Dulu saya pernah mengejar kesuksesan. Saya berjuang keras mewujudkan ilusi saya tentang sukses yang harus saya raih. Dan hasilnya saya jauh dari kebahagiaan. Saya akui, saya sempat jadi fans para motivator yang menawarkan rumus kesuksesan. Hingga akhirnya saya mual sendiri. Mual yang muncul seiring bangkitnya kesadaran: ada yang keliru dengan gegap gempita kesuksesan dan segala strategi untuk mencapainya.
Siapapun yang punya pengertian, sukses itu berarti punya karier cemerlang, jabatan tinggi, uang yang melimpah, itulah pangkal dia terjerat dalam neraka yang nyata. Baik ketika itu tercapai maupun tidak. Sangat mudah kita temukan kenyataan: para pengejar kesuksesan dan yang dianggap telah sukses, sama-sama menderitanya.
Menekuni spiritualitas membuat saya mengerti bahwa saya bisa bahagia tanpa mempersyaratkan kesuksesan. Bahagia ya bahagia, dengan menyadari anugerah hidup yang nyata, meresapi kasih murni dalam nafas. Apapun pekerjaan dan berapapun isi rekening saya, saya bisa bahagia asal terhubung dengan sumber energi kebahagiaan itu. Ketika saya semakin ahli bisa berbahagia tanpa syarat (eksternal) kehidupan saya justru semakin diselaraskan. Terlebih ketika diri saya termurnikan paripurna, barulah terwujud kesuksesan sejati.
Kini apakah saya sudah sukses? Yang pasti saya sudah hidup selaras dengan rancangan agung. Saya sangat puas dengan apa yang telah saya darma baktikan untuk hidup ini: sebagai guru meditasi, penulis, aktivis, saya sudah jalankan missi hidup saya. Tidak penting soal penghasilan saya berapa, asset saya berapa – yang penting kewajiban saya sebagai suami dan ayah, plus sebagai anak bagi orang tua saya, sebagai kakak bagi adik2 saya, dan teman bagi semua yang kenal baik dengan saya, sudah dijalankan dengan optimal. Jika saya mati saat ini saya sudah puas, tak ada penyesalan. Tapi saya tahu usia saya masih panjang, jadi masih banyak rancangan agung yang menunggu momen terealisasi.
Nah.. dengan kesadaran spiritual yang murni, saya bisa menilai, asisten saya yang berprofesi sebagai healer dan tukang pijet, jelas lebih sukses daripada para pejabat di Indonesia termasuk para menteri sekalipun. Juga jika dibandingkan dengan para konglomerat dan eksekutif korporasi besar. Mengapa? Asisten saya hidup sesuai rancangan agungnya, mereka sudah bahagia dan tidak mengejar apapun, benar-benar menikmati hidup. Sementara yang lain itu belum hidup sesuai rancangan agung, belum bahagia, masih mengejar kesuksesan yang dianggap lebih hebat lagi.
Jadi, Anda yang sekarang jadi petani, jadi buruh, jadi tukang sampah, jangan terprovokasi pindah profesi dengan alasan mewujudkan sukses. Sadari dulu arti bahagia yang sejati. Kenali dulu rancangan agung termasuk peran Anda di dunia ini. Jadilah versi diri Anda yang terbaik. Jika profesi Anda sesuai rancangan agung itu adalah menjadi tukang sampah, atau pembersih WC, ya jalani itu dengan penuh syukur.
Memang ada manusia yang rancangan agungnya menjadi manusia yang berbahagia dengan profesi bersahaja. Tapi tidak ada yang rancangan agungnya jadi presiden yang menyusahkan bamyak orang, jadi pengusaha yang menghabiskan hutan jutaan hektar, atau jadi pejabat yang korupsi milyaran. Itu semua cuma pilihan egoistik yamg bermuara kepada penderitaan.
Salam suppppppperrrrrrr……. eh… rahayu maksudnya.