi ortu saya yang tradisional dan medit, tentu hal yang mustahil bagi saya untuk dibelikannya. Barang mewah yang tak terjangkau. Jadinya saya suka mengendap-ngendap kalau mamih (sebutan ibu) tidur siang, saya kabur ke rumah Nyanya. Ortu saya tidak suka jika saya berteman dengan Nyanya karena agama dan ras yang berbeda dengannya. Ortu saya pun tidak suka anjing. Haram katanya.
Nenden kecil suka sekali main puzzle, dan rasanya I was good at it. Pikirannya masih less ruwet kali ya, waktu itu. Diem, mikir, cari sambungannya kayak memecahkan misteri, persis seperti novel detektif yang saya suka baca. Kenangan dan pengalaman saya main puzzle berhenti di usia SD itu saja.
SMP–SMA, kuliah, kerja, bahkan ketika punya anak pun Amala ndak suka main puzzle. Dia lebih suka lego duplo itu. Sekian puluh tahun berlalu dan menemukan kembali mainan puzzle beraneka warna dan motif yang cantik-cantik itu di Studio PM, sungguhlah kejutan tak terduga. Kayak nemu harta karun.
Tapi, kali ini bermain puzzle rasanya berbeda, meski excitement–nya sama, tapi kepala saya sudah bukan Nenden kecil 40 tahun lalu. Isinya yang kusut dan sisa-sisa kekorsletan yang belum pulih ternyata bikin main puzzle jadi cukup menantang buat saya.
Ada hasrat ambisius yang keukeuh pengen nemuin bagian ini dulu, merasa sudah pas sambungan dua kepingan ini dan maksa disambungkan — padahal bukan pasangannya, ada caper meronta-ronta pengen ditepokin teman mainnya ketika menemukan kepingan yang pas. Ada kompetitif sama temannya juga. Ngeyel. Ya ampun, main puzzle di studio PM dengan dipandu Mbak Ay, pamomong dan direktur PM, itu ternyata wahana memunculkan sisi gelap (sigel) yang terpendam ke permukaan, sekaligus memotret pola nalar saya juga yang ternyata lompat-lompat, nggak runut, kadang nggak logis. Makanya ubet aja di satu sisi, nggak mau meluaskan pandangan secara holistik.
Bahkan, main puzzle ini ternyata membongkar kemalasan saya untuk sekadar membaca peta alias foto gambar puzzle–nya secara utuh gimana. Saya cuekin gambarnya, cuma lihat selewat. Lah, padahal itu kan kompasnya, panduan untuk bisa memetakan, “Oh, utuhnya tuh gitu lho, gambar anu di bagian mana – warnanya apa, kan akan jadi kompas untuk membuat alur kerja yang lebih mudah.”
Dan, saya malas dong lihat dengan serius niteni. Lihat sekilas, oh oke gitu ya (terus merasa sudah paham, padahal bodong tetep aja bingung). Astaga, se-powerful itu dong mainan ini ternyata.
Kalau ini personality test, jadi tes kecerdasan otak dan kognitif untuk masuk kerja, kayaknya saya nggak bakal diterima, hi hi.. Sesomplak itu ternyata nalar saya, benar-benar harus ditata ulang dengan genah. Ajaibnya lagi, ketika menuliskan refleksi ini, entah kenapa tetiba muncul rasa haru yang mendalam yang bikin saya bercucuran air mata. Terima kasih dan kelegaan yang sulit dijelaskan rasanya, apa yang selama ini terpendam kayak terbuka dan saatnya diberesin.
Umpan balik dari pamomong membuat saya merenung lebih dalam. Berikut catatannya:
- Tidak mau mendengarkan dan mempraktikkan arahan yang sudah jelas akan memudahkan
- Kekeuh, merasa metode pribadi lebih baik ketimbang tip yang diberikan
- Dikasih cara yang lebih simpel, tapi seneng milih yang ruwet
- Malas lihat panduan
Pola bawah sadar yang dampaknya kepada cara belajar Spiritual Murni SHD, cara bekerja, cara mencari solusi di keseharian, cara menghadapi situasi, dan seterusnya.
Lho, kok ya betul semuanya itu. Terbongkar dengan tanpa ampun, ngablak terbuka gamblang. Nggak bisa bohong dan pencitraan pura-pura manis lagi. Fakta diri saya begitulah adanya, dan selama ini ngumpet di bawah sadar, tapi termanifestasi dalam beragam perilaku keseharian yang disebutkan Mbak Ay semuanya itu.
Tentu saja tak ada yang kebetulan. Ini adalah momentum berharga yang tidak boleh disia-siakan. Saatnya diperbaiki pola nalarnya, kebiasaan dan perilakunya, berjalan beriringan dengan memperbaiki laku hening, hempaskan kemalasan dan banyak alasan. Keselamatan saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Saatnya bebenah lebih serius lagi.
Nenden Fathiastuti
Pembelajar Keheningan Persaudaraan Matahari
13 Februari 2025
Reaksi Anda: