Living La Dolce Vita. Slogan Italia yang cukup terkenal, artinya The Sweet Life.
Pengertian slogan ini sebenarnya merujuk kepada gaya hidup khas Italia yang sarat dengan keindahan dan kenikmatan, menikmati makanan enak, menikmati anggur, menikmati kopi kualitas dunia, menikmati sunset, dan objek materiel kontekstual lainnya.
Ketika membaca tulisan Living La Dolce Vita, saya merasa pengertiannya kok sama dengan hidup dalam kebahagiaan yang sejati, yaitu hidup penuh kesukacitaan, splendor, penuh rasa syukur a.k.a. surga di Bumi. Kok rasanya sama dengan yang saya rasakan, yaitu merasa Living La Dolce Vita saat ini.
Tulisan ini terinspirasi ketika sedang membuka timeline Instagram dan menikmati pemandangan foto para teman yang berlibur ke berbagai destinasi indah di penjuru dunia. Latar indah, baju cantik, cuaca yang cerah, semua serba cantik, indah dan tampak sempurna, bahkan foto yang diunggah kualitasnya pun keren, bukan kualitas amatiran. Captionnya rata-rata seputar ungkapan rasa bahagia dan rasa syukur, seperti ‘a bit of heaven‘ dan semacamnya. Spot destinasi turis yang penuh keindahan memang mewakili apa yang digambarkan sebagai surga di Bumi yang nyata dan tidak ada habisnya. Lumayan kan, saya tidak perlu ikutan jetlag ke sana pun tetap bisa ikut menikmati merasakan sukacita.
Pengalaman saya menjadi penikmat liburan, surga dengan standar materiel tidak akan pernah memuaskan hati manusia secara permanen. Ketika liburan usai hanya tersisa foto dan kenangan indah keseruan yang disertai dengan post-holiday syndrome akibat hormon gembira yang menurun drastis. Kembali kepada rutinitas pekerjaan yang dianggap tidak membahagiakan, namun dibutuhkan dan (ehem) harus menyelesaikan tagihan hasil selama berlibur. Keinginan untuk mendapatkan kembali kegembiraan yang hilang akan mendorong untuk mencari cara agar dapat mengulangi rasa yang sama. Mencari destinasi baru yang diharapkan akan memberikan sensasi kegembiraan yang minimal sama, bahkan kalau bisa lebih. Siklus yang sama akan terulang dan begitu terus tiada henti.
Tapi, apakah surga sebatas keindahan spot turis saja? Apakah surga memang memilah dan memilih, hanya tersedia terbatas bagi yang mampu membeli tiket penerbangan menuju ke destinasi liburan cantik? Bagaimana dengan rutinitas selain liburan? Bagaimana dengan perkampungan kumuh, gunungan sampah TPA, got hitam mampet dan bau, dan sungai keruh penuh sampah, atau spot turis yang porak poranda dilanda badai topan? Adakah surga di situ?
BAHAGIA ATAU SENANG?
Dari hasil sampling pemahaman teori dasar SMSHD, maka ditemukan bahwa sebagian besar penduduk komunitas masih berilusi sesuai standar kenormalan umum. Yakni, rasa bahagia hanya akan terjadi apabila mendapatkan kehidupan yang bentuknya sesuai dengan keinginan harapan dan angan-angan pribadi, atau bentuknya harus sesuai dengan standar idealisme pribadi.
Bagi kenormalan umum, syarat untuk mencapai bahagia bagi setiap orang berbeda-beda. Objek yang dianggap akan menjadi pencetus kebahagiaan sangat beragam sesuai dengan standar sosial yang terbentuk oleh lingkungan di mana kehidupan bergulir. Ada yang standar bahagianya adalah apabila memiliki harta benda tertentu, jabatan tertentu, gelar tertentu, atau pencapaian materiel lainnya.
Lalu, standar bahagia manakah yang paling tepat agar merasakan Living La Dolce Vita? Apakah standar Bapak Tarzan yang tinggal di pedalaman hutan Amazon atau standar Ibu Madam yang tinggal di tengah kota metropolitan? Siapakah penentu standar agar tercipta bahagia dan mampu Living La Dolce Vita ini?
Dalam sudut pandang Spiritual Murni SHD, kebahagiaan sejati tidak bergantung kepada standar buatan manusia. Bahagia sejati tidak ditentukan oleh seberapa banyak standar kenormalan materiel yang terpenuhi. Kebahagiaan sejati tidak bisa dibatasi oleh sedikit banyaknya materi, ideal atau tidaknya pasangan, tinggi rendahnya jabatan, sedikit banyaknya gelar akademik yang dimiliki, atau sedikit banyaknya destinasi liburan cantik yang bisa dicapai. Kebahagiaan sejati sifatnya langgeng, sementara kesenangan sifatnya sementara, sesaat, tidak langgeng, akan hilang apabila syarat-syarat materiel tadi lenyap.
Contohnya, siklus liburan tadi yang hanya Living La Dolce Vita ketika saat berliburnya saja, ketika usai, maka La Dolce pun lenyap tergantikan oleh sindrom pasca berlibur. Atau ketika mendadak badai salju hadir sehingga gagal naik hot air balloon cantik di Cappadocia dan ketika pantai indah tempat berjemur dilanda badai dan tsunami.
Bahagia sejati adalah produk dari keahlian bermeditasi/hening metode SMSHD sehingga kita memiliki kemampuan bersyukur dengan tulus dan mampu menikmati momen demi momen dalam hidup apa pun bentuknya, apa pun situasi dan kondisinya, baik ketika sedang liburan maupun ketika sedang terjebak rutinitas pekerjaan, baik ketika berada di spot turis yang cantik maupun ketika berada di TPA Bantar Gebang.
Sebelum kenal meditasi, saya memegang teguh konsep manusiawi, yaitu ciptakan surgamu sendiri. Sebuah motto penting bagi saya sebagai rakyat jelata dengan status ekonomi medium rare, yang hidupnya tidak stabil bisa mendadak pas-pasan dan punya hutang, bisa mendadak liburan beberapa kali setahun. Hidup saya diwarnai oleh banyak keberuntungan karena dengan ekonomi medium rare ini banyak diberi kesempatan merasakan bentuk surga milik penghuni ekonomi well done.
Saya pun bekerja di perusahaan dengan standar akomodasi dan transportasi sesuai kaidah keamanan dan kesehatan ISO 45001, sehingga saya tidak pernah diperbolehkan berpergian dengan penerbangan bujet ekonomis dan tidak diperkenankan menginap di akomodasi dengan bintang di bawah 4. Standar korporasi itu membuat saya sangat jarang merasakan akomodasi bintang 3 ke bawah, dan akhirnya menjadi takut untuk menggunakan penerbangan berbujet ekonomis.
Setelah memutuskan untuk pensiun dini pada tahun 2020 tentu semua fasilitas itu lenyap, tidak tersedia lagi kenyamanan materiel yang berasal dari fasilitas cost recovery negara. Fasilitas keberuntungan itu telah membentuk idealisme seputar standar keamanan dan kebersihan sesuai ISO 45001 dan membuat saya terbiasa berjuang untuk memenuhi standar itu.
Setelah belajar SMSHD, salah satu mata kuliah yang harus saya jalani dalam proses pemurnian jiwa adalah melepas idealisme gaya hidup standar ISO tersebut agar mampu Living La Dolce Vita dalam situasi dan kondisi apa pun. Dari fasilitas Gold dan Platinum sampai tanpa fasilitas, dari bintang 5 sampai tidak berbintang, dari resto label Michelin sampai warteg amigos (agak minggir got sedikit).
Saya merasakan Living La Dolce Vita versi SMSHD adalah bagaimana saya menjalankan hidup yang mengalir dengan gerak Semesta, di mana rasa syukur, sukacita, dan bahagia sejati tetap hadir walaupun isi rekening tipis atau tidak sanggup berlibur cantik. Hidup dalam keindahan dan kenikmatan dengan memperbanyak dan menjaga konsistensi rasa syukur yang tulus di keseharian. Mencipta hidup yang indah dan nikmat karena diliputi kebahagiaan sejati layaknya surga di Bumi yang permanen. Memperkaya diri dengan rasa syukur yang tulus sehingga kemudian menarik hal-hal yang selaras dan mengalami keberlimpahan.
Mampukah bersyukur dengan tulus ketika standar idealisme tidak tercapai, mampukah bersyukur dengan tulus ketika berharap makan gelato, tapi yang tersedia hanya es batu, atau ketika terbiasa bermalam di akomodasi yang adem ber-AC, kemudian malah mendapat penginapan yang AC-nya rusak.
Bahagia sejati itu jelas nyata, senyata surga di Bumi dan Living La Dolce Vita bukanlah khayalan muluk khusus penduduk berekonomi well done saja, karena ini perkara sebuah gaya hidup dengan penuh kesadaran, hidup diliputi mindfulness, hidup dalam kondisi meditatif sehingga penuh dengan rasa syukur dan sukacita (splendor) yang permanen tanpa harus membeli tiket penerbangan first class dan punya foto cantik di Amalfi Coast Italia. Tanpa harus merasakan post-holiday syndrome dan mengalami siklus drama spektrum emosi yang melelahkan.
Pernah mengalami Living La Dolce Vita ketika sikon tidak sesuai harapan? Atau masih belum percaya Living La Dolce Vita adalah nyata?
Guru SHD selalu mengajak kita semua mengalami Living La Dolce Vita lewat Ajaran SMSHD. Coba lakukan dulu saja supaya mengalami sebelum menjawab.
Kalau ternyata jalan yang ditempuh tidak kunjung memberikan hasil karena tidak kunjung sampai, perjalanan menjadi panjang berliku, kadang belok, kadang nanjak terjal, kadang mundur, kadang keserimpet, kesandung, kejedot, mentok tembok, dan muter-muter seperti di labirin, ya jangan menyerah dulu. Yang memilih jalan penuh kerumitan ‘kan kalian sendiri karena tidak mau menyusuri jalur yang diajarkan Guru SHD melalui Ajaran SMSHD.
Jalani saja dulu jalur yang jelas telah diberikan sampai terjadi perjumpaan dengan surga di Bumi sehingga mampu menjawab, “Yes, saya pernah merasakan Living La Dolce Vita dan kebahagiaan sejati.”
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
10 Oktober 2024
Reaksi Anda: