Webinar paling syahdu yang pernah saya ikuti, tidak bisa nyambi dan tidak ingin menyambi. Semua pekerjaan saya stop, tidak ngecek sana sini, mode satpam off total. Rasanya hanya ingin merem saja, menghayati apa yang Guru SHD wedarkan, walaupun saya tidak mengerti buku Paulo Coelho.
Mendengarkan satu baris kesimpulan dari pengertian isi buku dari Guru SHD membuat saya merasa sudah lebih dari cukup. Mayan banget, nggak usah capek-capek baca, apalagi pakai bahasa puitis melankolis metaforik, gitu. Doh, malasnya – saya lebih suka yang to the point. Maka, saya melakukan meditasi formal selama SHD mewedarkan pengetahuan Semesta, lalu mulailah saya menangis terisak-isak berurai air mata.
Tercenung ketika Guru SHD mengatakan jalan spiritual murni adalah jalan yang sunyi. Iya banget, karena memang jarang yang mau dan suka mendalami spiritual murni. Kalau spiritual yang lain-lain banyak dan ramai sekali. Ibaratnya seperti acara major marathon yang super ramai dan euphoric, tetapi sebatas imaji kebenarannya masing-masing, tanpa ada yang bisa membuktikan dengan pasti karena semua serba meraba dan mengira.
“Spiritual murni ini keluar dari arus utama dan petualangan yang sunyi.”
Duh, makin mewek. Ya iya banget, bener memang sunyi – tidak ada siapa-siapa di ruang kesadaran yang sama dengan saya saat ini. Apalagi Guru SHD yang nun jauh di atas sana, temannya cuma Tuhan dan entitas cahaya yang selalu ‘berkomunikasi’ dalam coding Semesta, dimana membutuhkan keahlian yang lebih canggih dari sekadar cyphering dalam memecahkan encrypted algoritma kode Semesta.
Algoritma Semesta yang masuk ke lokasi titik koordinat planet Bumi sudah pasti terbatas jumlahnya, lalu masuk lagi ke indera manusia dengan ruang kesadarannya yang beragam. Makin rendah ruang kesadaran, tentu makin minim coding itu bisa ditampung. Namanya juga ruangnya sempit.
Boro-boro lengkap sehingga bisa disusun dan dipecahkan maknanya. Bisa menangkap secuil bagian saja sudah bagus banget, itu pun kemudian dibuat narasi dongeng sesuai kapasitas khayalan masing-masing yang tidak utuh, ilusif dan ambigu, namun disukai. Ambiguitas memang lebih diminati karena ada efek misterius dan eksklusivitas seolah-olah harus yang ‘terpilih’ saja yang mampu mengerti. Padahal siapa saja bisa kok mengerti asalkan tahu dan mau memakai cara yang tepat, perangkatnya sudah diberikan oleh Tuhan, tinggal didayaguna saja dengan membersihkan kotorannya dulu alias pemurnian jiwa raga dulu.
Nangis berikutnya ketika baru sadar kalau yang paling penting buat saya saat ini adalah kebahagiaan sejati dan keberadaan Tuhan yang ada di relung hati.
Doh mewek, terutama ketika Guru SHD menyatakan harta ada di relung hati, makin mewek karena rasanya kayak ada yang menyapa seperti pendaran hangat menyelimuti seluruh lapisan tubuh, padahal secara fisik saya lagi kedinginan. Teringat tentang kekuatan akan tujuan Agung (great purpose) yang baru saya dapatkan melalui proses belajar Spiritual Murni Setyo Hajar Dewantoro (SMSHD). Dulu mana ngerti great purpose, wong cuma pingin belajar meditasi, titik.
Tapi dari meditasi/hening SMSHD malah mendapatkan banyak hal yang di luar dugaan dan tidak pernah diharapkan, yang membuat saya memilih, “Saya mau jalan yang ini aja, ah!”
Bagi saya lebih enak dan lebih enteng karena membebaskan yang bukan kengawuran. Bebas, tetapi terbatasi oleh aturan tertinggi, yaitu Hukum Semesta buatan Tuhan, bukan buatan manusia yang ambigu semau-mau dhewe.
Saya memilih kehidupan yang ringan dan enteng, walaupun konsekuensinya ada di ruang yang sunyi tadi itu. Sendirian, tapi bukan kesepian, sunyi di tengah keramaian hiruk-pikuk drama dan dinamika umat manusia.
Sedirian menjaga kesetimbangan dan harmoni dalam diri agar minimal tidak menambah drama dinamika dunia, dan minimal sedikit-sedikit mulai bisa membantu dan berkontribusi dalam perjuangan – mendampingi proses belajar agar semakin banyak lagi yang bisa menyaksikan dan mengalami apa yang saya alami. Siapa tahu bisa bertemu di ruang kesadaran yang sama.
Dan, pilihan inilah yang membuat saya mampu berdiri tegak di ruang yang sunyi, jauh dari arus utama. Dicemooh, dilecehkan, dianggap sesat, dijauhi, dimusuhi, disalahartikan, dibiaskan, diprasangkaburukkan, dan seterusnya, oleh banyak pihak yang tidak pernah saya rugikan, bahkan kenal juga kagak. Iman dan keyakinan akan pilihan ini membuat saya seperti punya kekuatan yang menopang dengan penuh kasih, yang hanya bisa saya jangkau melalui keheningan dan keterhubungan dengan Diri Sejati, dengan Tuhan di relung hati.
Tuhan selalu ada di mana pun, di situasi apa pun. Baik situasi yang buruk maupun yang indah, baik dalam bencana maupun keberuntungan. Karena semua gerak di Jagat Raya ini adalah gerak Tuhan.
Jadi inget Guru SHD pernah menyatakan bahwa Tuhan ada di kecoak yang nyebelin dan bau itu. Ah, iya juga, Tuhan ada di mana-mana, kok, ngapain dicari-cari terus. Wong jelas Tuhan yang menciptakan Hukum Semesta dan semua yang ada di Jagat Raya bergerak mengalir mengikuti semua hukum yang telah ditetapkan bekerja.
Kan ada frasa so above so below, kalimat cantik yang mendeskripsikan keberadaan Tuhan dengan Hukum Semestanya dengan baik. Tetapi, mau bagaimana pun hanya ruang kesadaranlah yang akan membawa manusia kepada pemahaman yang utuh bulet sebagai kebenaran sejati yang tak tergoyahkan oleh apa pun. Tidak ada yang lain.
Rasanya syahdu dan romantis banget perjumpaan denganNya malam ini. Dan kalau lagi haru-biru begini rasanya tidak mau apa-apa lagi, hanya mau bersyukur dan berulang kali mengucap terima kasih.
Thank you.
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
30 Januari 2025
Reaksi Anda: