Sudah cukup lama musim terik dilalui, bangsa yang pernah besar kehilangan jati dirinya. Semenjak usia anak-anak aku seperti merasakan hal yang berbeda kala membaca cerita kisah Majapahit di buku sejarah SD. Disaat sebagian saudara-saudara sebangsaku mengidolakan tokoh-tokoh dari tanah sabrang, aku justru begitu akrab terhadap tokoh-tokoh yang pernah ada di tanah air kelahiranku. Salah satunya Eyang Mahapatih Gajah Mada. Tak tau kenapa, aku sangat merasa ada kedekatan kusus dengan perbawa beliau.
Seiring waktu berlalu, diikuti pertumbuhan nalar dan perasaanku, aku merasa seperti dibesarkan oleh pamor leluhurku. Sejak muda aku haus akan ngangsu kaweruh. Dibesarkan oleh budaya yang begitu luhur, didik menjadi pendekar dan di cekoki ngilmu-ngilmu adiluhung yang diwariskan secara tutur tinular oleh Guru-guru Sepuh dan simbah-simbahku. Semakin kesini aku semakin mantap bahwa aku adalah bagian dari bangsa besar. Kita yang berada di tanah ini adalah pewaris DNA bangsa besar, manusia -manusia tangguh yang berjiwa Kasatria Pinandhita sinisihan wahyu.
Mungkin upaya penghancuran dan penjajahan bangsa ini belum usai, kita dibutakan dengan ideologi, aturan-aturan yang di gubah, sejarah-sejarah yang di belokan, atau pembodohan masal berbasis kurikulum pendidikan. Tapi aku percaya bangsa ini mewarisi sebuah ageman agung yang belum tentu dimiliki bangsa lain. Aku menyebutnya pusaka/pamor/perbawa (sebuah daya agung saat secara kolektif manusia tertuntun oleh sang hingsun). Kesaktian bangsa ini tidak bisa dimatikan. Ia akan hidup di jantung hati para jiwa yang mewarisi pamor – pamor leluhurnya.
Tidak bisa dinalarkan, tapi akhir-akhir ini bukti energi besar itu ada. Mengiringi sumpah sabda Eyang- eyang dari Majapahit. Diantaranya: mulai munculnya situs-situs kuno dibarengi jiwa-jiwa yang mulai bosan dengan sistem perpolitikan negara dan ajaran agama tanah sabrang. Lahirnya banyak anak-anak kawong/indigo seakan mengiringi kekuatan spirit untuk menyongsong perang Baratayuda step 1. Dimana perang penghabisan untuk mendorong pergantian zaman. Dan bila digali dengan ngening roso mungkin akan tersingkap kesadaran baru, pengetahuan baru dari leluhur yang berpesan melalui udara yang setiap hari kita hirup.
Tiga hari ini di Blitar Jawa Timur, aku bersama sebagian dari mereka yang peduli dengan masa depan bangsa ini berikrar bersama. Mengheningkan cipta untuk sinau bareng tentang jejak leluhurnya. Bersamaan hari ulang tahun Majapahit yang 726, kita mengekspresikan cinta dan rindu dengan berbagai laku. Mahapatih Gajah Mada pernah menegakan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai rumah besar, diperjuangkan dengan sumpah Palapa, serta di jalankan dengan semboyan Mitreka Satata. Mitreka Satata berasal dari Kakawin Nagarakretagama karangan Empu Prapañca pada zaman keemasan kerajaan Majapahit. Semboyan Mitreka Satata dipakai oleh Mahapatih Gajah Mada. Sebagai landasan dalam menjalankan politik luar negeri Majapahit yang bersifat kekerabatan, hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. (Wikipedia)
Hari ini aku memilih jalanku, bersama beberapa kesatria agung yang masih menunggu dan terus berjuang. Kutirakatkan diri untuk terus berusaha mencintai sesamaku serta mengajarkan apa yang harus kuajarkan. Setidaknya di usia belia ini aku mulai belajar berpuasa tentang ambisi dan kepentingan kekuasaan. Kutularkan tutur eyang-eyangku, kukenalkan pada sebagian saudaraku sebangsa tentang budayanya dan menyadarkan bahwa kita adalah bangsa yang besar. Bersama kita belajar mengungkap ngilmu adiluhung yang ada di negeri ini, berkumpul bersama berbagi asa. Rakyat sudah lelah dibodohi, mereka hanya menjadi korban-korban peternakan elit politik. Dibumbui dengan agama baru yang kaku dan memaksa menyeragamkan di tanah yang sejatinya lahir dengan keindahan keberagaman.
….
Sesanggit..
“Nduk.. Le.. Kae wus wayahe Srengenge cemlorot, ayo gek podo tangi..
Kae lo omah lemahmu.. Ayo ndang diagem sesandangmu…
Bebarengan ayo nyulam soko gurune, kanggo agawe cagak panyangga omahmu..
Ojo suloyo.. Ojo nangis.. Wes.. Wes.. Ayo -ayo..
Sing wuto dituntun, sing lumpuh digendong…
Nduk.. Le.. Elingo marang piyanggamu, yen sejatine getihku manjing ono badan sariramu..
Ojo keder.. Ojo minder.. Yen uripmu dipetengke..
Sugih o eling.. mesu o budhi lan rasamu..
Perbawaku bakal jangkung jejeran sanggit ono ing rasamu..
Bakal padang dalanmu marang mapah laku tumuju Suryo Majapahit kang wancine mentas…
……. …….. …….
” SURO DIRO DJAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI”
.
(Sanggit Mbah Gajah Mada, 17 November 2019 Candi Penataran Blitar)
.
.
Retreet Persaudaraan Matahari,
Bersama komunitas Mahadaya Suwung Blitar. 16-17 November 2019
“Kaweruh Kepemimpinan Nusantara”.
Di: Pendopo Tri Loka Wus Kaeksi Rumah Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda & Olahraga Blitar, sekaligus seorang Dalang, Bpk. Suhendro Winarso. (Ki Dalang Suhendro Winarso).
Reaksi Anda: