Istilah ini saya pakai untuk menggambarkan isu prasejarah fenomenal yang terjadi di komunitas Persaudaraan Matahari (PM). Semenjak Ajaran Spiritual Murni Setyo Hajar Dewantoro (SMSHD) mengalami facelift, yang tadinya hanya bernama Ajaran Spiritual SHD, kini menjadi SMSHD, lalu terus berkembang, dan sampai saat ini telah berkode Grand Tourer (GT). Apa itu GT, silakan baca artikel berjudul Gran Turismo ya supaya nyambung.
Saya termasuk penghuni orde lama yang sudah beranjak ke orde baru. Saya memang cukup adaptif dan tangguh terhadap perubahan sehingga selalu up to date mengikuti perkembangan ajaran yang berasal dari pertumbuhan kesadaran Guru SHD sebagai pemandu Ajaran SMSHD. Perkembangan ini selalu berdampak kepada perubahan metode belajar dan berdampak pula kepada parameter yang harus terkalibrasi. Bisa dikatakan saya tidak pernah ‘ketinggalan’ atau kurang up to date (kudet) terhadap transformasi Guru SHD yang berimbas kepada transformasi Ajaran Spiritual Murni ini.
Sejak tahun 2019, saya berkontribusi aktif bersama, katakanlah tim R&D (Research & Development) Ajaran SMSHD, dengan peran menjadi salah satu penangkap pesan langit. Saya beserta tim R&D adalah yang paling pertama mengalami trial errors atas penemuan langitan hasil pertumbuhan kesadaran Guru SHD sebelum disahkan menjadi bagian dari penyempurnaan Ajaran SMSHD. Kamilah yang menjadi tim sampling dan uji coba bagi berbagai manifestasi pengetahuan langitan yang dimaterialkan dalam Ajaran SMSHD.
Dengan banyaknya kesaksian yang saya alami, baik yang langitan maupun yang bumian, maka sangat tidak logis apabila saya malah tidak bergerak maju mengikuti perubahan dan memilih untuk kudet. Hasil akhir dari proses panjang mengikuti alur perubahan ini adalah transformasi diri yang tadinya paling bemo dalam tim, pelan-pelan terus naik secara kesadaran, sementara yang lain satu persatu meluncur ke bawah.
Setelah terus bertahan menjadi juara kelas di komunitas, apalagi setelah menjadi pamomong, saya menyadari bahwa ketangguhan dan integritas adalah barang langka di komunitas, tidak terkecuali bagi tim orde lama. Banyak yang lebih senang dengan mode belajar ala orde lama yang dinilai lebih santai, lebih banyak keseruan metafisika galore, lebih banyak servis dukun yang diobral, dianggap lebih mudah, lebih hura-hura, lebih menyenangkan dan party-like, lebih mendayu-dayu mesra dalam haru biru yang tidak permanen, tidak banyak kewajiban dan tentu dianggap lebih instan. Dulu yang ber-LoC 500 itu seperti obral di Ramayana. Sekarang ingin menemukan yang stabil ber-LoC 300 saja tidak mudah.
Pertumbuhan kesadaran Guru SHD otomatis berdampak instan kepada Ajaran SMSHD yang semakin hari makin berkembang, semakin detail, semakin lengkap, semakin disempurnakan, semakin tajam, semakin minim bias, semakin bermanfaat, semakin penuh keajaiban, namun juga semakin besar tanggung jawab dan semakin minim toleransi. Yang dulunya Sisi Gelap (Sigel) hanya terdeteksi di lapisan sadar, sekarang terdeteksi di lapisan yang lebih dalam, yaitu lapisan bawah sadar dan tidak sadar.
Yang dulu pernah dianggap sudah beres sisi gelap di lapisan sadar, maka angka tingkat kesadarannya akan terkalibrasi kembali akibat objek purifikasi semakin mendalam. Hal ini menyebabkan PR ngosek sisi gelap menjadi bertambah banyak, proses pemurnian pun menjadi lebih panjang. Dari sinilah drama ngambek dan pemberontakan terhadap perubahan yang dianggap tidak menyenangkan dimulai.
“Udah enak-enak LoC 500, kok malah jadi banyak PR baru.”
“Dulu saya sudah pernah LoC 500, apa salah saya sehingga sekarang jadi segini.”
Lagi-lagi drama berbasis isu perubahan a.k.a. transformasi. Apalagi zaman dulu belum ada parameter berupa angka stabil atau rata-rata yang lebih realistis seperti sekarang. Parameter dilakukan secara parsial saja yang hanya diintip setelah momentum spesial. Misalnya, setelah acara retreat dan workshop, di mana banyak yang terkena energi boosting sehingga angka LoCnya menjulang tinggi. Namun angka indah ini tidak pernah termanifestasi secara nyata di kehidupan.
Keluar dari zona nyaman memang tidak menyenangkan, tapi ini adalah sebuah resiko bagi yang mau mentransformasi diri. Masa iya, hanya mau manfaatnya saja tanpa mau mengemban tanggung jawab dan menanggung resiko, kok enak? Pola pikir ‘popmie’ memang meronta sebagai hasil pendidikan untuk selalu mencari jalan yang lebih mudah, instan, dan penuh pamrih.
Para penghuni orde lama ini sulit sekali melepas model belajar versi orde lama karena dulu merasa sering mendapatkan pemenuhan hasrat egoistik dengan mudah. Sehingga pada akhirnya isi kepala hanya penuh dengan kenangan indah dan kemudahan yang melekat dengan erat dan sulit dilepaskan. Inilah yang kemudian menjadi bahan bakar bagi semangat pemberontakan dan totalitas dalam menumbangkan oknum yang dianggap sebagai pencetus perubahan, serta sibuk berburu jalan pintas agar segera mendapatkan kemudahan yang sama persis seperti dulu.
Drama amnesia, ngambek, dan kabur dari komunitas dengan bonus menyebar kebencian mewarnai aksi protes dan demonstrasi pemberontakan #kembalikanSHDyangdulu di komunitas. Yang menjadi objek sebagai oknum kesalahan tentu yang saat itu dianggap tingkat kesadarannya paling dekat dengan Guru SHD, sehingga dianggap sebagai juara kelas dan mengemban banyak peran penting seputar pembelajaran SMSHD.
Dulu ketika juara kelasnya bukan saya, maka mantan juara itulah yang menjadi objek demonstrasi #kembalikanSHDyangdulu. Tetapi seiring berjalannya perubahan yang tiada henti, akhirnya Sang Juara Kelas pun turut tergeret arus ngambek dengan alasan yang sama, yaitu menolak perubahan yang dianggap tidak adil dan menyulitkan. Dan, kemudian memilih menjadi mantan serta bergabung dengan para pendemo #kembalikanSHDyangdulu. Akibatnya podium oknum objek demonstrasi teralihkan kepada saya sebagai yang menduduki posisi juara kelas berikutnya.
Warisan sikap orde lama ini masih cukup merajalela di komunitas, dan ditularkan melalui mode ghibah antar anggota yang punya preferensi belajar yang sama. Pisuhan dan gerundelan bahwa sayalah penyebab penghuni orde lama banyak yang kabur, sayalah penyebab perubahan metode belajar yang menyulitkan di komunitas, sampai dengan tuduhan bahwa sayalah penyebab perubahan Guru SHD yang tadinya penuh puk-puk toleransi berubah jadi galak.
Mental korban selalu membuat manusia merasa berhak menyalahkan pihak lain, sebagai sarana penghiburan diri terhadap hasil belajar yang mengalami kemandegan dan tidak kunjung bertransformasi atau mendapatkan apa yang diinginkan. Mau menyalahkan Guru SHD, mana berani? Apalagi menyalahkan ajaran. Maka, yang paling mudah dan memuaskan adalah menyalahkan siapa pun yang dianggap sebagai ancaman bagi upaya dalam memenuhi hasrat egoistiknya.
Lho, gimana sih, belajar spiritual kok logika bukannya jadi lurus, malah salto jumpalitan tak menentu. Guru SHD sudah galak seperti sekarang ini sejak saya pertama belajar, terhadap saya lho, ya. Mana saya mengerti kalau galaknya beliau hanya kepada saya saja sehingga yang lain terlena dalam zona mager penuh toleransi dan puk-puk pemakluman? Bagi saya, kegalakan Guru SHD yang terjadi pada teman-teman saat ini adalah sama persis dengan kegalakan zaman dahulu terhadap saya.
Jadi, kalau ada yang mengeluh akan perubahan Guru SHD menjadi galak, saya hanya akan merespons, “Duileh, baru ngerasain? Kemana aja selama ini?”
Penghuni orde lama yang berhasil melampaui kepicikan dan kemageran cara berpikir ini cukup langka. Segelintir yang berhasil tentu yang saat ini sudah tampak hasilnya dengan kestabilan pencapaian kesadaran Shanaya, Shamballa, Shangrilla, bahkan Shalalla setelah berjuang melampaui zona mager orde lama.
Para murid Guru SHD angkatan prasejarah yang telah berhasil membangun ketangguhannya agar mampu bergerak bersama perubahan yang terjadi dari Ajaran SMSHD biasa menjadi Ajaran SMSHD-GT. Yang berhasil menari dengan gerak Semesta dan tentu tidak akan lagi menyalahkan saya atas berbagai perubahan yang terjadi karena pemahaman akan Ajaran SMSHD-GT yang cukup baik dan mendalam sehingga logikanya tidak kusut ditelan sisi gelap.
Saya adalah produk dari perubahan yang bergulir selama ini. Saya pun, mau–tidak mau, turut berubah mengikuti gerak Semesta. Saya menari bersama gerak perubahan yang digerakkan oleh Semesta, sehingga saya mampu mencapai titik kesadaran saat ini dan membantu menerjemahkan kembali ajaran dalam rangka meringankan proses belajar teman-teman untuk mencapai keberhasilan belajar Ajaran SMSHD. Supaya ndang pada cepat netes jadi manusia berkualitas GT.
Tapi lagi-lagi begitulah fenomena dunia spiritual yang katanya mempelajari ilmu langit dan ketuhanan, giliran menginjak Bumi akal sehatnya malah lenyap menguap bersama dongeng indah akan surga.
Pak Einstein saja menyatakan bahwa untuk mengukur kecerdasan seseorang tinggal dilihat saja kemampuannya untuk berubah. Jadi, tidak perlu mahal-mahal bayar tes psikologi, tinggal bercermin saja dan silakan berefleksi diri atas kemampuan diri untuk bertransformasi.
Gimana menurutmu, setuju nggak? Mau memilih jadi tim mager orde lama atau tim tangguh yang siap bertransformasi?
“The measure of intelligence is the ability to change” – Albert Einstein.
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
9 Oktober 2024
Reaksi Anda: