Skip to main content
Refleksi

TIME HEALS

13 November 2024 Ay Pieta No Comments

Time Heals.
Pernah membaca frasa puk-puk ini? 

Sebagai mantan penggemar kalimat bijak pelipur lara, frasa ‘Time Heals‘ ditujukan bagi isu seputar penyakit mental, luka jiwa, innerchild, dkk. Artinya, dengan berjalannya waktu, maka luka jiwa pasti tersembuhkan dengan sendirinya. Sebuah kalimat bersayap yang dimaknai secara umum; seolah-olah tanpa upaya apa pun, waktu yang berjalan secara pasti akan melenyapkan atau menyembuhkan penyakit.

Yang menarik adalah ketika sebuah konten antagonis menyatakan sebaliknya, lalu diserbu netizen ngamuk dengan beragam sumpah serapah. Wajah kenormalan umat manusia yang penuh luka batin, spontan nyinyir apabila orang lain memberikan pendapat yang berbeda. Memang situasi ini harus dimaklumi karena tidak banyak yang kenal Ajaran Spiritual Murni Setyo Hajar Dewantoro (SMSHD) dan pemurnian jiwa yang otentik, sehingga perlu katarsis bagi tumpukan emosi dan luka batin yang tebal.

Terpantik oleh para netizen nyinyir, maka saya jadi ikutan berefleksi dari kalimat itu, apakah benar kesembuhan hanya membutuhkan variabel waktu yang berjalan begitu saja? Menurut pengalaman otentik diri, jawabannya adalah tidak mungkin hanya variabel waktu yang akan menyembuhkan. Banyak variabel lain yang menjadi faktor dominan penentu sebuah kesembuhan. Bagi saya, apa pun bentuk penyakitnya, tanpa intervensi yang tepat, selalu ada kemungkinan kondisi menjadi lebih buruk. Bukannya terjadi kesembuhan, malah menjadi lebih buruk lagi.

Waktu yang terus berjalan tentu menjadi pendamping sebuah proses penyembuhan, maka pengertian frase Time Heals ini lebih tepat apabila dikorelasikan dengan realita bahwa ‘tidak ada yang instan dalam proses penyembuhan, penyembuhan perlu waktu dan kesabaran’.

Bagi saya, yang sudah kenyang dengan kalimat bijak psikologi dan filsafat, saya sepakat dengan konten antagonis itu. Memang bukan Time Heals, tapi lebih tepat dan realistis adalah Time Forgets. Dengan berjalannya waktu, tanpa intervensi yang tepat, maka kita menjadi lupa untuk sementara waktu. Karena tidak lagi mengalami beragam spektrum emosi, kemudian berilusi merasa sudah baik-baik saja seolah-olah terjadi kesembuhan yang permanen. 

Ada juga yang mengatakan Time Forgives. Tetapi, menurut pandangan saya tetap dasarnya adalah karena lupa. Pemakluman dan proses maaf memaafkan terjadi karena sebuah pendewasaan yang membuat diri lebih memilih untuk melupakan akibat lelah berkonflik lebih lanjut. Pada lapisan permukaan seolah-olah menggambarkan kesembuhan karena tidak terjadi lagi spektrum emosi yang ekstrem. Namun, kalau diteropong dengan Rasa Sejati oleh para jiwa murni – yang sudah tuntas membersihkan sisi gelap – maka akan terlihat jelas bahwa jejak kekeruhan di berbagai lapisan kesadaran masih ada. Yang tampak di permukaan bukan jaminan sepadan dengan realitas jiwa, karena jejak koleksi luka jiwa hanya tertimbun saja sementara waktu. 

Area psikologis memang hanya bekerja sampai di sini, meredam koleksi spektrum emosi terrepresi masuk ke dalam lapisan kesadaran secara terus menerus, sehingga lama-lama memejal menjadi sebuah sakit fisik. 

Gejala pendaman spektrum emosi dalam stadium ringan mudah sekali terlihat pada lambe nyinyir. Ungkapan ketidakbahagiaan milik diri sendiri yang diproyeksikan pada objek lain sebagai katarsis pendaman spektrum emosi yang direpresi, ditekan, dan dilupakan seiring berjalannya waktu. Boro-boro melihat kebajikan yang nyata di luar diri, pada diri sendiri saja sulit sekali berfokus kepada hal-hal yang bisa disyukuri.

Tidak heran apabila banyak yang mengaku sudah menjadi praktisi meditator puluhan tahun, atau mengaku belajar spiritual sejak kecil, atau hidupnya didedikasikan dalam bhakti yoga dan beramal, tapi sehari-hari kerjanya hanya menyinyiri kesuksesan dan kebahagiaan orang lain. Ada juga yang profesinya sebagai penyembuh bagi orang lain, tapi karena diri sendiri belum disembuhkan, maka dibalik glorifikasi filter social media, ternyata beliau ini sibuk menebar fitnah karena takut kehilangan ‘omset’ bagi profesinya.

Dalam kacamata spiritual murni, Time Heals tidak lain hanyalah manipulasi waktu. Secara nyata yang terjadi adalah apa yang diilustrasikan dengan menyembunyikan sisi gelap di bawah karpet atau menunda sampai saat bom waktu ledakan tinja tiba. Persis seperti pengalaman diri yang diceritakan dalam artikel Standar Langit, sebagai bukti nyata bahwa berjalannya Sang Waktu tidak serta merta menyembuhkan, tapi jelas hanya melupakan. 

Perlu variabel lain berupa alat yang akan membantu proses penyembuhan secara tuntas dan permanen sampai ke lapisan tidak sadar. Dalam Ajaran SMSHD, alat itu bernama meditasi/hening metode SMSHD dan proses penyembuhannya disebut dengan pemurnian/purifikasi jiwa.

Inilah yang membedakan pemurnian jiwa otentik dari Ajaran SMSHD dengan berbagai ajaran lain. Proses pemurnian jiwa yang didapatkan dengan praktik meditasi/hening metode SMSHD tidak akan membuat ‘lupa’ dan menumpuk atau merepresi data rusak dengan data diinginkan. Tetapi, meditasi metode SMSHD menyirnakan data rusak dengan energi kasih murni sehingga memberikan ruang untuk menyimpan data baru yang lebih selaras. Selanjutnya akan berdampak kepada terciptanya medan energi diri menjadi lebih baik dan menata ulang tatanan di setiap lapisan kesadaran sehingga rajutan karma menjadi lebih selaras.

Melalui Ajaran SMSHD, proses pemurnian akan memurnikan, membersihkan, mempurifikasi akar asal mula penyebab berbagai penyakit mental dan fisik, yang merupakan hasil dari endapan koleksi sisi gelap yang diciptakan sendiri. Meditasi/hening metode SMSHD pun bermanfaat untuk menjaga kestabilan ‘kebersihan’ sepanjang waktu, agar tidak mencipta jejak luka baru dan endapan baru serta mencegah potensi ‘penyakit’ baru. 

Inilah bagian paling penting setelah ‘kebersihan jiwa’ tercapai, yaitu memastikan agar ‘kebersihan’ terjaga sepanjang waktu sampai kontrak hidup di Bumi selesai. Dengan terjaganya ‘kebersihan jiwa’, maka medan energi yang sepadan akan membawa kita pada living la dolce vita, surga di Bumi yang stabil dan permanen.

Jadi, saya sepakat apabila kalimat judul artikel ini dilengkapi dengan disclaimer ‘syarat dan ketentuan berlaku – ttd. Hukum Kosmik’.

 

Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari 
11 November 2024

Share:

Reaksi Anda:

Loading spinner
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda