Dulu saya tidak mengerti kalau ada rasa syukur “yang tulus”. Yang saya tahu rasa syukur adalah rasa yang timbul setelah merasa senang akibat keinginan terpenuhi. Kemudian dianjurkan bersyukur sebagai formalitas bisa diucap atau dalam hati. Bisa juga disematkan dalam pikiran atau menghafal sebuah narasi bersyukur agar dapat diucap berulang kali sehingga menimbulkan rasa lega telah menunaikan kewajiban sebagai manusia yang tahu rasa terima kasih. Saya tidak ingat ada yang mengajarkan bersyukur ketika keinginan tidak terpenuhi. Paling banter berupa kalimat penghiburan ala Jawa ketika mengalami musibah, seperti ‘untung tidak mati’, ‘untung ada yang menolong’, ‘untung hanya rusak sedikit’, dan seterusnya.
Setelah rajin bermeditasi/hening metode Spiritual Murni Setyo Hajar Dewantoro (SMSHD), saya baru mengerti ternyata ada rasa syukur yang berbeda dari yang pernah saya kenal selama ini. Rasa syukur yang tidak perlu dengan sengaja diucap berulang kali, tidak dibuat-buat, tidak diciptakan sendiri dalam pikiran, tidak disugesti, dan tidak dibayangkan agar muncul sensasi yang mengharukan.
Rasa syukur yang tulus muncul begitu saja dari relung hati, tanpa diharapkan, tanpa ditunggu, tanpa dicari, dan tanpa dipaksakan. Hadir dalam bentuk yang menurut saya sangat indah namun bersahaja, yang kemudian saya kenali sebagai rasa syukur yang tulus. Dari rasa syukur tulus ini akan timbul rasa indah lainnya yang menyatu dengan rasa syukur tulus tadi. Rasa ini kemudian saya mengerti sebagai apa yang disebut dengan Bahagia Sejati.
Rasa syukur yang tulus ini sangat berbeda dari pengertian rasa syukur yang dulu saya kenal. Sebuah rasa yang tidak mudah dilukiskan dengan kata-kata yang tepat karena keterbatasan kosakata. Bagi saya cukup mustahil untuk dibayangkan, hanya bisa dialami dan disaksikan. Tidak ada rasa senang yang meletup-letup dan tidak ada euforia, hanya ekstase kebersahajaan seperti tanpa melibatkan emosi. Rasa haru pun timbul bukan sebagai luapan emosi yang terpendam. Bagi saya yang dulunya selalu didominasi oleh berbagai spektrum emosi, baik yang rendah, sedang, maupun tinggi, maka rasa ini bisa saya nyatakan tidak masuk dalam spektrum emosi mana pun.
Setelah mengalami kesaksian perdana akan rasa syukur yang tulus ini, tentu saya ingin sekali untuk lebih sering mengalaminya. Yang namanya bahagia sejati memang bikin nagih, ya ‘kan. Maka saya pun dengan kesungguhan melatih diri bermeditasi dengan teknik SMSHD agar mampu lebih sering merasakan rasa syukur dengan tulus ini. Latihannya tentu melalui fase trial error yang sangat banyak karena sering tergeret-tergeret dalam ambisi untuk mencari rasa yang sama akibat ketagihan ingin mengalami lagi rasa yang luar biasa indah itu.
Namun rasa syukur yang tulus tidak bisa dicari dan tidak bisa dikejar. Semakin dicari, maka akan semakin jauh dari rasa syukur, karena terjebak dalam kehendak ego yang memaksakan ‘ingin menemukan kembali rasa syukur yang tulus’. Itulah mengapa latihan dengan tekun dan konsisten adalah mutlak sebagai formula dalam mencapai kebahagiaan sejati. Jangan pernah berpikir hal ini bisa dicapai tanpa melatih diri dan memurnikan diri.
Latihan mensyukuri hal paling sederhana yang biasanya dianggap recehan dan angin lalu di keseharian, sesederhana mensyukuri masih ada nafas yang mengalir dan membuat kita tetap hidup walaupun situasi sangat tidak ideal dan jauh dari harapan indah. Bersyukur ketika mendadak hujan lebat masih bisa berteduh di bawah pohon walaupun tetap basah kuyup dan kedinginan, bersyukur ketika dimudahkan mencari kendaraan umum di tengah kemacetan ibukota, bersyukur ketika kehilangan kenyamanan yang biasa didapatkan, dll.
Fenomena umumnya adalah keinginan untuk bersyukur maupun rasa syukur akan lebih mudah dilakukan dan dirasakan dalam situasi yang ideal, ketika apa yang diharapkan terpenuhi. Tetapi dalam spiritual murni, keahlian dalam bersyukur dengan tulus justru harus dibuktikan ketika terjadi yang sebaliknya yaitu ketika situasi tidak ideal dan tidak ada keinginan yang terpenuhi.
Selama melangkah dalam laku hening, kemampuan bersyukur ini terus diuji dengan beragam situasi tidak ideal, tidak sesuai harapan, tidak nyaman. Seringkali kita dihadapkan dengan sebuah dinamika yang tidak diinginkan namun inilah tantangan yang harus dihadapi dengan meditatif sehingga rasa syukur yang tulus tetap hadir tidak terusik dinamika dan tidak tergantung dari situasi apa pun di luar diri.
Selama belajar SMSHD ini saya memang selalu memilih sikap berendah hati dalam menyikapi pengetahuan yang saya belum mengerti. Sadar diri kalau memang belum memahami apa yang dimaksud dalam pengetahuan yang diwedarkan Guru SHD. Saya selalu patuh menjalankan semua langkah belajar yang diajarkan tanpa menunda, tanpa keraguan, tanpa ngeyel, tanpa agenda tersembunyi dan tanpa kebanyakan drama ‘caper mie instan’ sehingga saya selalu menerima keberuntungan mengalami banyak momen kesaksian yang hadir begitu saja tanpa pernah saya bayangkan sebelumnya. Membutuhkan latihan yang memenuhi standar ajaran SMSHD agar dapat mengalami rasa syukur yang tulus secara terus menerus dan konsisten setiap harinya.
Sampai saat ini saya masih terus berlatih agar rasa syukur yang tulus terus hadir semakin rapat, tanpa jeda, dan semakin konsisten tidak on-off selama saya melek di keseharian. Keadaan penuh rasa syukur yang tulus akan menciptakan bahagia sejati dan sukacita yang kita kenal dalam ajaran SMSHD disebut dengan Splendor.
Enaknya di Persaudaraan Matahari (PM) ini ada parameter evaluasi yang presisi dan akurat sehingga saya bisa memvalidasi apakah kesaksian yang saya alami nyata atau tidak valid. Apabila valid selaras, maka kesaksian akan saya jadikan pemahaman permanen yang ditancapkan ke dalam kesadaran. Kalau tidak valid, maka kesaksian yang saya alami segera dilepas dari ingatan untuk dijadikan pelajaran agar tidak terulang kembali. Kemudian melanjutkan melatih diri sampai suatu saat kesaksian yang saya alami benar-benar valid.
Saat ini pengertian ‘rasa syukur’ dan kata ‘bahagia’ yang dulu saya kenal sudah terkalibrasi sesuai makna yang lebih tepat dan akurat, lebih dalam, lebih pas, dan benar-benar sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Guru SHD dalam ajaran SMSHD. Pengertian lama sudah saya tinggalkan, tidak akan dicocoklogi sebagai patokan yang menyesatkan. Saya mentransformasi pemahaman yang tadinya cetek menjadi pemahaman dan sebuah kesadaran sehingga berdampak pada pola pikir, ucapan, dan perbuatan. Akhirnya, saya pun mengerti apa yang Guru SHD ajarkan dengan lebih utuh, hasil dari kesaksian melalui pengalaman otentik yang tervalidasi.
Kesaksian dengan mengalami sendiri sebuah pengalaman otentik inilah yang membuat pemahaman ajaran selalu bergerak maju. Melalui ketekunan meditasi/hening teknik SMSHD, maka secara berkelanjutan saya membuka cakrawala wawasan sehingga pengetahuan yang tadinya sangat terbatas bertransformasi menjadi pengertian yang lebih luas, lebih universal, dan lebih dalam maknanya. Kalau geraknya maju mundur, tentu laju pemahaman ikutan maju mundur. Apalagi kalau kebanyakan mundurnya, pasti terjangkit amnesia.
Berulang kali Guru SHD memberikan arahan untuk melakukan pembuktian dan menyaksikan sendiri apa yang beliau ajarkan. Jangan dibayangkan dalam angan-angan atau dibentuk sugesti dalam pikiran atau diterawang, tapi betul-betul dialami, dibuktikan, disaksikan. Alat untuk mengalami, membuktikan, dan menyaksikan, hanya ada satu, yaitu meditasi/hening metode SMSHD. Pastikan teknik meditasi/heningnya tepat dulu, dan penuhilah syarat-syaratnya, termasuk ketika diminta untuk melatih kejujuran, melatih ketulusan, melatih kesungguhan, melatih konsistensi, atau pun diminta menuliskan jurnal berysukur untuk membantu membuka kesadaran akan hal-hal yang bisa disyukuri di keseharian dan seterusnya.
Keyakinan saya saat ini tentu sangat teguh, bahwa tidak ada yang mudah untuk sebuah pencapaian yang murni, otentik, indah, dan Agung. Kalau ada yang mudah, sudah pasti palsu.
Mau merasakan rasa syukur yang tulus dan bahagia sejati? Lakukan dulu proses dan penuhi syaratnya, ya.
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
29 September 2024