Skip to main content
Refleksi

PERUBAHAN SIKAP & PURIFIKASI 

22 April 2025 Ay Pieta No Comments

Apakah perubahan sikap merupakan pertanda proses pemurnian jiwa berjalan?

Terpantik dari kisah ‘Drama Pembelajaran Retoris Anggota Komunitas Persaudaraan Matahari yang cukup menggenaskan, yaitu banyaknya teman belajar kesulitan mengidentifikasi perilaku berbasis sisi gelap (shadows). Padahal ‘Tujuan Belajar Spiritual Murni SHD salah satunya adalah untuk membersihkan ‘Sisi Gelap (shadows)’ , tapi malah tidak mampu, bahkan tidak bersedia niteni perilaku dan pola pikir berbasis sisi gelap (shadows)-nya sendiri. Tentu kebanyakan hanya mau diterawang dan dibantu wesewes biar cepat hilang.

Gejala ketidakpekaan terhadap sisi gelap (shadows) ini merupakan tanda ‘Self-Awareness yang minim. 

Penyebabnya beragam, bisa karena memang tidak peduli, bisa karena manja dan malas, bisa juga karena senang menghibur diri dengan menciptakan ilusi, seperti menganalisis sendiri dan merasa-rasa sendiri sudah mengalami perubahan sikap di keseharian, sehingga merasa ‘sudah cukup’ memurnikan jiwa, tanpa perlu divalidasi kebenarannya. Entah lupa atau memang tidak mengerti bahwa dalam ‘Ajaran Spiritual Murni SHD ada parameter evaluasi pembaca realitas jiwa yang dipakai sebagai benang merah bagi langkah perbaikan dan pengembangan diri.

Kenyataannya, hasil evaluasi berbagai parameter belajar menunjukan hasil yang rendah atau naik turun di kisaran angka yang sama rendahnya, atau stagnan di angka yang sama. Banyak juga yang pernah mendapatkan hasil evaluasi lumayan tinggi sesaat, namun dianggap sebagai pencapaian selamanya. Pola pikir pendidikan akademik mencocoklogi hasil evaluasi seperti nilai dalam ijazah kelulusan hasil satu kali ujian, tetapi nilai itu dipakai seterusnya sampai mati.

Banyak teman belajar yang mengabaikan hasil evaluasi parameter Spiritual Murni SHD dan lebih memilih tolok ukur yang disukai saja. Misalnya, tolok ukur berupa suasana hati yang nyaman karena keinginan terpenuhi dan situasi lingkungan sesuai dengan harapan. 

Tolok ukurnya tergantung suasana lingkungan yang sesuai standar kenyamanan. Misalnya, dagangan laku, pasangan bersikap manis, keluarga sedang adem-ayem, bos sedang kalem, pekerjaan lancar, dapat bonus, lagi liburan, dan lainnya, sehingga hidup terasa damai aman sentosa. Lalu, menyimpulkan sendiri bahwa hidup sudah bebas dari sisi gelap (shadows).

Tidak ingat sama sekali bahwa sempat mengeluh, sempat grundel, sempat kecewa, sempat ngeyel, sempat baper, sempat tidak terima, sempat takut, sempat pakewuh, sempat kesal, sempat berprasangka buruk, sempat berkhayal jorok, sempat memanipulasi, sempat pencitraan, sempat sombong, sempat pencitraan, sempat tidak tulus, sempat manja, sempat menuntut, sempat ngomel di dalam hati, dan lain-lain. Semua indikasi tersebut seolah terlupakan dan tersapu masuk ke bawah karpet oleh distraksi yang dianggap menyenangkan.

Gejala PMS menjadi lumayan berlarut-larut karena merasa sudah jarang senggol bacok, merasa sudah lebih memaklumi pasangan yang berperilaku tidak sesuai harapan, merasa sudah tidak suka mengeluh, merasa sudah memaafkan yang menyakiti di masa lalu, dan sebagainya. Ada juga yang merasa sudah netral ketika ada situasi yang penuh trigger, merasa tidak bergejolak dalam spektrum emosi yang destruktif. 

Tidak menyadari bahwa telah terjadi proses psikologis yang sering disebut dengan repress suppress, alias menepis dan menyapu perilaku berbasis ‘Sisi Gelap (shadows)’ sehingga tersembunyikan di bawah karpet. 

Beragam parameter personal diciptakan sebagai mekanisme defensif dan penghiburan diri dari rasa kecewa, kengeyelan, rasa malu, gengsi, baper, pencitraan, dan lainnya, akibat kesulitan meningkatkan prestasi melalui angka parameter evaluasi. Apalagi bagi sudah yang merasa sangat sangat taat berspiritualitas dari berbagai jurusan – gengsi dong kalau terlihat tidak mampu berprestasi.

Salah satu isu ‘PMS ini merupakan hasil kontradiksi diri yang berlarut-larut, antara lain, 

  1. Mengaku percaya Ajaran Spiritual Murni SHD, tapi kenyataannya tidak percaya hasil evaluasi
    Para penganut ajaran campursari, hobi celup sana celup sini mencari pembenaran parsial di satu dan lain tempat. Hanya menyerap potongan ilmu yang dianggap cocok dengan kebutuhan egoistiknya saja dan hobi mencocoklogi untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan pribadi.
  1. Rajin melakukan meditasi, tapi kenyataannya tidak dengan teknik yang diajarkan
    Para praktisi meditasi suka-suka hati ini terbiasa memenuhi kewajiban jumlah meditasinya saja. Asal sudah duduk bersila memejamkan mata berdurasi panjang, maka merasa sudah meditasi dengan cara yang tepat. Rutinitas dilakukan ala robotics tanpa penghayatan dan tidak pernah mau mengubah teknik meditasi/hening sesuai dengan yang diajarkan. Kebanyakan adalah para pemburu ‘Kenyamanan’ – pokoknya asal sensasinya nyaman, hati terasa ayem-tentrem tidak ada gejolak selama meditasi/hening, maka merasa cukup bermeditasi/hening. Tanpa peduli berapa kualitasnya, tidak peduli tekniknya sudah tepat atau belum.
  1. Percaya Guru SHD adalah guru yang sakti dan bisa memberkati setiap hari, tapi kenyataannya tidak mau mengaplikasi ajarannya
    Para penggemar solusi instan, pengalap berkah yang terbiasa berkeliling mencari sosok yang dianggap akan memberikan manfaat paling besar bagi daftar panjang harapan egoistiknya. Tidak peduli dengan apa yang diajarkan, tidak peduli aplikasi ajaran, apalagi dengan parameter evaluasi, yang penting hadir di setiap kesempatan Boosting Energi SHD’ atau pemberkatan terjadi.

Belajar Spiritual Murni SHD memang memiliki ‘KPI (Key Performance Indicator)’ tersendiri. Selain ‘Angka Tingkat Kesadaran (LoC) yang baik dan stabil tidak kebanyakan perosotan ‘Ular Tangga, ketepatan perilaku pun menjadi indeks performa kunci yang harus dipenuhi dengan stabil. Apabila hanya waras kalau mendapatkan Boosting Energi SHD saja, belum mampu menjaga kestabilan dan membuktikan ketepatan perilaku, maka KPI belum bisa diyatakan tercapai.

Berdasarkan pengalaman otentik dan kesaksian saya, perubahan sikap belum tentu hasil dari pemurnian jiwa. 

Perubahan sikap bisa terjadi melalui perubahan cara berpikir (mindset) dengan landasan kata bijak, teori benar-salah, keyakinan atau dogma akan baik-buruk, dan seterusnya. Perubahan sikap juga bisa dilakukan dengan landasan sisi gelap (shadows), seperti karena takut, pencitraan, gengsi, pakewuh, dan lainnya.

Tetapi, apabila ‘Proses Pemurnian Jiwa berjalan dengan baik, secara otomatis akan termateriel dalam perubahan sikap yang sepadan sehingga KPI ketepatan perilaku dapat dibuktikan. Yang artinya, hasil evaluasi parameter Spiritual Murni SHD dengan angka yang baik, dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan melalui kestabilan ketepatan dalam perilaku di keseharian.

Ketika terjadi ‘Peningkatan Hasil Evaluasi Tingkat Kesadaran (LoC), idealnya dibarengi sikap yang semakin waspada, tidak sembrono, dan tidak hanyut dalam gejala ‘PMS yang baru. Kenaikan tingkat kesadaran idealnya disertai dengan ‘Self-Awareness (kewaspadaan diri)’ yang baik, disertai dengan kemampuan mendeteksi sisi gelap (shadows), yaitu kemampuan mengidentifikasi ‘Perilaku Berbasis Sisi Gelap (shadows)’ di keseharian.

Dan sebaliknya, bagi yang merasa sudah terjadi perubahan sikap, namun angka LoC masih stagnan rendah, maka perlu sesegera mungkin sadar diri bahwa telah terjadi gejala PMS akut, segera ‘Membenahi Gelasnya yang penuh konsep ilusif , segera membenahi cara belajarnya dan membenahi sikapnya, agar dapat melanjutkan proses belajar dengan baik dan bergerak maju dalam proses pembersihan mental jiwa raga dari sisi gelap (shadows).

Yuk, silakan tulis bagi yang mau berbagi pengalaman otentiknya.

 

Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
21 April 2025

Share:

Reaksi Anda:

Loading spinner
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda