Tema ini lagi-lagi terpantik dari diskusi-diskusi saya dengan seorang teman yang lagi perosotan. Saya juga mengalami tentunya dan seperti berhadapan dengan cermin besar pantulan diri saya. Ngeyel itu sepaket dengan sombong, yang seringnya kesombongan ilusif, merasa bahwa apa yang dipahami oleh kepala saya ini yang paling benar, “Kan, saya si paling pintar dan hebat.”
Perilaku ngeyel itu kemasannya bisa beragam, dari yang kasar dengan kata-kata pedas yang frontal, sampai yang halus ples senyum manis, seakan mengiyakan di depan mata padahal di dalam hati sama sekali tidak sepakat. Dentuman penolakan, riuh bertalu-talu di dalam hati, tapi tak berani tersuarakan, karena yang dieyeli posisinya lebih tinggi.
Model ngeyel di batin kayak begini sudah biasa di kantor sama bos yang enggan kita lawan karena khawatir slip gaji akan terancam. Senyum manis iyain aja asal masalah cepat dianggap selesai, dan kita pun selamat.
Namun, apesnya model ngeyel diem-diem di batin kayak gini kagak bisa kalo dipakai untuk cara belajar Spiritual Murni Setyo Hajar Dewantoro (SMSHD) di Persaudaraan Matahari (PM). Kata-kata manis penghias bibir ndak bakal mempan ngibulin Pamomong dan Guru Besar yang bisa membaca telanjang gamblang realitas jiwamu. Jadi, sungguhlah ngeyel untuk masih bersikap ngeyel ini benar-benar kombinasi mematikan. Dijamin skak mat, kecuali beneran mau menyerah untuk mengakui kesalahan dan sungguh-sungguh berupaya memperbaiki diri tanpa perlawanan lagi.
Ngeyel itu sebenarnya bukan domain khusus orang sekolahan yang kenyang dengan pendidikan akademik, orang nggak sekolahan yang ngeyelnya kebangetan juga banyak, karena egonya segede Gunung Semeru.
Wujud ngeyel dalam proses belajar SMSHD ini bisa beragam juga bentuknya, udah dijelasin metode hening di PM itu cukup dengan menyadari nafas natural. Masih aja pake metode lain dari tempat belajar sebelumnya, yang afirmasi, mengosongkan pikiran, mengatur nafas, membayangkan sesuatu atau fokus mencari nyaman. Terus kalo meditasinya nggak nyaman sesuai harapan, bingung sendiri.
Seabrek wedaran dibaca, tapi cuma untuk dicocok-cocokin sama hal yang sudah dipahami. Webinar diikuti, japri pada pamomong, dan belajar bersama leader, tapi ya cara pikirnya masih keukeuh ogah ego-nya dicolek, dan resisten ketika pemahaman yang kadung diyakini kebenarannya itu dibongkar. Lah yang model begini, terus ngapain juga sih masih maksa bertahan belajar di PM? Jelas nggak bakal bisa.
Saya juga dulu ngeyel tanpa nyadar bahwa saya sebetulnya ngeyel. Merasa sudah manut arahan, merasa sudah belajar banyak, eh kok hasilnya mentok di situ-situ aja ya alias bonsai pertumbuhannya. Bonsai beneran mending, cakep–bisa dijual mahal. Lah, bonsai yang ini mah kagak ada keren-kerennya. Ternyata akar kebonsaian saya, ya kesombongan ilusif dan kengeyelan, berusaha mempertahankan yang saya yakini benar. Ah, masak sih begitu? Yakin nih, gini doang bisa? Ini ekspresi-ekspresi kalimat kengeyelan saya, yang akarnya ketidakpercayaan utuh dan penuh pada ajaran SMSHD ini. Makanya masih dieyelin karena merasa yang sudah dipahami dari pembelajaran sebelumnya di tempat lain, maupun buku-buku yang saya baca rasanya sudah benar. Rasanya lho, ya.. bahkan untuk mengakui hasil evaluasi itu akurat aja, kok ya susah bener. Masih aja dieyelin.
Gimana caranya saya bisa melampaui kengeyelan saya? Jawabannya kepentok tembok!
Temboknya bernama Mbak Ay Pieta. Ketika semua manuver kengeyelan saya sudah nggak mempan dan jalan satu-satunya adalah saya harus menghadapi Mama Pamomong, akhirnya saya menyerah. Dulu saya berpegang teguh menyerah sama dengan kalah, dan saya tak sudi dikalahkan oleh apa pun. Maka, saya tak boleh menyerah dalam situasi apa pun. Sebatu itu dulu saya keras kepalanya, sangat sombong bahwa semuanya bisa saya kendalikan, dan melihat segala hal dalam kehidupan ini semata-mata hanya urusan menang dan kalah.
Namun, bersyukur akhirnya saya menemukan titik balik ini, dan mendapatkan makna lain dari menyerah, bukan seperti yang saya anut sebelumnya. Menyerah kali ini adalah sebuah kepasrahan penuh, yang berangkat dari kesadaran bahwa ternyata saya tak mampu, saya bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa dengan segala keterbatasannya, saya telah melakukan banyak kesalahan, kebodohan, dan menuai begitu banyak konsekuensi dari kebodohan saya tersebut, saya menderita, dan saya membutuhkan bantuan untuk pulih dan memperbaiki diri.
Ketika di titik itu, saya menyerah pasrah pada Mbak Ay, berendah hati untuk betul-betul mau dibimbing. Apa pun umpan balik dari Mbak Ay, sepedih apa pun saya terima dengan terbuka, sangat tidak nyaman tentu, tapi entahlah rasanya saat itu sudah tak ada perlawanan lagi dari diri saya untuk menyangkal. Semua yang disampaikan Mbak Ay mengenai fakta diri saya benar adanya. Saya seburuk itu!
Dari situlah perjalanan memperbaiki diri yang sesungguhnya saya mulai. Latihan hening dari nol lagi, karena memang selama itu bertahun-tahun ternyata saya belum mampu hening dengan benar. Karena hening yang benar cara SMSHD ternyata juga memerlukan kerendahan hati untuk sungguh-sungguh mengosongkan gelas dan mau berupaya berlatih dengan serius. Tanpa itu heningmu nggak akan ada kemajuan berarti. Kalau sombongmu masih dipiara, merasa bisa dan paham, biasanya akan frustasi sendiri dan menganggap ajaran ini sulit. Hi hi hi yang bikin sulit kepalamu sendiri yang ruwet dengan egomu itu, lho.
Begitulah sedikit cerita pengalaman kengeyelan saya. Semoga teman-teman yang masih maksa, keukeuh, menganggap sudah manut, tapi skor-skor evaluasinya masih mengenaskan, mari berkaca. Benarkah saya sudah manut dan mengikuti ajaran ini dengan cara belajar yang benar? Kalau masih muncul sejumlah pembenaran dan argumen-argumen dari pikiranmu, itu tandanya kamu masih ngeyel, hi hi.. Masih mau ngeyel kalau kamu ngeyel? Udahan ah, capek.. keburu nafasmu berhenti lho nanti.
Nenden Fathiastuti
Leader di Persaudaraan Matahari dan CEO The Avalon Consulting
28 Oktober 2024
Reaksi Anda: