Refleksi

Tumbuh Beneran, Bukan Sekadar Packaging

7 December 2025 Thomas Theo Roberto No Comments

Kadang saya mikir, otak saya ini sebenarnya butuh hening… atau butuh diservis kayak motor tua? Soalnya sudah ikut kelas, sudah dengar neurosains, sudah latihan hening, tapi tetap aja ada sisi di kepala yang jalannya kayak sinyal 2G di pelosok: muter-muter, connecting… connecting gagal sambung. Webinar kemarin jadi kaca pembesar yang memperlihatkan betapa banyak “upgrade” yang saya kira sudah kelar, ternyata cuma loading bar palsu.

Saya baru ngeh bahwa memperbaiki otak itu bukan cuma soal minum vitamin Omega-3 atau tidur tujuh jam. Neurosains bilang hening bikin otak makin cerdas dan gampang belajar. Tapi saya? Lah, pintu belajar aja sering saya tutup sendiri. Sok-sokan “udah tahu”, sok-sokan “udah bisa”. Kesombongan versi saya itu bukan gaya sombong level influencer. Bentuknya lebih culun: sungkan nanya, ragu ngomong, atau ngerasa nggak enak. Tapi, ya tetep aja itu kesombongan namanya. 

Contoh paling relate, ya waktu saya motoran. Macet, panas, ada yang nyalip dari kiri kayak utang dikejar debt collector. Saya kesel, tapi beberapa detik kemudian saya ikut-ikutan nyalip biar nggak “kalah”. Lah, apa nya yang mau saya menangkan? Jalanan? Prestige di antara knalpot dan debu? Itu tuh bentuk nyata pola pikiran saya: gampang kebawa suasana. Hening saya sehalus itu ternyata: diklakson dikit langsung buyar. Tiap momen kayak gitu tuh seperti reminder keras, “Bro, lu ini masih reaktif level gratisan.”

Bagian kecerdasan dan pencerahan juga nyentil. Katanya orang belum tercerahkan bisa cerdas, tapi orang tercerahkan pasti cerdas. Saya langsung mikir, “Oalah, berarti saya masih di jalur tengah. Yang nggak cerdas-cerdas amat, nggak tercerahkan juga.” 

Tapi ya sudahlah, minimal saya masih bisa ketawa menyadari kebegoan saya. Dan kabar baiknya, kebegoan itu bisa direparasi asal saya nggak belok ke jalur halu: belajar spiritual ngawur, emosi tak terurus, atau kesombongan yang suka bilang, “Udah bisa, kok.” Lah bisa dari mana? Dari Hongkong?! 

Terus ada lagi tentang kesombongan. Yang ini nusuknya halus, tapi pedih. Saya pikir selama ini saya nggak sombong. Ternyata bentuk kesombongan versi saya itu simpel: males nanya, gengsi ngaku nggak paham, takut terlihat oon. Waktu kerjaan nggak sesuai ekspektasi, saya sibuk cari alasan. Waktu ada hal sepele bikin jengkel, saya langsung bereaksi. Waktu seharusnya saya terbuka, saya malah menutup pintu rapat-rapat. Mental blok saya tuh rajin banget kerjanya. Dan kalau dilihat lebih dalam, pantes aja learning zone saya sempit: lha wong saya sendiri yang bolak-balik nutup gerbangnya.

Webinar juga ngingetin soal bersih-bersih “sigel”. Ini sih bukan skincare biar keliatan glowing. Ini lebih mirip bebersih gudang yang sudah bertahun-tahun nggak dibuka: debu emosi, sarang laba-laba persepsi, tumpukan karma, kabel-kabel energi yang kusut.

Semuanya cuma bisa diberesin kalau hening saya bener, bukan hening boong-boongan. Kalau saya berani ngadepin pola lama yang saya sayangi (padahal nyusahin), luka batin yang muncul pas lagi nggak siap, dan bagian ego yang masih betah jadi raja kecil. Selama saya masih pelihara itu, ya jangan harap ada perubahan besar.

Saya tahu diri kok: saya jelas masih jauh dari versi terbaik diri. Tapi juga bukan lagi yang dulu – sok tenang tapi gampang “bocor”. Saya masih belajar buka diri, belajar jujur tanpa drama, belajar rendah hati tanpa minder. Dan, kalau saya beneran pengen otak ini naik kelas, nggak cuma cerdas tapi juga waras. Ya saya harus terus latihan hening yang bener, bukan hening gaya “diam tapi ngedumel dalam hati”.

Ini perjalanan panjang nan tak berujung (ceileeee). Capè? Kadang. Memalukan? Sering. Tapi ya mau gimana lagi, kalau pengen bertumbuh beneran, ya harus dijalani tanpa carles, tanpa pura-pura. Biar saya tumbuh beneran, bukan sekadar packaging.

Matur nuwun Mas Guru, Mak Ay…

 

Thomas Theo Roberto
Pembelajar Sekolah Keheningan
4 Desember 2025

Share:

Reaksi Anda:

Loading spinner