Dulu saya bertanya-tanya, mungkinkan manusia mati tanpa mengalami sakit berat atau peristiwa ekstrem penyebab kematian?
Tidak ada yang bisa menjawab sampai saya belajar SMSHD, di mana dijelaskan dengan gamblang apa itu hukum kosmik yang meliputi Jagat Raya dan apa bentuk nyata kerja Hukum Kosmik pada makhluk Bumi bernama manusia.
Makna keselamatan dan ngunduh wohing pakarti sebagai bagian dari Hukum Kosmik, yaitu hukum sebab-akibat menjadi dasar bagi bergulirnya kehidupan manusia di Planet Bumi.
Bahwa apa pun peristiwa yang kita alami merupakan buah karma dari apa yang kita tanam selama hidup di masa ini dan dari gembolan sisa panen dari kehidupan di masa lalu selama jiwa ini ada. Keadilan dan kesetimbangan Alam Semesta selalu terjadi secara natural menimbulkan momentum yang sering disalahartikan oleh manusia yang hidupnya dibatasi oleh kotak ilusi akan ilmu pengetahuan dan keyakinan yang tidak pernah terbuktikan kebenarannya.
Akhirnya, pertanyaan saya terjawab sudah.
Bahwa sangat dimungkinkan manusia mati tanpa perlu melalui sebuah peristiwa mengenaskan dan sakit parah terlebih dahulu, yang dalam SMSHD dinyatakan sebagai ‘jalan keselamatan’.
Bagi yang tidak percaya bahwa jiwa ada dan terus berevolusi, tentu tidak percaya tentang adanya hukum sebab-akibat ini, maka kisah ini saya sajikan bagi yang percaya akan keberadaan jiwa dan Hukum Kosmik.
Refleksi saya kali ini merupakan sebuah pembelajaran yang membuktikan bahwa menjadi orang baik saja tidak cukup untuk membuat hidup ini lepas dari proses menuju kematian yang penuh derita fisik yang disebut sakit berat, bahkan menularkan derita fisik kepada sanak keluarga yang merawat.
Saya memiliki seorang sahabat yang di hari tuanya jatuh sakit gagal ginjal setelah 15 tahun mengidap sakit gula sehingga ginjalnya rusak parah akibat konsumsi obat gula. Saat saya menulis ini, yang bersangkutan (ybs) sedang tergeletak di ICU dan sudah sempat tidak sadarkan diri sehingga perlu alat bantu pernafasan. Hidupnya belum berakhir, namun organ-organnya sudah rusak parah sehingga hanya menunggu momen pindah dimensi itu tiba, di mana organ tubuh tidak mampu lagi memberikan energi hidup bagi Sang Nyawa.
Bagi saya, sahabat ini hidupnya merupakan cerminan orang baik, dia rakyat jelata yang mendedikasikan hidupnya untuk membantu orang lain, bermanfaat bagi orang lain sesuai kemampuannya yang seringkali diremehkan.
Kemampuannya adalah menjadi manusia jujur dan selalu bersedia menolong siapa saja dengan sukacita. Ybs ini bekerja sebagai messenger sejak zaman ayah saya masih bekerja. Setelah ayah saya pensiun, maka ybs pun ikut ke mana pun saya bekerja. Tahun 2007 kami berpisah tempat kerja, namun ybs ini tetap siap sedia kapan pun saya membutuhkan, menemani saya di saat sulit dan selalu terlupakan di saat senang.
Ybs selalu meninggalkan sejarah yang baik bagi semua tempat yang dipijaknya, setiap kantor yang kehilangan ybs akan terkena imbas kerepotan yang hakiki karena kesulitan mencari pegawai yang setia, gesit, dan jujur seperti ybs ini.
Namun, tabungan kebaikan selama hidupnya tidak cukup untuk menyelamatkan ybs dari sebuah penyakit berat yang penuh derita fisik.
Ternyata jadi orang baik saja tidak cukup.
Dalam standar penduduk ibukota, ybs memenuhi semua syarat kehidupan sosial dan budaya setempat, uang pensiunnya dipakai untuk umroh bersama istrinya. Pendidikan dan kehidupan yang ybs jalankan tidak mampu membuka kesadaran bahwa bisa lho hidup ini dijalankan dengan selaras sehingga tidak perlu mengalami resiko penyakit berat.
Ketulusan dan sukacita banyak berperan dalam keberuntungan selama hidupnya. Bantuan dan pertolongan materiel menjadi bagian dari Hukum Kosmik yang berjalan bagi dirinya dalam konteks hukum karma, namun tidak menyelamatkan dari penyakit berat yang dideritanya.
Saya ingat konsep yang ditanamkan oleh ortu bahwa manusia yang mengalami sakit berat berarti sedang membakar dosa-dosanya agar masuk surga.
Benarkah demikian?
Bagi saya konsep itu merupakan pembiasan pengertian Hukum Kosmik itu sendiri, mengerti ada hukum timbal balik/hukum karma, namun ditafsirkan dalam rangka penghiburan dan penyemangat diri saja. Seolah-olah dengan sakit dan menderita, maka akan menjadikan jiwa ini bebas dari dosa.
Padahal kalau sakit dan derita dijalankan dengan pemberontakan dan bukan kepasrahan, lalu kapanlah dosa itu berakhir?
Kemudian saya teringat teman seperjalanan yang mengalami sakit berat menuju ke hari akhir dan ketika berpindah dimensi ybs ‘berpamitan’ dengan membawa segenap rasa penyesalan. Oh, itulah yang yang dinamakan Sang Jiwa membawa jejak emosi yang belum dibereskan semasa hidup dan membawa isak tangis mendalam bagi jiwa tersebut.
Bukan hanya dosa yang harus dibakar dalam bentuk sakit karena sakit berat sudah dianggap berakhir ketika jiwa berpisah dari raga. Tapi, Sang Jiwa terus membawa jejak emosi walaupun sudah lepas dari tubuh, membuktikan bahwa masih banyak hal lain yang perlu dibereskan, selain jejak dosa yang dikenal paling populer sebagai penghalang pintu surga.
Pertanyaan saya di masa lalu terjawab dengan lengkap dan logis dalam sebuah penyaksian yang divalidasi oleh ajaran Spiritual Murni Setyo Hajar Dewantoro (SMSHD). Dan, membuat saya mengerti lebih dalam lagi tentang ajaran SMSHD yang berisikan tentang Hukum Kosmik dan apa makna pemurnian jiwa.
Ada yang memiliki penyaksian lain?
Ay Pieta
Direktur dan Pamomong di Persaudaraan Matahari
26 Agustus 2024
Reaksi Anda: