HSP – Highly Sensitive Person atau dalam bahasa gaul yang umum di dunia psikologi dan kesehatan mental disebut dengan empath. Ada yang relate?
Sejak dahulu kala saya memang tidak pernah tertarik dengan dunia kesehatan mental, selain saya merasa cukup waras, saya pun punya standar kesehatan mental yang saklek. Yaitu, kalau belum dinyatakan menjadi pasien, Rumah Sakit Jiwa (RSJ), maka belum pantas disebut sebagai sakit mental. Begitu pula dengan pengetahuan seputar energi, vibrasi dan frekuensi tidak pernah ada yang nyantol walaupun saat bersekolah, nilai Fisika saya cukup baik.
Saya cukup sering mendengar keluh-kesah teman yang mengaku menderita akibat sangat sensitif terhadap energi dan merasakan ketidaknyamanan fisik akibat energi dari luar diri. Teman-teman ini menyebut dirinya sebagai empath, yakni punya kepekaan merasakan vibrasi energi yang dipadankan dengan spektrum emosi milik orang lain, sehingga selalu merasa terbebani karena merasakan emosi milik orang lain.
Hanya mampu menyumbang rasa simpati yang besar, saya memang tidak pernah tertarik untuk menyelami fenomena penderitaan teman-teman ini dan tidak pernah menyadari bahwa ternyata saya pun termasuk kategori HSP karena sangat sensitif terhadap paparan dinamika energi, baik dari dalam diri maupun dari luar diri. Selama hidup ternyata saya cukup memberikan respons yang positif dalam menyikapi fenomena kepekaan diri ini dengan tidak pernah melabeli diri sebagai empath atau HSP, walaupun ciri-ciri fisik memenuhi kriteria psikologinya.
Saya sering sekali merasa kelelahan, tubuh tidak nyaman dan lemas, seperti energi tersedot habis padahal hanya duduk dan ngobrol santai dengan teman. Saya sering merasa tidak nyaman di keramaian, bahkan bisa sampai demam apabila terlalu lama keluyuran di mall yang ramai.
Ternyata kondisi ini tidak pernah terdramatisasi dan dicocoklogikan dengan teori psikologi seputar kesehatan mental. Selama ini saya hanya berusaha mengatasi sendiri dengan logika sederhana bahwa ketika terasa tidak nyaman, maka sudah saatnya saya pulang untuk beristirahat, saatnya menjauh dari keramaian menenangkan diri atau me-recharge diri dengan melakukan kegiatan menyenangkan yang saya suka, seperti mendengarkan musik atau kegiatan yang bisa dilakukan seorang diri lainnya.
Saya pernah bertanya kepada salah satu instruktur yoga mengenai fenomena ini dan diberi penjelasan bahwa saya terkena vampir energi, sehingga energi saya tersedot oleh lawan bicara atau orang di sekitar. Penjelasan satu baris tanpa solusi yang jelas, lalu saya kudu piye iki (terj: harus bagaimana ini) supaya tidak terkena vampir energi terus menerus. Harap maklum karena dulu belum tahu ada solusi berupa meditasi metode Spiritual Murni Setyo Hajar Dewantoro (SMSHD), dan jelas sekali bahwa meditasi yang saya lakukan saat itu bukan solusi bagi fenomena ini.
Maka tanpa ada referensi lain yang lebih solutif dan tanpa keinginan untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai fenomena yang membuat saya lebih nyaman menyendiri ini, saya hanya melanjutkan melakukan mitigasi sederhana dengan menghindar dari keramaian sebisa mungkin dan memperbanyak melakukan kegiatan yang saya anggap menyenangkan, tanpa menghiraukan komentar orang lain terhadap diri. Saya hanya berasumsi bahwa saya termasuk golongan introvert karena merasa lebih nyaman menyendiri ketimbang berlama-lama di antara kerumunan manusia. Pada dasarnya saya memang tidak hobi melabelkan diri dengan kontak psikologi yang selalu ambigu abu-abu batasannya.
Setelah belajar meditasi Ajaran SMSHD, ternyata saya menemukan penjelasan dan solusi atas fenomena ini. Selain banyak menemukan kasus serupa yang terdramatisasi dengan maksimal, saya pun mengerti bagaimana bakat akan kepekaan fisik terhadap dinamika energi memberikan dampak terhadap tubuh manusia.
Saya jadi mengerti bahwa selain menjaga agar tidak perlu mendramatisasi sebuah fenomena fisik, ada cara yang lebih maknyus tokcer dalam menjaga diri dari dinamika energi di sekitar kita sehingga kita tidak perlu lagi menyalahkan orang lain atas ketidaknyamanan fisik yang dialami akibat kepekaan diri terhadap dinamika energi, sekaligus memastikan diri sendiri pun tidak berkontribusi terhadap ketidaknyamanan fisik ini.
Meditasi metode SMSHD memang layaknya Tongkat Sihir yang memberikan keajaiban – solusi bagi beragam fenomena mental dan jiwa. Meditasi metode SMSHD ternyata sangat ampuh menyelaraskan medan energi diri sekaligus melindungi diri dari paparan dinamika energi dari luar diri yang sebenarnya ditarik oleh vibrasi diri kita sendiri.
Dalam kacamata Ajaran SMSHD, keahlian bermeditasi dengan metode ini akan membuat medan energi diri menjadi selaras sebagai hasil dari proses pemurnian jiwa. Dengan lenyapnya para sisi gelap yang berkontribusi terhadap medan energi diri, maka medan energi diri yang selaras tidak akan menarik vibrasi energi dari luar diri yang jelas tidak selaras. Cara menjaga kestabilan medan energi diri ini dengan konsisten bermeditasi agar diri kita pun akan terlindungi dari paparan energi tidak selaras yang beredar di sekitar kita.
Kepekaan tidak akan hilang, namun dengan meditasi SMSHD kita akan memiliki kemampuan mengelola fenomena fisikal tanpa perlu menyalahkan orang lain. Kita akan menjadi manusia yang mampu menikmati anugerah kehidupan dengan rasa syukur karena tidak sibuk mengeluh dan mendramatisasi ketidaknyamanan fisik akibat munculnya beragam sensasi atas respons dinamika energi, baik dari dalam diri maupun dari luar diri.
Dengan tekun bermeditasi metode SMSHD, apa pun sensasi fisik yang kita rasakan tidak akan membuat diri menjadi lupa bersyukur. Sebaliknya, akan tetap bersukacita apa pun kondisi kita saat ini, apa pun sensasi fisik yang kita rasakan saat ini.
Langkah yang paling tepat dalam menyikapi kepekaan fisikal bagi para HSP atau empath adalah:
- Perbanyak meditasimu dengan teknik yang tepat, agar proses pemurnian jiwa terus berjalan dan tidak melulu menarik vibrasi energi yang tidak selaras;
- Jernihkan diri sendiri terlebih dahulu dari energi tidak selaras, dalam parameter SMSHD pastikan kejernihan energimu 100%;
- Stop menyalahkan orang lain atau keadaan di luar diri atas sensasi fisik tidak nyaman yang dirasakan;
- Kalibrasi kembali bentuk kenyamanan fisik yang ideal sesuai yang didambakan yang terbebas dari rasa tidak nyaman sepanjang waktu;
- Terimalah anugerah kepekaan fisik ini sebagai alat bantu dalam mendeteksi ketidakselarasan dan ketidakheningan pada diri;
- Percayalah bahwa selama masih bernafas dan belum mati, rasa tidak nyaman fisik adalah kenyamanan normalmu yang tetap akan membawamu kepada kebahagiaan sejati apabila disikapi dengan cara yang tepat, yaitu dengan hening SMSHD.
Kalau diri sendiri sudah jernih secara energi, maka bisa dipastikan mampu melindungi diri sendiri dari paparan dinamika energi di sekitar kita tanpa perlu menyalahkan siapa pun, dan tetap mampu bersyukur menikmati anugerah kehidupan walaupun tidak mendapatkan kenyamanan fisik sesuai standar idealismemu sendiri.
Saat ini saya malah menjadi berkali-kali lipat lebih sensitif ketimbang dulu, tetapi dengan kestabilan meditasi/hening SMSHD dan kestabilan kemurnian diri, maka saya memiliki kemampuan mengelola respons yang berkali-kali lipat lebih besar sehingga tidak kehilangan kebahagiaan, ples mampu melindungi diri dari paparan energi tidak selaras yang hadir tanpa henti sepanjang hari dimanapun saya berada.
Kebahagiaan sejati idealnya tidak bergantung pada kenyamanan fisik, tetapi bergantung kepada seberapa besar dan konsisten dirimu menikmati nafas natural dan menemukan rasa syukur yang tulus melalui setiap tarikan dan embusan nafasmu.
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
19 Desember 2024
BEFORE HENING
Dulu sebelum tahu hening itu apa, dan tahu teknik hening, ya tahunya cuma “introvert vs extrovert”. Extrovert sebagai pribadi yang cara charger-nya dengan ketemu orang-orang, sementara introvert baterainya kalau lagi solitude (menyendiri). Berdasarkan teori ini, dulu menganggapnya diri ini adalah anak introvert karena kalau ketemu orang-orang, misal semeja itu ada tiga orang (termasuk aku), rasanya bisa drained (lelah ibarat baterai itu habis). Baru ngerasa enakan kalau sudah pulang, sendirian, baca buku, atau nonton film, jadi aku termasuk orang yang bisa menikmati kesendirian.
Kalau pas lagi pergi clubbing dan tempat clubbing-nya sedang ramai banget, rasanya takut. Bahasa simpel yang bisa aku gunakan untuk mendeskripsikan adalah ‘sensory overload’.
Ketika bushfire di Australia awal tahun 2020 terjadi, ada kebakaran ‘bush fire’ yang diperkirakan total 24,3 juta hektar dan menyebabkan banyak fauna asli Australia yang punah atau terancam punah, rasanya sedih banget dan sangat-sangat hopeless — nggak berdaya. Sempat bertanya ke Mas Guru di salah satu kajian, kata Mas Guru, “Itu rasa empati.” Tapi, tetap nggak tahu memprosesnya bagaimana, wong saat itu belum tahu HENING itu caranya gimana.
Di salah satu kajian Mas Guru SHD juga, sempet diberi tahu teman pembelajar tentang empath (sebelum trend fenomena empath di social media seperti setahun–dua tahun terakhir ini). Responsku jadi a oh, a oh aja.
Lalu, diberi tahu cara menangkis dengan menciptakan gelembung-gelembung yang bertindak sebagai perisai. Katanya biar nggak hanyut dengan energi sekitar yang belum tentu selaras. A oh, a oh aja juga. Sempat mencoba juga sih, bikin gelembung-gelembung ini, tapi kok ya masih aja ingin marah ketika mau datang bulan.
AFTER HENING
Setelah akhirnya ikut program pamomongan, dan akhirnya tahu cara hening yang benar itu bagaimana, dunia terasa berbeda, haha. Udah nggak merasa drained kalau bertemu teman, termasuk ketika ada tiga orang di meja itu. Sebelum telfonan dengan teman atau sebelum hang out dengan teman pun meditasi formal dulu.
Ketika pergi clubbing-pun nggak ada rasa takut nano-nano — rasa sensory overload-nya, paling rasa ngantuk kalau nggak laper atau haus. Yang terasa terakhir pergi clubbing beberapa bulan lalu sih vibrasi galaunya kenceng banget, tapi akunya sedang merasa nggak galau waktu itu.
Ketika baca berita yang sedih-sedih, masih ada rasa empatinya. Tapi sudah bisa terkontrol dan nggak hanyut. Kalau pun sempet hanyut, segera meditasi formal sampai netral lagi rasanya.
Soal mau datang bulan sih, udah lama banget nggak ngerasain ingin marah-marah, jadi nggak perlu bikin imajinasi ciptain gelembung-gelembung perisai, cukup hening dengan metode SMSHD.
Dari zaman SMA dan kuliah sering dibilang sensitif oleh teman-teman. Gampang terbawa emosi, baik itu cepat marah, cepat sedih, cepat terharu, dan semua jenis ekspresi emosi lainnya. Saya paling cengeng di antara saudara kandung — gampang banget nangis. Melihat kucing kehujanan ketika lagi berteduh aja bisa bikin nangis.
Sempat merasa bahwa ada yang salah dengan diri saya karena tidak seperti orang pada umumnya. Sejak kuliah mulai cari-cari referensi, sering ngulik tentang psikologi, demi lebih mengenal diri sendiri. Saya sebenarnya kenapa, dan mempertanyakan bisakah berubah seperti orang kebanyakan. Tidak pernah cerita dengan orang tua tentang fenomena ini. Seingat saya hanya ada dua orang sahabat yang bisa saya ajak membahas hal ini. Mereka dokter umum, dan kebetulan introvert juga. Jadi bisa relate.
Ada beberapa buku populer tentang introversion yang saya baca. Saking pengen ketemu jawabannya, buku “The Introvert Advantage, Quiet” (Susan Cain) dan “The Highly Sensitive Person” (Elaine N. Aron). Dari buku-buku ini saya banyak belajar tentang kenapa introvert berbeda dengan ekstrovert, secara neurosains dalam proses berpikir, punya jalur proses berpikir yang berbeda dari orang extrovert, cara bersosialisasi dan utamanya cara recharge energi diri.
Dari Buku “The Highly Sensitive Person”, saya mengetahui tentang HSP yang memiliki saraf sensoris yang lebih sensitif dibanding orang kebanyakan. Jadi, orang dengan HSP akan menerima rangsangan dari luar tubuh (penglihatan, suara, sentuhan, rasa, bau, suhu) lebih peka dari orang pada umumnya. Konsekuensinya memang hidup rasanya lebih capai, energi cepat habis. Saya jarang ke mall dan ke tempat umum. Ke konser? Oh, tidak akan. Pulang dari kantor, pasti saya tiduran dulu di lantai berjam-jam untuk memulihkan energi dan berfungsi normal lagi.
Ketika pandemi mulai marak fashion spirituality, saya jadi ngulik tentang meditasi. Seperti Mbak Tya, saya juga pernah coba teknik Meditasi Shield. Tekniknya membayangkan diri ini ada dalam bola gelembung udara, gelembung ini yang melindungi dari energi-energi luar. Tapi, saya tidak rasakan manfaatnya.
Sampai kemudian ketemu dengan meditasi hening SMSHD. Saya sudah tidak pernah kecapaian sampai burnout lagi. Saya tidak pernah lagi kelelahan sampai harus tiduran di lantai. Dengan merasakan tarik–embus napas dapat memfilter diri dari berbagai macam energi dari luar. Menyelaraskan kembali energi diri yang sebelumnya sudah jenuh karena tercampur dengan berbagai energi yang ditangkap oleh radar saraf sensoris yang kinerjanya overproduktif. Walaupun sampai saat ini saya masih belajar untuk praktik hening dengan metode yang tepat. Masih jatuh bangun dengan tingkat kejernihan energi, tapi saya bersyukur sudah punya solusi atas HSP saya ini.
Reaksi Anda: