Skip to main content
Refleksi

Menata Kecerdasan Emosi, Kembali Menjadi Anak-anak

18 August 2025 Khoirul Huda No Comments
Menata Kecerdasan Emosi, Kembali Menjadi Anak-anak - Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari

Selama ini saya belum memiliki kecerdasan emosi yang memadai, bahkan buruk. Saya mudah overthinking dan cemas, mudah berprasangka, tidak mindfulness, gampang baperan, suka ngeyel, tidak pandai menjalin hubungan interpersonal, sangat kurang melihat ke dalam diri, sulit sekali bersyukur, selalu ingin mengontrol orang lain dan keadaan, cenderung jadi pemalas, mudah menyerah, tidak mudah beradaptasi, kerasan di zona nyaman, kadang masih iri dengan pencapaian orang lain, kadang masih punya keserakahan, kadang masih tidak otentik, kadang masih suka menghakimi orang lain, dan sepertinya masih bisa lebih banyak jika ditilik lebih lama.

Melihat kenyataan ini, tersadar betapa terbelakangnya saya dalam kecerdasan emosi. Akan saya mulai dengan membangun habit mindfulness, sambil terus mewaspadai emosi-emosi destruktif yang mulai untup-untup untuk dibereskan dengan meditasi/hening. Overthinking adalah prioritas untuk saya bereskan. Untuk hal ini kadarnya sudah sangat akut pada diri saya. Saya waspadai betul pikiran liar saya kalau sudah mulai mengarah ke overthinking. Segera saya bawa kembali ke momen saat ini.

Mental setengah kosong adalah yang kedua. Dengan mindfulness saya belajar memberi perhatian pada hal-hal detail di sekitar dan menikmatinya. Menghargai apa yang nyata ada, tidak sibuk berfantasi tentang yang saya inginkan ada. Detail selembar daun, semburat warna pada kelopak bunga, kepak sayap seekor kupu-kupu, burung-burung yang beterbangan kemudian hinggap di ranting atau hamparan rerumputan dengan kicauannya yang merdu. Juga detail tubuh yang selama ini kurang saya perhatikan.


Kejujuran dan ketulusan mulai saya bangun. Sikap tidak berterus terang dan bertindak tidak berlandaskan ketulusan saya waspadai sejak terbersit di pikiran. Ini PR ketiga saya. Lagi-lagi ini hanya mungkin dilakukan jika 
mindfulness. Tanpa mindfulness mustahil saya bisa waspadai dan niteni. Apa pun yang hendak saya lakukan saya pertanyakan apa motivasinya, benar-benar tulus dan apa adanya ataukah belok dan manipulatif.

Mewaspadai kengeyelan adalah agenda berikutnya. Ini saya tempuh dengan mindfulness, mendengarkan hingga tuntas, dan mengambil jeda sebelum memberi respons atas pembicaraan lawan bicara. Respons tertakar seperlunya, tidak berlebih. Tentang kemungkinan respons balik lawan bicara tidak terlalu saya pikirkan, yang penting saya bicara sesuai realitas dan ketulusan.

Belajar berinteraksi dengan orang baru juga pelan-pelan saya bangun. Ini juga hal yang tidak mudah bagi saya yang cenderung introvert. Jurus membawa diri apa adanya, tidak berekspektasi tentang respons orang lain, tulus, dan tidak berprasangka, saya asah sedikit demi sedikit.

Memang tampak aneh kalau saya pikir, manusia seusia saya baru menyadari dan belajar hal-hal yang sangat basic begini. Ke mana saja kesadaran saya selama ini. Tapi, saya tidak menyesali keterlambatan ini. Tetap saya syukuri dan nikmati prosesnya dengan prinsip “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.” Saya seperti menjadi kanak-kanak lagi karena baru belajar hal-hal yg sangat mendasar. Memang saya sedang menempuh pendidikan di Sekolah Kehidupan dengan status “telat mendaftar”.

 

Khoirul Huda
Pembelajar Sekolah Kehidupan
16 Agustus 2025

Share:

Reaksi Anda:

Loading spinner
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda