
Lima tahun lalu saya mengambil paket pensiun dini di tempat bekerja. Membayangkan hidup mode pensiunan yang konon lebih selow, seperti tren slow living. Dalam benak saya adalah hidup terlepas dari KPI dan SOP korporasi, sehingga punya kehidupan sesuai persepsi indah, yang memberi peluang untuk lebih banyak relaksasi. Saya berasumsi, dengan melepaskan ‘pekerjaan rutin’ akan terlepas dari satu sumber gejolak dinamika yang biasanya menelan separuh waktu kehidupan.
Jadi ingat salah satu teman yang memprediksi bahwa saya tidak akan betah hidup tanpa bekerja lebih dari dua tahun. Ternyata prediksi ini tidak salah-salah amat, malah simsalabim terjadi jauh lebih cepat ketimbang prediksi matematis tersebut. Terlepas dari kenyataan bahwa banyak pekerjaan bermunculan gara-gara belajar ’Spiritual Murni SHD’, saya pun banyak belajar dari rumput tetangga bahwa melepas rutinitas robotiks mode korporasi, bukan jaminan hidup jadi selow. Berkarya secara mandiri pun punya dinamika dan tantangan tersendiri, yang malah membuat hidup (living) makin bergejolak dan semakin susah untuk selow (slow).
Jadi hanya karena terlepas dari mesin absen kantor, bukan jaminan isi kepala dan jadwal harian menjadi lebih selow dan ringan.
Kenyataan yang saya alami setelah tekun ‘Bermeditasi/Hening Pemurnian Jiwa’ adalah, di masa pensiun yang terlalu dini dan umur makin menua, tidak ada mode selow pasca pensiun seperti yang dibayangkan sebelumnya. Malah sebaliknya, pekerjaan makin bertambah dengan bobot tanggung jawab dan cakupan pekerjaan berkali-kali lipat lebih besar. Makin hari daftar pekerjaan makin panjang antriannya. Dan apabila menggunakan parameter umum, tidak bisa masuk dalam kategori slow living melainkan F1 living, karena dalam standar umum, banyaknya jumlah pekerjaan selalu dikorelasikan dengan besarnya ketegangan yang menyebabkan hidup menjadi tidak selow.
Uniknya, sebagai seorang praktisi ‘Mindfulness‘, saya memang merasa menjadi lebih santuy (slow) dalam menjalankan kehidupan (living) ketimbang dulu. Dengan menjadi selow (slow) dalam menyikapi segala situasi, pekerjaan dan dinamika hidup (living), maka ketika mendapatkan beban pekerjaan yang makin hari makin grande, hidup terasa tetap selow. Dengan daftar panjang dan antrian tugas harian, hidup tetap selow dan tidak banyak berdrama kelelahan maupun jatuh sakit.
Slow living versi ‘Kesadaran Murni’ yang saya ceritakan ini, bukan ditentukan dari besar kecilnya beban pekerjaan maupun tanggung jawab kehidupan. Yang menjadi slow bukan jumlah input, tetapi tentang bagaimana prosesor bekerja dalam mengelola sebanyak apapun jumlah input.
Cara merespons stimulus, cara merespons sebuah objek, cara merespon situasi tidak peduli sekecil atau sebesar apapun peran dan tanggung jawab. Tidak juga ditentukan dari jumlah dan besaran problematika dan gejolak kehidupan.
Ternyata slow living bukan tentang mengurangi beban aktivitas dan bukan tentang lari dari situasi yang dianggap sebagai beban. Slow living versi ‘Spiritual Murni’, merupakan situasi yang diciptakan dari kemampuan menjaga keseimbangan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Hidup menjadi lebih selow (slowing down) karena ‘Manajemen Diri’ dan ‘Manajemen Pikiran’ yang baik dan tepat guna. Menjalankan hidup dengan mode selow dalam pengertian tidak reaktif, tidak impulsif, tidak mager, tidak malas, tidak lamban dan lelet siput, yang ada hanya produktivitas yang efektif. Hidup menjadi selow karena peningkatan ‘Self-awareness’ dan ‘Mindfulness’ . Dan, bisa menjadi lebih selow lagi, ketika hidup berlandaskan kesadaran yang jernih dari gerombolan ‘Sisi Gelap (shadows)’, sehingga tidak terus menerus sibuk dan tegang oleh kerumunan hasrat egoistik.
“Conscious-less life, is a useless life” ~ Pure Spirituality
Hidup berkesadaran murni, akan membuat setiap langkah menjadi selow, sekaligus memberikan dampak holistik bagi kesehatan. Slow living dengan kesadaran yang murni, tidak mungkin menjadikan manusia berkualitas mager dan malas. Tetapi menjadi manusia yang bermental kuat, emosi cerdas, raga sehat, dengan jiwa yang terus berevolusi, yang mampu menguasai diri (self mastery) dalam menjalankan kehidupan.
“Life is precious, live it consciously” ~Pure Spirituality
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
5 Juni 2025
Reaksi Anda: