Manusia itu sebetulnya siapa, apa, mengapa ada, dan bagaimana kaitannya dengan Tuhan? Kita resapi semuanya di dalam keheningan dengan pikiran yang jernih. Kebenaran sejati bisa tumbuh di dalam diri kita sehingga kita bisa memiliki pengertian yang akurat terhadap segala hal.
Seringkali ada yang menganalogikan hubungan antara manusia dengan Tuhan seperti hubungan antara wayang dengan dalangnya. Manusia diasumsikan seperti wayang yang tidak bisa melakukan apa pun, kecuali digerakkan oleh dalangnya. Jika kita menganalogikan wayang itu layaknya manusia dan dalang itu seperti Tuhan, mari kita cermati!
Dalang bisa bergerak jika ada yang “nanggap” atau yang memberikan pekerjaan padanya.
Pantaskah jika dalang disetarakan dengan Tuhan? Tidak.
Tuhan adalah bos dari segala bos.
Dalang bisa lapar, pun bisa baper. Hal ini tidak terjadi pada Tuhan.
Wayang itu bergerak sewaktu-waktu jika sedang dipegang oleh Sang Dalang.
Selama Anda hidup, apakah Anda bisa bergerak secara leluasa? Bisa.
Kalau pun Anda sudah terlepas dari tubuh Anda, Anda masih bisa bergerak atau tidak? Bisa.
Apakah wayang bisa beranak-pinak atau tidak? Tidak.
Siapa yang membuat wayang? Apakah pasti dalangnya? Belum tentu.
Apakah dalang dengan wayang menyatu? Secara ruang dan waktu mereka terpisah.
Kita sebagai manusia yang menjadikan itu Tuhan atau yang lain? Pasti Tuhan.
Kita dengan Tuhan, apakah ada batasan ruang dan waktu? Menyatu atau terpisah? Menyatu.
Jika kita menyelami kebenaran ini, kita akan menemukan bahwa analogi wayang dengan dalang itu tidak nyambung. Kesalahan dalam memahami ini semua membuat kita salah memahami bagaimana gerak dan produk Semesta ini berjalan. Lupakan analogi wayang dengan dalangnya. Ini tidak nyambung.
Ini adalah salah satu bentuk hiburan yang jika benar bisa jadi sumber tuntunan. Tetapi, hubungan manusia dengan Tuhan itu tidak seperti hubungan wayang dengan dalangnya.
Anda harus memahami bagaimana Tuhan itu. Lewat keheningan, Anda akan mengerti bahwa Tuhan yang nyata adalah realitas nyata sebagai sumber dari hidup Anda. Pada tataran awal, kita tidak bisa menyaksikan Tuhan. Tetapi, Anda bisa merasakan segala anugerah nyata itu adalah Tuhan. Dengan menyelami semua ini, kita dan Tuhan sebenarnya tidak pernah terpisah, selalu terhubung. Kita selalu dinaungi oleh kasih murni dan kuasaNya. Kita akan mengerti bahwa di relung jiwa ini kita bertemu dengan Tuhan sebagai sumber kasih murni, sumber dari kekuatan yang nyata yang ada dalam diri kita. Ini sebetulnya bisa dijangkau oleh siapa saja asal mau menyelami keheningan.
Jika seseorang bisa menemukan Tuhan yang ada di relung jiwanya, dia akan dibawa ke realitas Tuhan yang sesungguhnya. Tuhan di relung jiwa disebut sebagai Diri Sejati atau Roh Kudus. Jika kita menyelami dan semakin murni, kita akan menemukan realitas Tuhan sebagai kecerdasan tertinggi di alam Semesta. Di dalam keheningan kita akan mengerti bahwa semua gerak di alam Semesta ini ada yang Maha Menggerakkan. Kita sering menyebutNya sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam keheningan, belum tentu kita bisa melihat Tuhan sebagai sosok, tetapi kita bisa menyaksikan dan menyadari keberadaan Tuhan. Jika kita semakin hening lagi, kita akan mengerti Tuhan yang paling puncak adalah kekosongan absolut. Tuhan sebagai sumber dari segala yang ada, yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, yang meliputi semua matriks ruang dan waktu.
Kita sebagai manusia harus dimengerti mulai dari yang terlihat oleh panca indera dan tak terlihat oleh panca indera. Yang terlihat oleh panca indera ini adalah tubuh. Alur keberadaanya ketika sel sperma bertemu dengan sel telur sehingga menjadi zigot. Ini hanya wadah. Ini bukanlah kita yang sebenarnya.
Lalu, kita ini siapa?
Kita adalah yang mengisi tubuh ini. Yang mengisi tubuh ini disebut sebagai jiwa. Jiwa ini sudah ada sebelum tubuh ini ada, dan akan tetap ada meskipun tubuh ini sudah tidak ada, kembali ke asalnya. Jiwa adalah manifestasi dari Sang Sumber. Segala hal pengejawantahan Sang Sumber sebetulnya merealisasikan kualitas dari Sang Sumber dengan tataran yang berbeda-beda.
Contohnya batu adalah pengejawantahan dari Sang Sumber. Jiwa juga pengejawantahan dari Sang Sumber. Yang membedakan adalah tingkat realisasi kualitas dari Tuhan pada jiwa dan batu ini berbeda. Batu ini mempunyai gerak atomnya. Di sana ada energi Tuhan pula. Sementara jiwa ada dalam tataran kehidupan yang kompleks.
Jiwa adalah satu entitas yang merupakan pengejawantahan dari Tuhan. Kita diberi anugerah kebebasan karena kita ada dalam alur evolusi tertinggi dalam merealisasikan kualitas dari Tuhan. Kualitas keilahian yang merupakan potensi bagi setiap jiwa. Kebebasan ini tidak boleh disangkal. Kita memang mempunyai kebebasan. Jiwa ini bergerak dalam kebebasan yang tidak dimiliki oleh analogi wayang dengan dalangnya. Kita sedang bertumbuh dan berproses sebagaimana Tuhan itu sendiri. Kita sedang bertemu menjadi jiwa ilahi. Tetapi, kebebasan itu tetap ada batasannya karena kita bukan Tuhan. Inilah yang disebut dengan kapasitas yang dibentuk dari perjalanan jiwa di masa lalu dan dibingkai oleh hukum alam Semesta. Salah satu hukum alam ini adalah hukum sebab-akibat. Jiwa kita memilih berbuat sesuatu sesuai dengan batasan kapasitas kita sehingga menciptakan akibat tertentu.
Bagaimana cara manusia dalam bingkai sebab-akibat ini menemukan keselamatan?
Secara faktual semua jiwa jika sudah terhubung dan mengenali Tuhan yang nyata di dalam dirinya pasti akan menemukan tuntunan untuk bisa selamat.
Namun, kenyataannya mengapa di dunia ini banyak orang yang hidupnya menderita?
Seperti tejebak konflik/peperangan, menderita sakit, dikejar-kejar debt collector, atau dikejar-kejar mantan pacar, dan lain sebagainya.
Jika kita memakai analogi wayang dan dalang, maka segala yang terjadi adalah suka-suka Sang Dalang. Kita sebagai manusia tidak punya daya, kita hanya digerakkan dan mencapai seperti yang diinginkan oleh Sang Dalang. Tidak ada gerak bebas. Anda sudah diberi kebebasan berkehendak, ada batas kapasitas, ada hukum alam. Jika Anda salah melangkah, maka penderitaan itu adalah akibat yang harus ditanggung sendiri. Segala penderitaan dan kebahagiaan adalah hasil Anda yang memilih sendiri.
Baca Juga: Ngunduh Wohing Pakarti
Laku spiritual mengajarkan untuk memilih kebenaran yang dituntun supaya Anda selamat. Semua resiko itu muncul dari segala kebebasan kita untuk berkehendak karena kita ada di level evolusi yang tinggi. Mulailah melangkah mengikuti persepsi yang benar, jangan pakai ilusi atau prasangka. Nasib Anda itu ditentukan oleh Anda sendiri. Jangan suka bawa-bawa Tuhan dengan cara yang tidak tepat. Bertangung jawablah terhadap langkah Anda. Jika Anda salah melangkah, yang menderita bukan Tuhan, tetapi Anda. Jangan salahkan Tuhan karena Tuhan sudah memberikan petunjuk. Namun, Anda bisa saja membantahnya dengan segala resikonya.
Baca Juga: Menghidupkan Kembali Pancasila
Ada yang membuat isu Corona saat ini. Pada satu titik hidupnya pasti akan menderita. Perbuatan yang ditanam, buahnya pasti akan dipetik. Mereka yang salah melangkah dan menyusahkan banyak orang, jangan bawa nama Tuhan atas kesalahan diri. Jangan pernah bawa-bawa nama Tuhan untuk fenomena yang sedang kita hadapai saat ini. Kita harus berhati-hati dan cermat. Kembalikan pertanggungjawaban atas semua peristiwa itu kepada yang bersangkutan. Jika kita mengalami kesusahan, itu adalah resiko yang kita tanggung akibat kita salah melangkah. Jika mau berhati-hati, ikuti petunjuk Tuhan yang nyata. Karena itulah kita bermeditasi.
Untuk bisa selamat, Anda harus memilih konsisten di dalam keheningan. Anda harus sadar penuh bahwa di dalam diri Anda ada tuntunan dari Sang Sumber. Jika Anda setia pada Sang Sumber, Anda pasti selamat. Jika Anda setia pada Sang Sumber, Anda diberi akses untuk mendayagunakan Kekuatan Ilahi yang tanpa batas. Sadari ini semua dan bekerjalah dengan kesadaran dan ketulusan.
Disarikan dari Kajian Mahadaya Menggapai Puncak Pencerahan
Setyo Hajar Dewantoro
Surabaya, 19 November 2020
Reaksi Anda: