
Semua serba pas. Begitulah yang selalu saya alami dan saksikan apabila totalitas ‘Menari dengan Irama Semesta’. Dinamika dan tantangan tidak akan berhenti, namun selama melangkah pada koridor ‘Keselamatan’ yang ‘Dituntun oleh Tuhan’, maka semua hal yang dibutuhkan akan hadir serba pas. Selalu hadir beragam keajaiban yang tidak pernah terpikirkan, yang menata semua elemen kehidupan menjadi serba pas. Inilah yang saya anggap sebagai bentuk ‘Keberlimpahan’ yang tak ternilai harganya. Karena momentum serba pas ini membutuhkan ketulusan dan totalitas, tidak bisa dibeli oleh materi.
Seremonial ‘Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari’ bertepatan dengan event retreat dan hari lahir Guru SHD. Sebagian besar teman seperjalanan berkumpul, baik secara offline maupun online turut menjelajahi kedalaman ‘Ajaran Spiritual Murni SHD’ dan merayakan kehidupan. Bertepatan juga dengan banyak sekali elemen penting dalam pergerakan membangun kesadaran kolektif, termasuk terbukanya jejaring dan karya yang lebih jernih.
Memasuki tahun ketujuh menjadi murid bagi ilmu kehidupan, tiga tahun mengemban peran sebagai Direktur ‘Persaudaraan Matahari’, sekaligus memimpin jalannya riset dan pengembangan ajaran, serta meng-orkestra-kan satu gerbong tim komunikasi visual agar ajaran ini dapat dinikmati oleh lebih banyak penjelajah dunia spiritual. Dengan sukacita menghantarkan evolusi dan transformasi Persaudaraan Matahari menjadi pusat pengembangan karakter yang holistik dan membuat para pemburu solusi instan (quick fixer) menjadi gerah dan meriang.
Menegaskan bahwa proses evolusi memang sudah sewajarnya merupakan perjalanan yang panjang dan mustahil dihasilkan dengan instan.
Persaudaraan Matahari dan spiritual murni adalah bentuk materiel dari proses evolusi Guru SHD selama bertugas di Planet Bumi. Seremonial pada retreat kali ini merupakan milestone penting bagi Guru SHD, bagi saya, dan seluruh jajaran Staff Admin, Tim Palugada, dan Tim Media Enterprise (SHDME), yang turut berevolusi bersama ajaran spiritual murni dan Persaudaraan Matahari, baik secara individu maupun organisasi. Evolusi ini tentu berdampak secara langsung kepada seluruh gerbong afiliasi lembaga dan seluruh jejaring aksi yang tertaut. Saat ini bisa dikatakan bahwa Persaudaraan Matahari dan seluruh afiliasi lembaga sudah berada dalam lingkaran kolaborasi dengan value yang sama. Seluruh afiliasi bergerak melalui koridor yang sama menuju satu arah kompas, menciptakan langkah-langkah kecil menuju wujud nyata visi dan misi atas vision Guru SHD yang telah disampaikan kepada kita semua sejak zaman dahulu.
Sekolah Kehidupan Persaudaraan Matahari telah membuat saya belajar hidup dan mengajarkan ilmu kehidupan, jauh sebelum diresmikan melalui seremonial hari ini. Setiap peserta akan merayakan kehidupan sedalam kapasitasnya masing-masing, seperti saya pun merasakan penghayatan akan kehidupan yang sangat mendalam pada momen retreat hari ini.
Belajar mengenal kehidupan yang tidak lagi seluas daun kelor dan mengenal kehidupan yang tadinya terasa di luar nurul karena kesadaran diri yang masih bobok manis.
Monumen demi monumen milestone proses transformasi dan evolusi selalu hadir serba pas. Milestone kehidupan yang apabila dipandang melalui PoV yang utuh, maka bisa menyaksikan bukti nyata gerak Semesta yang tampak acak dan seringkali terasa chaotic, namun sebenarnya merupakan irama penataan bagi seluruh jaring laba-laba kehidupan manusia. Seperti, ketika kisah perjalanan menemukan diri dan kehidupan ini telah berhasil saya tuangkan dalam sebuah buku sebagai monumen kehidupan yang menjadi salah satu variabel bagi terbukanya gerbang era yang lebih jernih.
“Spiritual murni telah membangunkan saya untuk belajar melihat kehidupan menjadi lebih hidup, di saat saya pikir hidup mulai meredup dan sedang mempersiapkan diri untuk menyambut kematian yang indah. Tapi sebaliknya, justru saya baru mulai belajar hidup, dan mengenal sisi lain dari kehidupan yang selama ini tertimbun oleh samsara. Mengenal sisi kehidupan yang melengkapi hidup yang saya miliki saat ini. Kehidupan yang menjadi lebih jernih dan memiliki arah kompas yang tegas.”
~ Belajar Meditasi, Belajar Hidup.
“Our lives begin at the day we become conscious about things that don’t matter” ~ Pure Spirituality.
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
15 Juli 2025
Meski di kepanitiaan tercantum di tim media, tapi jujurly saya ndak bantu apa-apa di tim media, saya cuma bilang pada koordinator kalau butuh bantuan kasih tahu aja.
Saya belajar bekerja mengalir untuk mengerjakan apa yang bisa saya bantu. Beli confetti pun sat-set cuma modal WhatsApps dan online. Pas baru sampai venue setelah dari acara bedah buku di Perpustakaan UGM Jogja, saya bisa bantu di bagian registrasi dan pembagian lanyard.
Belajar banyak dari Mbak Ay nge-lead tim. Level of details and clear direction step by step untuk tim itu lesson learned yang saya pelajari sangat berharga.
Orkestrasi tim dengan ragam peran untuk event dengan peserta sebanyak ini di tempat lain sudah kusyut penuh drama. Di sini smooth banget, amazed saya. Inilah bukti nyata bekerja berbasis kesadaran.
Saya sendiri sempat merasa bersalah yang bikin kesambet parah karena skip zoom meeting untuk persiapan ceremony. Lagi meeting dengan client, dan baru ngeh pas udah lewat sejam. Respons Mbak Ay santuy karena ada rekamannya. Sayanya yang ketakutan sendiri. Level kesadaran yang lagi low emang ngaruh banget.
Bersyukur mendapatkan anugerah momen di-laundry saat retret sesi Sabtu pagi. Rasanya membuat awan mendung itu tersapu bersih. Dan, bersyukur saya bisa ngemsi (MC) dengan cukup smooth meskipun tidak sempurna. Mohon maaf untuk beberapa glitch. Tek-tokan yang lancar dengan Mbak Ay for guidance itu emang kuncinya. Tanpa itu tentunya akan mbrebet sehingga pekerjaan yang sederhana pun bisa jadi rumit, he he.. Maturnuwun Mbak Ay.
Overall saya menikmati proses bekerja di tim ini, banyak belajar dari teman- teman lain tentang dedikasi dan komitmennya. Udah lama nggak megang balon, baru tahu kalau sekarang ada pompanya yang bikin nggak harus niup-niup pake mulut. Seru ternyata ada pembelajaran soal tacit knowledge yang sederhana untuk saya dari aktivitas menyiapkan balon Sabtu malam itu, he he.
Sisi gelap (sigel) rasanya minim. Cuma sadar saya sempat kaget dengan dialog yang terjadi di pagi hari (Minggu) soal kerjaan. Saya nggak hening, nggak jeda dulu, malah reaktif merespons penanya – ngebelain yang ditanya. Kemudian dia menjelaskan bahwa hal ini sudah diminta jauh-jauh hari – sebelum event sehingga seharusnya sudah disiapkan. Saya cuma oh. Oke. It was my mistake yang reaktif dan ngerespons sesuatu yang saya nggak paham konteks utuhnya.
Lesson learned untuk ndak reaktif dan ndak ikutan sesuatu yang ndak ngerti. Thank you..
Terima kasih kesempatannya bisa ikut bekerja di sini Mbak Ay dan teman-teman semuanya. Sampai jumpa di retret berikutnya.
Bukan pertama kali ikut retret yang diadakan oleh Persaudaraan Matahari, tapi kesempatan ini berbeda karena juga mengemban tugas perdana di Tim Palugada. Diawali H-1 sebelum keberangkatan kesandung yang buat kaki kiri terkilir dan akhirnya bengkak nggak bisa napak. Biasanya kalau mengalami kejadian nggak mengenakkan pasti langsung kemrungsung berat – pengen cepet sembuh, nggak mau merasakan ketidaknyamanan di tubuh fisik, emosi, dan pikiran. Eh, kok bisa tetep santuy, pergi ke tukang urut, lalu pasrah. Wis pokoknya tetap berangkat dan bertugas pakai tongkat kalau perlu. Besok paginya di luar fikri keajaiban terjadi, kaki yang bengkak udah mengempes banyak, bisa pake sepatu dan jalan, meskipun pelan.
Sebagai petugas anyaran di Tim Konsumsi, banyak sekali dibantu oleh partner saya, diajarin dengan detail flow kerjanya. Ada beberapa glitch seperti jeda refill makanan dan alat makan yang kosong memakan waktu sehingga membuat peserta menunggu. Di momen itu saya belajar menjadi observer atas apa yang bisa diperbaiki next-nya. Komunikasi dengan kitchen staff berjalan lancar, sehingga keesokan harinya request refill makanan langsung ganti tray dan smooth process tidak membuat peserta antri. Feedback untuk memajukan jam breakfast sehingga peserta bisa ngopi dan ngeteh dulu sebelum taichi bikin peserta lebih melek dan seger.
Di hari terakhir partner saya mengingatkan agar jangan lupa buat teh, saya jawab iya setelah mandi of course akan dibuatin. Ego agak kesentil diingetin ngerasa udah tahu tugasnya dan akan dilakukan kok. Lho lho lho, kok respons saya gini ya, yang tadinya santuy di pantui kok malah jadi kemrungsung. Sambil mandi berefleksi, oh tenyata saya memproyeksikan luka batin, teringat masa kicik yang selalu dituturi oleh Mama, Yangti, dan Tante yang tinggal bersama saya. Saya proses dan triggering event ini bikin lebih mengerti alur kerja pikiran saya sendiri. Sigel dominan yang muncul selama retret adalah pengen keliatan perfect, pengen diterima, pengen diakui – oh ini varian dari sigel bucin, oke beresin. Pembelajaran di retret mengingatkan untuk selalu berendah hati belajar dari siapa saja, berkontribusi aktif di semua lembaga SHD, totalitas berkolaborasi, always and always membereskan sigel dalam kesukacitaan plus bersyukur.
The retreat indeed was a pure magical moment. Bekal yang sangat berharga bagi Sang Jiwa yang masih berkelana dalam tubuh fisik ini bahwa keajaiban akan terus terjadi jika tidak dihalangi pikiran ruwet kita sendiri. Mengalami sendiri bahwa tidak ada upaya yang sia-sia dalam perjalanan pemurnian jiwa jika dilakukan dengan ketulusan (mata kuliah kali ini belajar untuk tidak mengharapkan apa-apa, hanya nikmati apa pun yang telah dihadirkan Semesta). Merci beaucoup Persaudaraan Matahari, Guru, Mbak Ay dan seluruh Tim Palugada yang sudah memberikan kesempatan untuk belajar kehidupan di luar nurul.
Retret kali ini masuk kali keempat retret (dari total ikut retret tujuh kali) sebagai panitia. Yang saya rasakan retret kali ini benar-benar berbeda, dan dari PoV panitia menurut saya retret ini retret paling lancar dan minim drama. Dari sisi saya sendiri saat menjadi panitia di tiga retret sebelumnya masih merasa agak berat, banyak pakewuhnya, khawatir tidak perform, khawatir menyinggung partner karena sempat partner ada sigel yang ketrigger karena saya yang ternyata masih dipendam dan ganjalan persepsinya tidak disampaikan hingga event berikutnya dan berimbas kurang smooth kerjasamanya. Sedangkan saya sendiri merasa tidak ada apa-apa karena merasa hal itu biasa saja tapi ternyata penangkapannya berbeda, hal itu membuat jadi makin pakewuh bila berinteraksi dengan teman-teman panitia lainnya.
Tetapi, di retret kali ini benar-benar bisa luoossdooll tanpa ada pakewuh-pakewuhan, kerja berasa jadi super enteng dan bisa ngalir lancar selancar-lancarnya. Bersyukur dapat partner Jogja yang orangnya entengan, minim drama, dan sat-set juga. Jadi, kerja berasa ringan karena saling bantu dan saling gerak bersama.
Kerjasama dengan partner lain pun berasa enteng, tek-tokannya lebih ngalir. Kalau pun ada sesama panitia yang sempat ke-trigger, sepengelihatan saya nggak pada dibawa baper, bisa langsung diselesaikan masing-masing karena selama pelaksanaan retret tidak terlihat ada hambatan-hambatan sama sekali. Di panitia sendiri walaupun harus ada perubahan-perubahan dengan waktu yang muepet, semuanya bisa diatasi dengan ringan dan lancar.
Retret kali ini menjadi sangat berbeda sekali rasanya, terasa ketika hari H peserta mulai berdatangan. Wah, rasanya smooth sekali, ya. Peserta datang satu per satu dengan santuy, ngobrol-ngobrol sebentar, registrasi, lalu check in. Terasa lebih hangat dan tidak wak-wakan.
Lalu, saya jadi mengingat dari awal prosesnya – Oh iya ya, dari awal pun ternyata sangat smooth sekali. Dari mulai pesan hotel juga tidak ada drama apa pun, tidak ada debat, tidak ada tawar-menawar yang belibet karena biasanya masalah kamar menjadi hal yang lumayan belibet. Ketika H-3 ada rekues khusus dari Mas Guru – iya, mengagetkan karena berarti ada tambahan persiapan yang harus dilakukan. Tapi, kalau saya ingat-ingat lagi, kami benar-benar santai dan ya udah, di bawah komando Emak kita lakukan aja tanpa ada babibu. Dan, ternyata selalu ada jalan ketika rasanya itu tidak mungkin, benar-benar seperti lewat jalan tol. Mulus. Hihi.
Yang bikin saya bersyukur lagi, ketika saya harus mencari bunga di Solo tanpa tahu di mana para penjual bunga ini. Okelah tinggal tanya orang hotel, lalu cus pesan tukang ojol. Eh, sama bapaknya saya ditungguin dan diantar ke hotel lagi. Kata bapaknya, “Daripada nyari-nyari lagi, saya tungguin aja.” Wah, terima kasih, Pak.
Hari berikutnya saya WA ke penjual bunga – mau pesen. Eh, ternyata stok bunga habis. Waduh. Oke.. saya lalu tanya – apakah ada penjual bunga lain di daerah situ. Eh, tanpa disangka-sangka ibu penjual bunga memberikan informasi tentang penjual bunga lain lengkap dengan alamat dan foto lokasi. Wah, terima kasih, Ibu. Rasanya saya terharu dan saat itu juga saya ngeh bahwa ini adalah sebuah anugerah buat saya. Maturnuwun, Gusti.
Selama retret kemarin, apakah sigel-sigel saya muncul? Ofkors.. hihi.. Ketika tahu bahwa ketua saya tidak jadi ke Solo, otak saya langsung automikir, “Wah, GRN siapa yang handle, ya dan autokemrungsung. Setdah.. belum juga kejadian. Lalu, cus meditasi formal (medfor). Oh, iya, kan masih ada teman yang lainnya juga. Besok tinggal dicek – apakah teman-teman melakukan sesuai jadwal atau tidak. Santuy aja, Put. Dan, hari H saya cek ternyata teman-teman sudah jalan dan bisa selesai tepat waktu juga. Wah, terima kasih Tim GRN.
Sempat juga ke-trigger dengan teman lainnya, saat dia pagi-pagi bilang mau ‘Me Time’ jalan-jalan ke pasar. Otak saya automikir – gimana sih ini orang, pekerjaan banyak bukannya bantu-bantu yang lain, eh jalan-jalan ke pasar. Oke.. di dada kok rasanya nggak enak ya – langsung ingat bahwa yang ke-trigger berarti itulah yang bermasalah. Ya, saya yang bermasalah berarti karena waktu itu mau sambil pergi cari sarapan saya berupaya untuk inget hening – Put, rasakan nafasnya, stop analisis ini-itu. Dan, ya, pulang cari sarapan, saya mendapat bala bantuan banyak dari Tim Bali. Wah.. terima kasih teman-teman Bali, terima kasih Gusti. Mulus aja gitu rasanya. Iya ya, memang benar – jangan fokes ke satu hal, tapi fokes ke solusi dan pasrah aja. Bala bantuan pun datang.
Saya sadar juga bahwa ada sigel controlling yang muncul. Niatnya saya ingin semua persiapan berjalan dengan lancar, dengan mencoba mengawasi ini-itu karena ini adalah tanggung jawab saya, emak udah berpesan nitip persiapan Solo sama saya. Tapi, ternyata ada sigel controlling yang muncul ketika mencoba mengarahkan teman-teman Palugada. Terasa ketika ego bermain dan maunya seperti apa yang saya rencanakan alias saya inginkan. Alhasil kadang ada beberapa nada tinggi saya yang keluar ketika memberikan arahan. Wah, maaf ya teman-teman Palugada atas sikap saya. Ampun, Gusti. Saya sadar bahwa ini kalau saya kebablasan, pintu gerbang kesombongan itu sangat terbuka lebar dan ngawe-awe kalau Bahasa Jawanya. Wah, gaswat ini. Oke.. cuss medfor.
Sempet juga mau kabur ketika jam malam mau merangkai bunga dan pasang backdrop, sudah sempat bilang ke Mas Riza, “Mas, nanti Mas Riza yang tungguin, ya.” Dalam hati saya bilang, saya mau tidur, ngantuk. Eh, bukan gitu, Put. Mana tanggung jawabmu. Iya juga ya, masa Mbok Novi ngerangkai bunga sendiri, sedangkan saya panitia malah enak-enakan tidur. Eh, lah, egois kali saya. Ampun, Gusti. Yak, akhirnya bareng-bareng sama panitia yang lain nungguin sampai bunga dan backdrop selesai. Terima kasih, Tim Palugada yang sat-set.
Secara keseluruhan, retret kali ini lebih sat-set dan paling mulus sepanjang saya jadi panitia retret. Yap, benar-benar merasakan new era. Panitia juga lebih paham areanya masing-masing dan langsung menempatkan diri. Terima kasih, Tim Palugada. Namun, memang masih ada yang perlu diperbaiki tentunya.
Dan, terakhir terima kasih banyak, Mak. Selalu ada di belakang kami untuk menjaga dan selalu memberikan arahan di saat otak sudah mulai buntu. Terima kasih banyak Tim Palugada yang makin sat-set dan minim drama juga. Mari kita tingkatkan kinerja dan memperbaiki yg perlu diperbaiki di event selanjutnya.
Saya sendiri dari awal ketika lihat nama belum muncul di tim kepanitiaan, bersyukur cukup netral. Tapi, niat untuk bisa hadir di retret memang kuat, bisa hadir dan membantu apa pun itu, walaupun atau ada atau tidak ada di tim.
Saya melampaui rasa biasanya pakewuh nanya ke Emak, apakah saya dapat tugas.
Pas Mak nanya – emangnya saya datang, sempet bingung sejenak, emang bisa ya saya datang. Karena memang tanggal 10 itu ibu mertua sudah bilang dari jauh hari ada upacara di rumah saudaranya dan ibu dalam posisi masih nginep di sana dan tanggal 10 adalah hari H-nya. Saya pun sudah sempat bilang sebenarnya. Pas Mak nanya, saya sempat bingung, lalu saya bawa medfor.
Saat itu akal sehat saya jadi jalan rasanya, saya harus memastikan yaa ke ibu mertua dulu, akhirnya ibu bilang jalan saja, nanti anak-anak sama ibu, anak bisa dianter pagi pas tanggal 10 itu, jadi saya bisa jalan. Lega, akhirnya saya bisa jawab dengan mantap pertanyaan Mak’e, “Saya datang.”
Lanjut sempet ada kejadian suami nelpon, sempat berprasangka — duh angkat aja, kan belum tahu toh suami bilang apa, lanjut suami ngajak pulkam, jadi Kamis itu bisa berangkat dari kampung untuk bawa anak ke rumah ibu mertua. Wah, ternyata.
Saya langsung bawa juga persiapan langsung untuk retret, tapi saya bisa slow nuntasin cucian dulu, pas suami datang pun saya belum siap saya bilang saya mau cuci dulu, dan ternyata bisa pulkam dengan santai banget. Sempat ada rasa galau ke teman-teman yang saya janjikan naik di kantor bus, nanti gimana ya kalau saya dari kampung, tapi mereka di sana, ya saya memang lebih cepet naik dari Mengwi.
Ya sudah jalan saja dulu, lagian ‘kan mereka udah pada gede-gede juga, hihi.
Akhirnya semua berjalan lancar, malah saya jadi dapat ngobrol sama teman lainnya karena naik sama-sama di Mengwi.
Lalu malamnya, saat saya lihat ada yang lagi merangkai bunga, saya ada rasa ragu untuk membantu. Saya ingin bantu, tapi kok ada rasa takut atau apa ya, ini saya sadari saya masih egois sih, padahal saya yang masuk panitia, tapi saya nggak bantu. Karena di GRN saya lihat juga belum ada lagi yang bisa saya bantu, saya izin ke kamar duluan, saya pikir saya bisa ngerjain data iuran, sampai kamar ternyata entah gimana kok nyambungin ke WiFi nggak bisa. Sampai ada yang ngasih bantu tethering juga tetep nggak bisa. Saya medfor, lalu saya ketiduran, pas ada yang datang bilang baru selesai, di situ saya ada rasa menyesal — kenapa saya nggak bantu tadi. Mohon maaf ya, teman-teman.
Besoknya di momen seremonial yang ditunggu-tunggu, saya sungguh nggak nyangka, saya bisa ada di tim ini, Tim Palugada SHD. Ya Tuhan, terima kasih banyak.
Makasih Guru, Emak, teman-teman saya masih punya kesempatan berkarya disini.
Saya ingin terus bisa berkarya bersama, saya akan memperbaiki lagi ketulusan dan totalitas saya.
Memang momen Paluga kali ini terasa semakin sat-set santai dan lebih ringan.
Terima kasih teman-teman. Terima kasih banyak.
Sungguh bersyukur diberi kesempatan untuk bergabung di kepanitiaan. Awalnya timbul rasa sungkan, karena juga ada di tim GRN dan TTS. Ntar gimana ya pembagian kerjanya. Takut jadi nggak maksimal.
Dan ganjelan saya itu terselesaikan saat rapat koordinasi terakhir, di mana saya bisa membantu saat ada kesempatan. Begitu juga di TTS, bisa diselesaikan saat komunikasi dengan Sari dan Cak Fathul.
Untuk event-nya sendiri, menurut saya inilah yang terasyik. Semua berjalan smooth. Saya bisa losdol banget. Kerja sama dengan yang lain pun terasa ringan dan bisa saling tektokan, tanpa drama berarti. Bahkan, saat pasang spanduk sampai tengah malam pun nggak terasa ngantuk dan lelah. Sukacita dan rasa syukur masih terasa sampai saat ini.
Tantangan untuk saya sendiri sih sudah ada seminggu sebelum retret. Ibu saya yang sudah sepuh 85 tahun dan tinggal sendiri harus opname di Rumah Sakit karena tiba-tiba aja leher nggak bisa digerakkan dan nggak bisa bangun dari tempat tidur. Di sini saya hanya bisa pasrah, entah bisa datang di retret atau ikut online. Yang penting bisa ngerawat ibu di RS dulu.
Syukurlah ibu mulai sehat dan bisa pulang Rabu malam. Sempet kambuh lagi Kamis paginya, sesak napas dan nggak bisa bangun dari tempat tidur. Tapi overall membaik sampai Kamis siang. Ada momen haru saat saya pamit untuk saya tinggal selama 3 hari mulai Jumat-nya, “Aku ora opo-opo kowe tinggal. Lakoni tugasmu disek. Toh enek Ery (sepupu) seng ngejogo…” Duh, terima kasih, Gusti.
Yang penting sekarang adalah tetap mempertahankan apa yang sudah dicapai saat ini dan terus memperbaiki.
Masuk tim panitia lagi dan lagi sangat anugerah bagi saya. Pamit Pak Suami (Paksu) agak awal berangkatnya, Paksu malah nanya, “Kowe ki arep nang Jakarta po?”
Ternyata Paksu memang nggak nyimak omongan saya jauh hari, bahwa saya mau ambil cuti 11-13 Juli ke Solo untuk sekolah.
Perjalanan ke Solo aman, barang-barang saya titipkan ke Mbak Mertha. Sampai di Solo saya sudah niatkan pokoknya mau bantu apa saja yang saya bisa sembari Nobar bedah buku di Perpus UGM Jogja secara online.
Niat untuk lebih bertanggung jawab adalah niat awal sejak ditunjuk Mak menjadi bagian di Palugada. Rasa lebih memiliki atas peran Palugada. Saat acara makan atau coffee break, terasa lebih enteng, inguk sana-sini apa yang perlu di refill, karyawan hotel juga gercep. Kali ini saya kerjakan dengan kepekaan atas tugas dan tanggung jawab.
– Nggak terlalu banyak berinteraksi dengan Tim Palugada, aku lebih ke mempersiapkan GRN. Ikut partisipasi di persiapan untuk seremonial.
– Overall lancar, termasuk acara seremonial juga lancar. Emang kuncinya adalah jangan sombong dan nurut aja sama Mbak Ay, apalagi di titik-titik krusial dan urgen butuh keputusan ples minim toleransi eror — sudahlah stop songong, tanya dan berpegang sama Mbak Ay aja, dijamin selamet.
– Pas setting dekor untuk seremonial, nggak kuat balik kamar dan istirahat duluan. Sempet pakewuh merasa mesti ikut nungguin (khawatir dipandang nggak take ownership, coba pake akal sehat tentang peranku (in charge GRN) dan besok mesti standby dari pukul 7 pagi on duty sampe retret selesai, kalau tumbang lebih merepotkan lagi, akhirnya ke kamar dan bobo.
– Surprised and amazed dengan persiapan seremonial H-3, tapi bisa langsung terorkestrasi dan terdeliver dengan ciamik. Pengalaman otentik bagaimana kepemimpinan berbasis kesadaran benar-benar bisa jadi pemimpin yang pas kadarnya (soulful) dan yang eksekusinya juga karena relatif pada chill/waras/setidaknya mau hening, jadi bisa berkolaborasi dengan baik. Kerens.
New era. Apa yang disampaikan Mas Guru benar adanya. Kita memasuki era baru dengan branding baru Persaudaraan Matahari Sekolah Kehidupan. Angin segar kebaruan itu sudah terjadi. Retret kali ini pun sangat berbeda dengan retret sebelumnya – semakin smooth, semakin lancar, semakin dalam, juga terasa sekali agenda yang padat bergizi ini dijalankan dengan mengalir. Saya yang bertugas di bagian permediaan, baru kali ini merefleksi – iya ya, betul juga kata Mas Guru – kerja fisik tidak semelelahkan itu, tidak seberapa jika dibandingkan dengan menghadapi sigel yang muncul ke permukaan untuk dibereskan, hewhew. Pekerjaan yang selalu diajarkan dengan melakukan yang terbaik dan penuh totalitas juga ketulusan, masih ada dalam tahapan berlatih dan terus berlatih. Bersyukur datang bala bantuan, termasuk alat dan tenaga – semua terasa anugerah. Bersyukur bisa melayani dengan totalitas. Rasanya padat juga karena di setiap rehat, waktu akan dibuat untuk bekerja. Muncul semangat yang terus berkobar, rasanya tidak capai, senang.
Ada cerita unik di retret kali ini dalam konteks pekerjaan (media) – muncul momen reflektif ketika seseorang mengomentari pekerjaan kami yang datang lebih dulu, nyiapin alat, kemudian pulang paling akhir – beresin alat, itu pun sebenarnya pekerjaan belum selesai, mengapa mau? (hal sibuk ini juga pasti terjadi pada panitia yang lain sih ya, namun beda skup pekerjaan (sadar diri, jangan sok yang paling sibuks, wkkwk). Saya ambil maknanya — komentar sekaligus pertanyaan yang cukup reflektif buat saya. Iya, kenapa ya.. Saya diskusi dengan rekan kerja saya dan hal ini bukanlah hal yang saya tanyakan bahkan terlintas saja rasanya belum, saya cenderung untuk melakukan ya melakukan aja. Kalau ngomongin passion, sebenarnya saya juga nggak paham-paham amat dengan kata passionate.
Ketika ikutan meeting keesokan dan ketika ada yang sharing suka melayani, hidup punya makna dengan melayani. Udah deh autoterharu aja saya, rasanya ininih, tetiba nyantol dengan kata ‘pelayanan’ — salah satu hal yang selalu dicontohkan Mak dan Mas Guru juga tentang pelayanan. Saya jadi menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Kemudian Mak yang melengkapi dengan kata-kata yang nyantol — yang awalnya ‘I have to’ jadi ‘I understand to’, sampai ke tahap ‘I love to, I passionate..’ Oh ini ada di artikel Mak (udah sempet baca artikelnya lagi dongs, thank you, Mak).. pelan-pelan jadi mulai mengerti dan tumbuh kesadaran tentang passionate ini. Ternyata hubungannya dengan makna ‘Totalitas’ itu sendiri. Hwa, terima kasih…
Dari media ada banyak sekali update transformasi yang cakep, apalagi ada yang expert yang bisa dicontoh cara kerjanya. Beneran nggak ada pace buat nganggur dan menunda terlepas dari kecanggihan alat dan sistematika yang dibikin olehnya sendiri. Ini adalah hal baru buat saya dan keberadaannya bisa menginspirasi kami, bagaimana cara kerjanya. Tampolan buat kami sekaligus bersyukur atas keberadaannya. Selama jalannya acara kami bisa bekerja sama dengan baik. Buat saya retret kali ini memang asyik dan seru — di sela-sela rehat langsung digunakan untuk kerjaan dokumentasi. Partner kerja juga jadi solutif dan langsung gerak ketika tahu dan ngerti apa yang harus dilakukan agar sound tidak memunculkan bunyi bazing zztttzztt, padahal udah lewat tengah malam. Salut.
Terima kasih, gaes…
Reaksi Anda: