Ketulusan itu sejatinya adalah segala bentuk motif yang muncul langsung, murni dari relung hati kita, yang merupakan suara dari jiwa yang paling murni. Itu menyangkut dengan kerinduan jiwa yang paling hakiki.
Misalnya, ketulusan kita dalam belajar spiritual.
Apa yang disebut “tulus”?
Tulus dalam belajar spiritual berarti kita menjalankan setiap proses demi memenuhi apa yang betul-betul dirindukan oleh setiap jiwa, yaitu pencerahan sejati.
Yang kita lakukan saat ini adalah satu bentuk dari kesediaan diri merespons hasrat yang paling murni dari Sang Jiwa. Setiap jiwa secara natural pasti ingin berevolusi menuju kesempurnaan.
Lalu, apa yang disebut dengan “ketidaktulusan”?
Ketidaktulusan adalah motif-motif yang mengejawantahkan menjadi tindakan yang berpangkal dari ego. Bisa muncul dari pikiran sadar karena kita terbiasa selalu memakai kalkulasi ketika mau berbuat sesuatu.
“Saya mau melakukan ini karena ada keuntungan yang memuaskan hasrat egoistik saya.”
“Saya mau ikut kajian ini biar masalah saya selesai.”
Jadi, secara praktis orang tidak tulus itu membelokkan langkahnya dari tujuan awal.
Ketidaktulusan juga bisa muncul dari realitas pikiran bawah sadar dan pikiran taksadar.
Misalnya, orang yang masih punya luka batin. Dia sering mendapatkan cemoohan di masa lalunya. Dia kemudian menjadi rendah diri. Maka, proyeksi sikapnya adalah apa pun yang dilakukan untuk mendapatkan perhatian. Dia ingin membuat dirinya merasa diangkat dari kerendahdiriannya.
Ini semua adalah ketidaktulusan.
Ini terkait dengan diri kita yang tidak hening.
Terkait dengan kita yang secara subconscious mind dan unconscious mind yang masih penuh dengan masalah.
Lalu, bagaimana agar kita menjadi tulus?
Ada langkah-langkah yang secara sadar bisa kita lakukan supaya kita masuk kategori ketulusan.
Dalam hal apa pun termasuk ketika kita belajar spiritual, jangan punya tujuan tersembunyi.
Kalau laku spiritual itu tujuannya untuk mencapai pencerahan, konsistenlah dengan tujuan itu. Jangan dibelokkan ke hal yang lain, yang sifatnya pragmatis .
Termasuk jika kita sedang punya masalah yang ingin dengan belajar spiritual masalah menjadi selesai. Ini sebetulnya sudah belok dari tujuan awal.
Baca Juga: Tantangan dalam Pertumbuhan Spiritual
Tetapi, kalau Anda mengerti bahwa dengan kita belajar spiritual pemurnian diri itu berjalan dengan tuntas, kita mendapatkan pencerahan. Terkait dengan itu semua sebetulnya masalah juga pasti selesai. Jadi, jangan menempatkan dampak sebagai tujuan.
Fokuslah kepada tujuan yang agung. Pasti ada efek samping atau dampak yang itu sebetulnya pasti menyenangkan buat kita.
Nah, cara lain adalah tentang kita terus-menerus juga memurnikan jiwa-raga lewat keterhubungan dengan Roh Kudus/Diri Sejati agar semua leyer kesadaran itu semakin dibersihkan.
Kalau luka-luka batin di subconscious mind (pikiran bawah sadar) atau unconscious mind (pikiran taksadar) itu hilang, maka akan meminimalkan kadar ketidaktulusan.
Karena tanpa luka batin, kita akan melakukan tindakan-tindakan yang murni karena tindakan itu betul-betul muncul dari jiwa yang tidak terkotori oleh sebuah realitas emosi yang destruktif.
Nah, kalau ini semua bisa kita praktikkan di kehidupan spiritual–di dalam pembelajaran spiritual, maka bisa diperluas di dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk hubungan dengan orang lain.
Baca Juga: Kesadaran Tentang Pengkhianatan
Tulus membuat kita melakukan tindakan-tindakan kepada orang lain bukan untuk memenuhi hasrat egoistik kita. Tetapi betul-betul sebagai manifestasi dari rasa kasih kita kepada yang bersangkutan. Kalau kita mendekati orang lain karena kita mengkalkulasi orang ini menguntungkan buat kita, itu adalah ketidaktulusan.
Tapi, kalau kita berbuat baik kepada semua orang sesuai dengan porsinya, itu cara kita mengasihi mereka tanpa berharap kembali. Itu adalah ketulusan.
Lalu, apa nanti tanda ketidaktulusan?
Setiap ketidaktulusan itu pasti mendapatkan umpan balik jika Anda berbuat sesuatu kepada orang lain. Saat orang lain berbuat tidak sesuai dengan yang kita harapkan, lalu kita kecewa. Maka, itu umpan balik yang menandakan bahwa Anda tidak tulus.
Kalau Anda berbuat kebajikan kepada orang lain dan saat dia berbuat apa pun, kita tetap happy-happy saja. Itu penanda bahwa kita tulus.
Ketidaktulusan ini kemudian bisa menjadi akar duka cita.
Siapa pun yang sibuk dengan ketidaktulusan pasti menderita karena nanti ada “gep”, ada kesenjangan antara yang kita inginkan dengan kenyataan yang didapatkan.
Setyo Hajar Dewantoro
Wedaran Kajian Bandung, 5 April 2021
Reaksi Anda: